Siska langsung diam tanpa bertanya lagi. Sementara aku kembali melanjutkan pembicaraan dengan Ibu mertua."Saya yakin, Fery tak berniat jahat sama kamu, Mia. Dia pasti terpaksa. Asal kamu tahu, hidup Fery sekarang sudah hancur. Itu semua karena kamu penyebabnya. Harusnya kamu tak menyebarkan berita itu. Harusnya kamu bicara baik-baik. Kamu ceroboh dan membuat seluruh negri mengetahui masalah kalian," cerocos Ibu mertua.Aku menghela napas kesal. Awalnya aku pikir Ibu mertua akan berbicara secara bijaksana. Namun, ternyata aku salah. Dia masih tetap saja menyalahkan aku."Saya tidak berniat menyebarkan, Bu. Ada oknum lain yang menyebar luaskan beritanya. Lagi pula, mungkin itu hukuman yang pantas karena Fery telah merusak masa depan anak saya." Kali ini aku menentang ucapan wanita paruh baya yang duduk di sampingku itu."Kamu bohong, Mia. Saya lihat sendiri acara kamu tadi siang. Dengan jelas kamu membeberkan aib Fery di depan umum. Padahal saya yakin itu hanyalah ulah anak kamu yang k
Aku dan Siska segera memesan makanan serta minuman saat pramusaji menghampiri dan menyodorkan buku menu."Oh iya, Mia. Bagaimana dengan shooting kemarin? Maaf ya aku tak bisa ikut karena ada kerjaan," celetuk Siska setelah memilih menu makanan dan minuman kesukaan."Lancar-lancar saja sih. Hanya sedikit menyebalkan tatkala aku sempat bertemu pria sombong saat hendak pulang," balasku sambil menaikan sebelah bibir atas."Pria sombong! Siapa?" Siska nampak penasaran. Ah dia memang selalu ingin tahu saja. Tapi walau pun begitu sahabatku ini memang baik sih."Entahlah tak usah dibahas, khawatir merusak selera makan." Aku segera mengakhirinya. Kesal memang saat ditegur oleh pria sombong kemarin.Hanya menunggu tujuh menit saja Bu Anjani sudah tiba dan menyapaku, "Selamat malam, Mba Mia. Mohon maaf terlambat." Dia kemudian berjabat tangan denganku dan Siska.Aku segera menyambut kedatangan Bu Anjani dengan ramah, "Selamat malam, Bu. Tidak apa-apa kok. Mari silahkan duduk, Bu," balasku tentu
Aku masih mematung tak tahu harus menjawab apa."Baik, Mba Mia. Kabarin saya kalau sudah siap ya." Bu Anjani tampak menyodorkan kertas tebal berukuran kecil. Itu adalah kartu nama."Itu kartu nama saya. Nanti Mba Mia hubungi saya ya," lanjutnya. "Iya, Bu," balasku singkat."Saya permisi dulu karena harus pulang. Saya tunggu kabar baiknya ya, Mba Mia," pamit Bu Anjani yang segera dibalas anggukan kepala dan senyuman ramah olehku.Bu Anjani tampak beranjak dari tempat duduk kemudian pergi. Sementara aku dan Siska langsung saling melempar tatapan membingungkan."Ini kesempatan emas, Mia," celetuk Siska tampak menyemangati."Entahlah, aku bingung. Ini semua rasanya aneh. Lagi pula aku juga sedang menulis di salah satu platform," balasku yang belum bisa memutuskan."Kalau menurut aku sih lebih menjanjikan tawaran dari Bu Anjani lah," saran Siska.Tak lama pramusaji terlihat menyajikan pesanan kami di atas meja. Aku tak lagi membahas masalah itu dengan Siska. Isi perut yang terasa keroncon
Rani menghempaskan genggaman tanganku. Meski ini bukan yang pertama kalinya Rani membentakku, tapi tetap saja rasanya sakit. Bola mata anak itu selalu saja membulat sempurna saat marah padaku. Bahkan rahangnya terlihat mengeras. Kali ini rasanya lebih sakit dari sebelumnya karena anakku telah lancang membentak di depan umum."Pergi dari sini dan jangan ikut campur urusanku!" usir Rani kepadaku sambil meluruskan sebelah tangan kanannya ke arah pintu keluar.Plak!Dengan repleks sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Rani sehingga membuat wajahnya terpanting ke arah kanan. Aku telah menampar pipi Rani dengan emosi yang tak bisa lagi dicegah. Kali ini aku benar-benar marah pada anakku yang semakin hari semakin kurang ajar saja."Berani Mamah menamparku!" pekik Rani sambil memegang pipi kirinya."Ya! Karena saya adalah Ibu kamu!" tegasku pada anak yang mulai terasa semakin durhaka.Sepasang manik Rani tampak berkaca-kaca. Aku harap dia sadar. Biarkan tamparan yang keras tadi membuka
"Dijebak macam apa, Rani?" Dengan suara gemetar aku bertanya lagi. Suasana hati kian memanas saja.Rani tampak diam dalam beberapa detik. Ia kemudian mengangkat wajahnya dan kembali bercerita."Setahun lalu, keperawananku direnggut oleh seorang laki-laki tatkala tengah liburan bersama di pantai. Dia siswa terfavorit. Bukan hanya aku yang menginginkannya, semua siswa perempuan pun sama halnya. Dia kakak kelasku. Dia berjanji akan setia, namun setelah berhasil merenggut kesucianku, laki-laki itu pergi ke luar kota setelah kelulusan sekolah. Aku terpukul dan hancur. Sementara dalam rahimku tengah hidup seorang janin. Aku bingung harus berbuat apa. Sementara bercerita pada Mamah hanyalah akan menambah masalah baru. Sampai akhirnya Ayah Fery mengetahui semuanya. Ayah Fery membantuku menggugurkan kandungan. Ayah Fery membantuku menyelesaikan masalahku. Tapi, Ayah Fery malah sering masuk kamarku dan bermain cinta denganku. Seiring berjalannya waktu, aku menikmatinya. Aku tidak tahu, hasrat s
Setelah kepiluan malam yang kian larut ini aku dan Siska memutuskan untuk segera tidur saat jam di dinding kamar menunjukan pukul dua dini hari. Kelopak mata ini sudah terasa sangat berat. Siska tidur di kamar tamu, sementara aku tidur di kamar sendiri.Lelahnya perasaan ini membuatku tak terasa hanyut dalam mimpi.Tok tok tok!Suara ketukan pintu dari luar kamar disertai panggilan. Padahal aku pikir baru saja hendak tertidur tapi mengapa sudah dibangunkan saja."Mia, sudah bangunkah?"Sayup-sayup suara Siska terdengar bertanya dari luar. Padahal pintu kamar tak dikunci, jadi dia bisa masuk sesukanya. Tapi itulah, Siska. Meski pun kami sudah bersahabat dekat sejak lama, dia tetap menjaga sopan santun dan menghormati privacy aku."Masuk saja, Sis!" Sahutku dari dalam. Kelopak mata ini masih terasa lengket. Rasa kantuk masih sangat terasa.Pintu dibuka dan Siska hanya membiarkan kepalanya saja yang terlihat olehku."Sudah jam tujuh, Mia. Kamu harus segera bangun dan sarapan. Ada jadwal
Saat ini Aku dan Siska telah sampai di gerbang tempat pemakaman umum teratai. Aku keluar dari mobil Siska dan berjalan menuju sebuah makam kecil yang terlihat sudah terlihat lapuk dimakan waktu. Langkah ini diikuti Siska dari belakang. Aku menekuk lutut di atas pusara yang beratas namakan Dinda Binti Dodi. Aku mengusap nisan yang terbuat dari batu. Makam kecil itu tidak memakai semen. Hanya dipenuhi dengan rumput-rumput liar yang terurus."Ini makam siapa, Mia?" Siska bertanya. Sepertinya dia sudah sangat penasaran."Mbo Sari berkata, kalau ini adalah makam anakku yang sebenarnya," dengan sendu aku menjawab. Ada kesedihan yang dengan susah payah kubendung di tenggorokan. Aku tak bisa menumpahkan air mata ini di atas makam yang suci, makam anakku."Ya Tuhan, jadi anak kamu sudah meninggal?" Siska terdengar kaget karena aku tak melihat ekspresi wajahnya. Aku hanya mendengar suaranya saja. Aku hanya memandang makam kecil yang sudah terlihat lama."Aku melakukan tes DNA itu karena ucapan
Mbo Sari menelan saliva. Ia terdiam dalam beberapa saat kemudian melihatku dengan tatapan sendu."Ceritakanlah, Mbo. Saya sudah tahu dan punya bukti kalau Rani ternyata memang bukan anak saya. Saya sudah melakukan tes DNA, hasilnya tidak cocok. Hasil medis saja menyatakan kalau Rani memang bukan anak saya. Walau berat, saya sudah menerima kenyataan pahit ini, Mbo," tuturku dengan susah payah. Lagi-lagi ada kesedihan yang terbendung di tenggorokan saat kenyataan pahit itu lagi-lagi harus dikupas."Jadi, semuanya sudah terbukti, Mba?" Mbo Sari nampak tercengang.Aku mengangguk. Tatapanku tak berpaling ke arah mana pun. Hanya Mbo Sari yang aku tatap dengan penuh tanda tanya."Mbo, bicara saja. Mia dan saya tak akan memperpanjang masalah. Mia hanya ingin cerita yang jelas saja dari, Mbo Sari. Jangan takut, Mbo." Siska menimpali mungkin agar Mbo Sari tak ragu lagi untuk bercerita.Mbo Sari menghela napas terlebih dahulu. Wajahnya masih saja terlihat tegang. Aku segera meletakan sebelah tan
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe