"Mas." Mas Yusuf menoleh seraya duduk di atas ranjang seperti sebelumnya. Wajahnya terlihat masih menyimpan kekesalan. Mungkin kesal karena Jenifer telah menganggu jam istirahatnya."Kenapa?" tanyanya. Sepertinya mood suamiku telah berantakan."Kamu mendengar ancaman dari, Jenifer?" Aku hanya memastikan saja. Tapi suamiku semakin terlihat tegang."Apa pun yang akan dikatakan, Jenifer. Jangan lagi percaya. Bukankah kita sudah tahu kalau dia licik," jawab Mas Yusuf. Padahal aku hanya ingin tahu bentuk ancaman Jenifer."Baiklah, Mas." Aku mengangguk paham. Tak bisa lagi bertanya yang aneh-aneh selama situasi Mas Yusuf tengah emosi.Malam ini, kami sama-sama tertidur lelap. Tak ada aktivitas suami istri yang kami lakukan karena sepertinya Mas Yusuf terlanjur kacau dengan emosinya.Pagi harinya saat aku membuka mata, kulihat Mas Yusuf sudah tak ada di sampingku. Aku segera bangkit. Mungkin suamiku tengah mandi. Tapi, tak ada suara percikan air di dalam kamar mandi. Karena penasaran, kuper
Kami berdua sudah siap akan pergi. Entah kemana suamiku akan membawaku hari ini. Di depan rumah Jenifer sempat bertanya pada Mas Yusuf. Mungkin karena dia penasaran."Kalian mau kemana?" tanya Jenifer menahan langkah kami."Saya hanya berusaha adil, Jenifer. Kemarin saya sudah sempat pergi ke Bali bersama kamu, maka hari ini adalah waktunya saya pergi bersama, Mia." Mas Yusuf dengan tegasnya.Jenifer tampak menghela napas kesalnya. "Ya sudah." Setelah itu dia pergi dan semoga saja tidak ada drama yang lain yang dia lakukan demi menahan langkah kami.Sapety belt telah terpasang. Kami sudah duduk di kursi depan mobil Mas Yusuf. Kali ini, Mas Yusuf yang akan mengemudikan kendaraan roda empatnya. Aku mengukir senyum dan merasa bahagia setelah berapa bulan hari-hariku selalu terasa mendung."Kita sarapan dulu ya," kata Mas Yusuf di tengah perjalanan. Aku mengangguk sebagai tanda mengiyakan.Mobil Mas Yusuf menepi di sebuah restaurant favoritnya. Aku kembali dibuat menyeringai karena suamik
Bastian nampak tegang. Dia melemparkan tatapan pada kekasihnya. Lalu berbicara pada Mas Yusuf, "Maaf, saya sibuk." Bastian langsung menarik tangan wanita di sampingnya kemudian pergi secepat kilat."Hei, tunggu!" Mas Yusuf berusaha mengejar langkah mereka. Akan tetapi nihil. Aku yang berada di belakang Mas Yusuf, melihat Bastian langsung naik kendaraan roda dua bersama wanitanya. Kendaraan itu melaju dengan kencang meninggalkan area restaurant tanpa perduli dengan teriakan Mas Yusuf yang memanggil."Sial!" Mas Yusuf menghempaskan sebelah tangannya karena kesal telah gagal mengintrogasi Bastian."Tenang, Mas. Saya yakin, kamu pasti mendapatkan, Bastian." Aku mengusap bahu suamiku guna menenangkannya.Bersamaan dengan itu, ponsel Mas Yusuf terdengar berdering. Suamiku merogoh saku jasnya guna mengambil ponsel pintar yang sedari tadi terus saja membunyikan dering panggilan masuk.Bola mata Mas Yusuf kian bertambah tajam saat melihat layar ponselnya."Siapa, Mas?" Aku bertanya. Penasaran
"Oke!" Balas Mas Yusuf pasrah."Tapi, Mas. Sepertinya kamu serius. Kenapa, Mas?" Aku melepaskan pelukan lalu menelaah wajah suamiku.Masih tersungging senyuman di bibirnya. Tapi seperti dipaksakan. "Tidak ada apa-apa. Saya hanya khawatir Jenifer akan mengatakan hal yang macam-macam saat saya tak ada di samping kamu. Jenifer itu licik. Dia bisa membuat saya tidur dengannya tanpa sadar," jelasnya."Ya, Mas. Saya sudah menduga kok. Wanita itu sudah terbukti menghalalkan segara cara demi memisahkan kita. Saya tak akan mudah terhasut," tekanku. Mas Yusuf terlihat lega mendengar jawabanku.Dia semakin mempererat genggaman tangannya. "Saya hanya ingin, kamu menjadi wanita terakhir dalam hidup saya. Semenjak awal, saya sudah yakin sama kamu. Maka saya tak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita." Mas Yusuf mengecup sebelah tangan kananku dengan lembut dan kehangatan."Saya juga sudah yakin dengan kamu, Mas," balasku.Seharian ini kami berdua melewati dengan kebersamaan di tepi pantai. Makan
Beberapa menit kemudian, Mas Yusuf keluar dari super market sambil menenteng paper bag berwarna coklat di lengan kanannya. Suamiku berjalan menuju mobil. Dia masuk ke dalam mobil."Apa ini, Mas?" tanyaku. Paper bag coklat itu diletakannya di tengah-tengah."Buahan-buahan. Kalau kamu tak suka strawberry, saya beli buah mangga dan jeruk." Mas Yusuf memasang kembali safety beltnya.Kupikir Mas Yusuf perhatian padaku. Aku membuka paper bag di sampingku. Kulihat isinya memang ada beberapa buah yang manis-manis. Mangga, jeruk, anggur dan lain-lain. Tapi sebagian buah yang membulatkan kedua bola mataku yakni strawberry. Untuk apa Mas Yusuf membeli strawberry? Bukankah sudah aku katakan kalau aku tak suka strawberry. Baiklah, aku tak akan bertanya lagi. Aku akan lihat nanti, untuk siapa buah asem ini.Sesampainya di rumah, aku membawa paper bag itu karena Mas Yusuf tak membawanya.Di depan rumah, sudah berdiri maduku. Dia menyambut kedatangan Mas Yusuf dengan wajah semringah."Hai, Mas!" Sua
Dia tersenyum padaku. Lagi-lagi senyuman yang selama ini selalu kurindukan telah kembali lagi."Kamu tidak sadar dengan kedatangan saya?" tangan Mas Yusuf masih melingkari tubuhku. Aku menaikan bahu. Banyak misteri yang berseliweran di benak sehingga aku sampai tak sadar dengan kedatangan suamiku.Mas Yusuf membelai rambutku. "Mia, malam ini saya akan menunaikan kewajiban saya sebagai seorang suami."Degup jantungku terasa memompa dengan cepat. Ada rasa gugup karena aku dan Mas Yusuf memang belum pernah melakukannya."Kok kamu diam?" Mas Yusuf menatapku."Saya, saya-"Mas Yusuf meluruskan jari telunjuknya di depan bibirku. "Sudahlah, jangan gugup."Mas Yusuf langsung membopong tubuhku ke atas ranjang. Dibaringkannya tubuh ini di atas ranjang. Sungguh aku merasa malu dan tak bisa memulai duluan.Tapi sepertinya waktu memang masih terlalu sore untuk memulai permainan panas di atas ranjang sehingga gangguan kembali terdengar di depan pintu kamar.Tok tok tok!"Siapa sih? Ganggu saja!" M
"Apa itu?" Aku penasaran.Ijah segera mengambil benda yang jatuh berupa sebuah obat."Obat apa ini ya?" Ijah mengernyitkan dahi.Aku menggelengkan kepala. "Saya juga tudak tahu, Ijah." Aku mengambil sebuah obat yang di pegang Ijah. Entah jatuh dari mana yang pasti obat itu ditemukan selepas langkah Jenifer.Aku menelaah. Sama sekali tak tahu obat apa itu. "Besok, akan saya cari tahu obat ini. Jangan-jangan Jenifer sakit," pikirku."Iya, Bu. Saya juga penasaran dengan obat itu. Jangan-jangan Bu Jenifer sakit. Dia kan suka minta yang aneh-aneh." Ijah menimpali."Besok akan saya selidiki." Kuputuskan mengakhiri percakapan dengan Ijah.Aku membawa sebuah obat yang masih tak kuketahui indikasinya apa.***Sebelum menyusul Mas Yusuf ke rumah sakit, aku mampir sebentar ke apotik. Aku masih penasaran dengan obat semalam."Selamat siang ada yang bisa saya bantu?" Petugas apotik menyambut kedatanganku begitu kaki ini menapaki apotik."Siang juga, Mba. Ini ada yang ini saya tanyakan." Gegas kua
Mia menganggukan kepala. Yusuf nampak berpikir seraya mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya ada kemurkaan di dalam dada Yusuf setelah mendengar penjelasan Mia."Saya akan ke kantor," pamit Yusuf pada Mia. Dia langsung mengambil obat perangsang hormon itu dari tangan Mia."Untuk apa obatnya kamu ambil, Mas?" Mia merasa aneh."Sebagai bukti kecurangan, Jenifer. Sudahlah, saya akan segera ke kantor karena client sudah menunggu," alasan Yusuf.Istri pertama Yusuf itu mengangguk paham. "Iya, Mas. Bukankah kemarin sudah kamu katakan kalau hari ini ada jadwal bertemu client dari Jerman," balas Mia. Dia hanya mengingatkan suaminya agar tidak lupa dengan jadwal.Yusuf sedikit gugup. "Oh iya. Saya baru ingat akan hal itu." Dia segera mengecup kening Mia lalu beranjak dari tempat duduk."Katakan pada Khaila, saya akan kembali setelah dari kantor," sambungnya. Setelah itu Yusuf langsung keluar dari ruangan anaknya Khaila.Pikir Mia, suaminya akan ke kantor karena urusan pekerjaan. Dia masih ing