"Mau apa kamu?" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Fery. Namun, laki-laki yang telah menjadi mantan suamiku semakin terlihat ganas bak singa yang hendak menerkam mangsanya.Di waktu yang cepat, Fery langsung mencengkeram leherku. Tubuhku dihimpitnya pada dinding membuatku terasa sesak dan susah untuk bernapas."Le-lepas!"Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari kepalan tangan Fery yang memenuhi leherku. Rasanya napasku semakin sesak."Kamu telah menghancurkan hidupku, karirku dan masa depanku. Aku telah kehilangan pekerjaan dan semua gara-gara kamu!" Tatapan Fery memerah dan tajam seperti kerasukan saja. Aku merasa takut sekali melihatnya. Telapak tangannya masih memenuhi leherku membuatku kesusahan untuk bicara bahkan bernapas sekali pun.Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri, tenaga Fery tetap tak bisa dilawan. Dia lebih kuat dariku. Air mata ini luruh membasahi pipi. Susah payah aku bernapas seperti sudah pada ujung kehidupanku.Tak lama sebuah balok mendarat d
"Rani, hallo!" Usahaku tak membuahkan hasil. Sambungan telepon telah terputus sepihak. Rani sudah tak sudi lagi bicara denganku. Padahal aku sungguh mengkhawatirkannya. Apa salahku? Harusnya aku yang marah. Harusnya aku yang benci dengan keadaan ini, tapi mengapa ini malah sebaliknya.Aku menarik napas lesu. Mengusap dada dengan telapak tangan. Napasku sungguh sesak dengan semua kenyataan ini.Aku ini seorang Ibu. Sebesar apa pun kesalahan seorang anak, tetap saja tak bisa membenci. Aku tetap khawatir dengan Rani. Tidur dimana dia, makan dengan apa dia. Ah ya sudahlah. Aku hanya bisa berdo'a, semoga anak selalu dalam lindungan Tuhan dimana pun dia berada.***"Mba Mia sudah siap?" Crew yang bertugas pada station televisi dalam acara talkshow tampak bertanya kepadaku. Aku segera mengangguk setelah perasaan nervous mulai pergi.Hari ini, aku telah menerima undangan talkshow untuk bincang-bincang santai mengenai kisah piluku selama ini. Awalnya aku memang tak mau menerima tawaran ini.
Aku merasakan pemandangan yang menyakitkan di rumah itu. Pemandangan yang mengingatkan saat semuanya hancur. Tapi, aku tetap harus ke rumah itu. Aku tetap mengkhawatirkan Rani. Aku harap dia ada di sana.Aku keluar dari mobil lalu melangkahkan kaki lebih mendekat ke pintu rumah. Ada bell yang menempel di dinding dekat pintu. Aku segera menekannya.Beberapa detik kemudian pintu akhirnya dibuka dari dalam dan aku melihat Rani berdiri sambil menatapku nyalang."Mau apa lagi ke sini?" Rani berniat menutup kembali pintunya, namun susah payah aku tahan. "Kita butuh bicara sebentar!" pintaku segera. Aku masih menahan pintu dengan sebelah tangan agar tak kembali menutup.Akhirnya Rani melepaskan tekanan pintunya. Rahangnya terlihat mengeras kemudian kedua tangannya di depan dada tanpa mempersilahkan aku masuk."Ya sudah. Bicara sekarang! Aku tidak punya banyak waktu!" Dengan ketusnya Rani bicara kepadaku. Entahlah, aku semakin tidak mengerti saja dengannya. Sikapnya sangat tidak menghargaiku
Ibu RT nampak terkejut. Yang dia tahu aku memang sudah mencabut laporan itu. Bukan hanya Bu RT. Aku yakin seantero negri juga sudah tahu karena masa pilu itu benar-benar disorot media dan diketahui publick."Pasti karena kasus KDRT ya, Mba?" Tuh kan Bu RT sudah tahu. Aku mengangguk saja."Saya boleh minta nomor telephone, Bu RT?" Sepertinya aku memang harus menyimpan nomor Bu RT."Tentu saja, Mba." Wanita dengan perawakan berisi itu lekas merogoh saku baju mengambil ponsel miliknya lalu menyodorkannya kepadaku.Aku segera mencatat nomor ponsel Bu RT. Aku harus tahu apa saja yang dilakukan Rani di rumah itu. Rasanya hati ini semakin sakit saja dengan laporan Bu RT tadi."Terima kasih, Bu!" ucapku setelah nomor ponselnya telah kusimpan."Sama-sama, Mba. Mba Mia ini baik sekali loh. Ramah dan sopan. Tapi mengapa Rani seperti itu ya," celetuk Bu RT yang membuat perasaan ini terasa teriris kembali."Saya juga tidak mengerti, Bu. Perasaan selama ini saya mendidiknya sebaik mungkin," balasku
Siska langsung diam tanpa bertanya lagi. Sementara aku kembali melanjutkan pembicaraan dengan Ibu mertua."Saya yakin, Fery tak berniat jahat sama kamu, Mia. Dia pasti terpaksa. Asal kamu tahu, hidup Fery sekarang sudah hancur. Itu semua karena kamu penyebabnya. Harusnya kamu tak menyebarkan berita itu. Harusnya kamu bicara baik-baik. Kamu ceroboh dan membuat seluruh negri mengetahui masalah kalian," cerocos Ibu mertua.Aku menghela napas kesal. Awalnya aku pikir Ibu mertua akan berbicara secara bijaksana. Namun, ternyata aku salah. Dia masih tetap saja menyalahkan aku."Saya tidak berniat menyebarkan, Bu. Ada oknum lain yang menyebar luaskan beritanya. Lagi pula, mungkin itu hukuman yang pantas karena Fery telah merusak masa depan anak saya." Kali ini aku menentang ucapan wanita paruh baya yang duduk di sampingku itu."Kamu bohong, Mia. Saya lihat sendiri acara kamu tadi siang. Dengan jelas kamu membeberkan aib Fery di depan umum. Padahal saya yakin itu hanyalah ulah anak kamu yang k
Aku dan Siska segera memesan makanan serta minuman saat pramusaji menghampiri dan menyodorkan buku menu."Oh iya, Mia. Bagaimana dengan shooting kemarin? Maaf ya aku tak bisa ikut karena ada kerjaan," celetuk Siska setelah memilih menu makanan dan minuman kesukaan."Lancar-lancar saja sih. Hanya sedikit menyebalkan tatkala aku sempat bertemu pria sombong saat hendak pulang," balasku sambil menaikan sebelah bibir atas."Pria sombong! Siapa?" Siska nampak penasaran. Ah dia memang selalu ingin tahu saja. Tapi walau pun begitu sahabatku ini memang baik sih."Entahlah tak usah dibahas, khawatir merusak selera makan." Aku segera mengakhirinya. Kesal memang saat ditegur oleh pria sombong kemarin.Hanya menunggu tujuh menit saja Bu Anjani sudah tiba dan menyapaku, "Selamat malam, Mba Mia. Mohon maaf terlambat." Dia kemudian berjabat tangan denganku dan Siska.Aku segera menyambut kedatangan Bu Anjani dengan ramah, "Selamat malam, Bu. Tidak apa-apa kok. Mari silahkan duduk, Bu," balasku tentu
Aku masih mematung tak tahu harus menjawab apa."Baik, Mba Mia. Kabarin saya kalau sudah siap ya." Bu Anjani tampak menyodorkan kertas tebal berukuran kecil. Itu adalah kartu nama."Itu kartu nama saya. Nanti Mba Mia hubungi saya ya," lanjutnya. "Iya, Bu," balasku singkat."Saya permisi dulu karena harus pulang. Saya tunggu kabar baiknya ya, Mba Mia," pamit Bu Anjani yang segera dibalas anggukan kepala dan senyuman ramah olehku.Bu Anjani tampak beranjak dari tempat duduk kemudian pergi. Sementara aku dan Siska langsung saling melempar tatapan membingungkan."Ini kesempatan emas, Mia," celetuk Siska tampak menyemangati."Entahlah, aku bingung. Ini semua rasanya aneh. Lagi pula aku juga sedang menulis di salah satu platform," balasku yang belum bisa memutuskan."Kalau menurut aku sih lebih menjanjikan tawaran dari Bu Anjani lah," saran Siska.Tak lama pramusaji terlihat menyajikan pesanan kami di atas meja. Aku tak lagi membahas masalah itu dengan Siska. Isi perut yang terasa keroncon
Rani menghempaskan genggaman tanganku. Meski ini bukan yang pertama kalinya Rani membentakku, tapi tetap saja rasanya sakit. Bola mata anak itu selalu saja membulat sempurna saat marah padaku. Bahkan rahangnya terlihat mengeras. Kali ini rasanya lebih sakit dari sebelumnya karena anakku telah lancang membentak di depan umum."Pergi dari sini dan jangan ikut campur urusanku!" usir Rani kepadaku sambil meluruskan sebelah tangan kanannya ke arah pintu keluar.Plak!Dengan repleks sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Rani sehingga membuat wajahnya terpanting ke arah kanan. Aku telah menampar pipi Rani dengan emosi yang tak bisa lagi dicegah. Kali ini aku benar-benar marah pada anakku yang semakin hari semakin kurang ajar saja."Berani Mamah menamparku!" pekik Rani sambil memegang pipi kirinya."Ya! Karena saya adalah Ibu kamu!" tegasku pada anak yang mulai terasa semakin durhaka.Sepasang manik Rani tampak berkaca-kaca. Aku harap dia sadar. Biarkan tamparan yang keras tadi membuka