Setelah kepiluan malam yang kian larut ini aku dan Siska memutuskan untuk segera tidur saat jam di dinding kamar menunjukan pukul dua dini hari. Kelopak mata ini sudah terasa sangat berat. Siska tidur di kamar tamu, sementara aku tidur di kamar sendiri.Lelahnya perasaan ini membuatku tak terasa hanyut dalam mimpi.Tok tok tok!Suara ketukan pintu dari luar kamar disertai panggilan. Padahal aku pikir baru saja hendak tertidur tapi mengapa sudah dibangunkan saja."Mia, sudah bangunkah?"Sayup-sayup suara Siska terdengar bertanya dari luar. Padahal pintu kamar tak dikunci, jadi dia bisa masuk sesukanya. Tapi itulah, Siska. Meski pun kami sudah bersahabat dekat sejak lama, dia tetap menjaga sopan santun dan menghormati privacy aku."Masuk saja, Sis!" Sahutku dari dalam. Kelopak mata ini masih terasa lengket. Rasa kantuk masih sangat terasa.Pintu dibuka dan Siska hanya membiarkan kepalanya saja yang terlihat olehku."Sudah jam tujuh, Mia. Kamu harus segera bangun dan sarapan. Ada jadwal
Saat ini Aku dan Siska telah sampai di gerbang tempat pemakaman umum teratai. Aku keluar dari mobil Siska dan berjalan menuju sebuah makam kecil yang terlihat sudah terlihat lapuk dimakan waktu. Langkah ini diikuti Siska dari belakang. Aku menekuk lutut di atas pusara yang beratas namakan Dinda Binti Dodi. Aku mengusap nisan yang terbuat dari batu. Makam kecil itu tidak memakai semen. Hanya dipenuhi dengan rumput-rumput liar yang terurus."Ini makam siapa, Mia?" Siska bertanya. Sepertinya dia sudah sangat penasaran."Mbo Sari berkata, kalau ini adalah makam anakku yang sebenarnya," dengan sendu aku menjawab. Ada kesedihan yang dengan susah payah kubendung di tenggorokan. Aku tak bisa menumpahkan air mata ini di atas makam yang suci, makam anakku."Ya Tuhan, jadi anak kamu sudah meninggal?" Siska terdengar kaget karena aku tak melihat ekspresi wajahnya. Aku hanya mendengar suaranya saja. Aku hanya memandang makam kecil yang sudah terlihat lama."Aku melakukan tes DNA itu karena ucapan
Mbo Sari menelan saliva. Ia terdiam dalam beberapa saat kemudian melihatku dengan tatapan sendu."Ceritakanlah, Mbo. Saya sudah tahu dan punya bukti kalau Rani ternyata memang bukan anak saya. Saya sudah melakukan tes DNA, hasilnya tidak cocok. Hasil medis saja menyatakan kalau Rani memang bukan anak saya. Walau berat, saya sudah menerima kenyataan pahit ini, Mbo," tuturku dengan susah payah. Lagi-lagi ada kesedihan yang terbendung di tenggorokan saat kenyataan pahit itu lagi-lagi harus dikupas."Jadi, semuanya sudah terbukti, Mba?" Mbo Sari nampak tercengang.Aku mengangguk. Tatapanku tak berpaling ke arah mana pun. Hanya Mbo Sari yang aku tatap dengan penuh tanda tanya."Mbo, bicara saja. Mia dan saya tak akan memperpanjang masalah. Mia hanya ingin cerita yang jelas saja dari, Mbo Sari. Jangan takut, Mbo." Siska menimpali mungkin agar Mbo Sari tak ragu lagi untuk bercerita.Mbo Sari menghela napas terlebih dahulu. Wajahnya masih saja terlihat tegang. Aku segera meletakan sebelah tan
"Iya, Mba. Saya permisi mau ikut evakuasi," pamit laki-laki yang setengah tua tadi. Dia terlihat berjalan dengan cepatnya menuju mobil yang sudah ringsek tertimpa pohon besar di atasnya."Siska, kamu dengar tadi? Korbannya bernama, Rani!" Aku terkejut. Pikirannya langsung khawatir pada Rani anakku, meski pun kini aku tahu kalau dia bukan anak kandungku."Sudahlah, Mia. Memangnya nama Rani hanya satu. Rani ada banyak dan ada dimana-mana. Bisa jadi itu Rani yang lain kan," balas Siska terlihat santai."Iya sih. Tapi, aku penasaran, Sis. Tidak ada salahnya kan kalau menepi sebentar. Kita lihat korbannya dan memastikannya," pintaku yang tetap bersi kukuh. Perasanku berkata lain. "Tapi, hujan. Mana macet pula kan." Siska nampak enggan."Sebentar saja, Siska. Aku mohon," rengekku. Rasanya aku tak akan bisa tenang sebelum memastikan korban yang disebutkan bapak-bapak tadi.Siska mengangguk seraya menaikan kedua alisnya. Akhirnya dia mau menepikan kendaraan roda empatnya walau pun cuaca terl
"Kenapa kalian diam saja? Siapa kalian?" Wanita itu bertanya lagi. Wajah murka penuh air mata ditampilkannya di hadapan aku dan Siska."Maaf, Mba. Saya tidak kenal suami anda!" jawabku dengan tegas. Tak terima rasanya dibendak oleh orang tak dikenal."Tolong jangan berbohong. Petugas kepolisian mengatakan kalau kalian berdua datang ke rumah sakit ini bersama almarhum suami saya." Bola mata wanita itu kembali berkaca-kacak. Nampaknya ia masih merasakan kehilangan sang suami untuk selamanya.Aku menurunkan tatapan. Rasanya serba salah. Lagi pula aku dan Siska memang tidak tahu apa-apa mengenai hubungan Rani dan Reynaldi.Di waktu yang bersamaan, petugas polisi mendekat dan berdiri diantara kami. "Mba-mba ini adalah keluarga dari korban bernama, Rani.""Apa, Rani! Siapa, Rani?" Dengan terkejut wanita itu menoleh dan bertanya pada Polisi. Ia menghapus air mata yang sempat menetes."Pak Reynaldi dan Rani, merupakan korban dari kecelakaan sore tadi. Mereka berada dalam satu mobil yang terti
Usai makan malam di kantin, aku langsung ke ruang ICU. Aku melihat kondisi Rani yang masih saja belum sadar. Beberapa alat medis masih menempel di tubuhnya.Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Di luar ruangan ICU juga sudah terlihat sepi. Aku duduk sendiri menunggu Rani walau sesekali rasa kantuk datang.'Rani, semoga kamu segera sadar. Kamu harus memperbaiki diri. Semoga Tuhan memberikan kesempatan pada kamu untuk bertaubat,' harapku dalam hati.Baru saja kelopak mata ini hendak tertutup, seorang petugas medis membangunkanku. Dia melapor kalau Rani telah membuka matanya. Aku segera beranjak dari tempat duduk kemudian masuk ke ruang ICU untuk melihat Rani."Rani!" Aku mengusap kening Rani dengan lembut. Anak itu menatapku sendu. Ada bulir bening yang menetes di sudut matanya. Mulutnya masih saja diam karena terhalang selang oksigen."M-mah!" Rani mulai meresponku. Bibirnya bergetar dan memanggilku. Dia tak memalingkan tatapannya dariku."Sudah, Ran. Jangan banyak bicara. Mamah
Hari ini saat menjelang sore, Siska datang menjengukku ke rumah sakit setelah pulang kerja. Dia datang ke ruangan kamar Rani dirawat atas petunjuk dariku.Dia memasang wajah kesal padaku entah kenapa. Kemudian dia berbisik tepat di samping telingaku, "Kamu ngapain sih masih saja menemani anak itu?!" Aku yang duduk di kursi yang berjarak hanya dua meter saja dari ranjang Rani segera memberikan kode agar Siska tak bicara seperti itu lagi."Sutt! Kita bicara di luar saja," ajakku pada Siska. Kami berdua keluar dari ruangan tempat Rani dirawat dan berjalan menuju taman kecil yang ada di area luar rumah sakit."Katakan, Mia. Untuk apa kamu membuang-buang waktu hanya demi seorang anak durhaka seperti, Rani!" Siska mengeluarkan kekesalannya. Sebagai sahabat, aku yakin Siska hanya tak mau melihatku kecewa."Siska, Rani sudah menyadari kesalahannya. Tadi pagi, aku sudah bicara dari hati ke hati. Rani telah menyesali semua perbuatannya kepadaku. Dari sorotan matanya, aku yakin dia bersungguh-s
Aku dan Siska saling melempar tatapan saat Rani masih saja diam."Maafkan aku, Mah," celetuk Rani setelah terpaku dalam beberapa menit."Maaf untuk apa lagi?" Gegas aku bertanya kemudian duduk di kursi yang ada di dekat Rani."Rumah itu memang milikku. Rumah pemberian, Ayah Fery. Tapi, akan banyak tamu yang datang saat aku kembali ke rumah itu," jelas Rani seraya menurunkan wajahnya menutupi malu."Tamu?" Aku mengernyitkan dahi. "Tamu siapa yang kamu maksud?" "Semenjak Ayah Fery masuk penjara, aku membuka layanan open BO. Itu semua aku lakukan demi meraup rupiah yang banyak. Tapi, sekarang aku tak mau melakukan itu. Aku tidak mau mati dalam keadaan berlumur dosa." Ada genangan air mata yang tengah dibendung oleh Rani."Jadi, kamu benar-benar telah sadar?" Siska menimpali dengan bertanya."Entahlah, Tante. Aku hanya tidak ingin meneruskan itu semua," jawab Rani atas pertanyaan Siska kepadanya.Tapi jujur, berat rasanya menerima Rani untuk kembali ke rumahku. Bayangan menjijikan itu ak
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe