"Kamu itu kerjaannya keluyuran melulu, Mia!" Mas Fery menyambut kedatanganku di rumah dengan wajah ketus. Padahal aku baru saja tiba dan belum sempat duduk atau pun istirahat."Aku bukan keluyuran, Mas. Aku kan baru pulang ngelayat dan kamu tahu itu," bantahku segera beralasan.Mas Fery tampak beranjak dari tempat duduknya kemudian berdiri menghadapku."Kamu mulai pandai berbohong ya, Mia!" Mas Fery berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan nanarnya kepadaku."Bohong bagaimana sih, Mas. Kamu kan tahu kalau papahnya Rani meninggal." Aku masih bersi kukuh tak mau disalahkan."Lagi pula, tumben jam segini kamu sudah pulang," tambahku basa-basi saja."Kamu bohong, Mia! Rani berkata kalau kamu tak lama di kediaman duka. Kamu pergi sejak tadi pagi sementara Rani di rumah duka sendirian." Mas Fery mengungkapkan kekesalannya."Oh jadi, Rani. Dia mengadu sama kamu!" Aku tak mau kalah."Bukan Rani yang mengadu, tapi aku yang bertanya," elak suamiku. Aduh dia selalu saja membela Rani membuat
Memang suamiku ini sudah jauh berubah. Padahal ini baru saja pernikahan yang ke dua tahun. Tapi, seperti sudah berumah tangga selama dua puluh tahun saja perubahannya. Sikapnya berbanding terbalik dengan awal-awal pernikahan. Aku yakin kalau itu semua hanya topeng saja.Beralih dari lamunan singkat, aku segera bersiap dengan rencanaku. Bukan tentang surat rumah, melainkan pergi ke pusat pemeriksaan DNA agar kebenaran ini segera jelas.Aku berdiri di depan kamar seraya menatap Rani yang tengah memakai sepatu di ruang tengah. Paras cantik serta kelopak mata yang sipit memang jauh berbeda dengan diriku mau pun mantan suamiku. Tapi, dia sudah aku besarkan sepenuh hati. Dengan kasih sayang yang tulus. Aku bahkan rela bekerja saat menjanda hanya demi Rani. Walau pun kini balasannya sungguh menyakitkan.Saat langkah ini telah sampai di depan pintu, tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Sepertinya aku harus menunda rencana dalam beberapa jam.Aku membiarkan Mas Fery dan Rani berangkat lebih dulu d
Aku tak pernah menyangka kalau mereka akan melakukan perbuatan zina saat jam kerja seperti ini. Harusnya Rani kan ke sekolah. Ya Tuhan, pantas saja rekaman CCTV yang ada di rumah tak ada lagi yang aneh. Nyatanya mereka melakukan perbuatan itu di rumah yang terlihat masih baru. Rumah yang disinyalir milik Rani."Apa benar laki-laki yang ada di dalam adalah suami, Mba?" Ibu RT bertanya kepadaku. Aku yang tengah merekam aktivitas kezi di dalam segera mengakhirinya disaat sudah cukup sebagai bukti.Aku segera mengganggukan kepala guna menjawab pertanyaan Bu RT. Air mata yang sedari tadi aku bendung akhirnya luruh di pipi. Aku sudah tak kuat dengan tingkah mereka yang menjijikan. Itu semua tak bisa dibiarkan berlarut-larut."Lalu, Mba kenal dengan wanitanya? Itu gadis yang bernama Rani, pemilik rumah ini. Apa mereka sudah menikah?" Bu RT bertanya lagi tentu dengan suara berbisik. Kami tak mau dua sejoli yang tengah asik bercinta di dalam, mendengar suara kami di luar."Rani adalah anak say
"Apa!" Pak RT dan warga nampak terkejut."Ya saya dan Rani adalah pasangan suami istri. Kami tidak berzina. Kalian akan saya tuntut!" Mas Fery dengan ancaman yang tegas. Dia pikir aku tak berada di lokasi."Bohong!" Aku segera mendekat sambil membantah ucapan Mas Fery.Semua warga melihat langkahku yang mendekat. Termasuk Mas Fery dan Rani yang nampak terkejut."Mia! Sedang apa kamu di sini?" Mas Fery dengan wajah terkejutnya. Ia tak mengalihkan pandangannya ke arah yang lain, pun dengan Rani.Aku kini telah berada diantara keduanya, diantara kerumunan warga yang nampak emosi."Tuhan telah menuntunku ke rumah ini. Rumah yang ternyata milik Rani. Kalian sungguh pasangan yang luar biasa!" Aku bertepuk tangan seraya mengukir senyuman palsu. Senyuman yang hanya untuk menutupi kepedihan di dalam dada."Mamah, ini bukan rumahku, Mah. Ini-" Belum sempat Rani menyelesaikan pembelaan, aku segera memotongnya."Saya tidak butuh penjelasanmu, Rani. Anak durkaha!" potongku segera. Aku melayangkan
Mas Fery bersi kukuh tak mau mengakui kesalahannya bahkan di hadapan polisi sekali pun."Halah! Maling mana mau ngaku! Ayo, Pak Polisi. Kurung saja mereka di dalam sel tahanan." Salah satu warga berteriak. Teriakannya bahkan diikuti oleh warga yang lain yang tampak emosi saat Mas Fery terus saja mengelak dari kesalahan."Sudah diam! Akan saya urus." Petugas kepolisian segera melerai."Apa ada bukti dari perbuatan mereka?" Polisi bertanya pada Pak RT. Aku pun segera maju untuk bersuara."Saya memiliki buktinya, Pak," tegasku.Mas Fery tampak semakin ambisi, "Bukti apa kamu, Mia? Jangan menambah keruh suasana.""Saya tidak menambah keruh. Saya akan memperjelas masalah yang terjadi siang ini," tegasku lagi.Seberapa besar pun usaha Mas Fery membela diri, aku yakin dia akan tetap kalah siang ini. Permainan liciknya selama ini harus segera diakhiri dan aku tak akan membiarkannya terus menerus."Silahkan duduk, Mba." Petugas berseragam coklat mempersilahkan aku untuk duduk. Aku mengikuti pe
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan jiwa dan ragaku. Hari yang tak akan pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku.Hidupku terasa sudah hancur. Suami dan anakku telah berada dalam sel tahanan dan menunggu proses persidangan.Sedang aku, aku sendiri meratapi nasib yang terasa pilu. Luka di hati ini tak akan pernah bisa sembuh begitu saja saat mengingat kembali kata-kata Mas Fery yang mengatakan kalau dia dan Rani sudah saling mencintai.Kaki ini melangkah masuk ke pekarangan rumah. Taksi online yang tumpangi telah pergi. Aku hanya sendiri saat dua penghuni telah berkurang dan berada dalam sel tahanan.Gegas aku masukan kunci pintu pada lubangnya. Aku buka pintu dengan lebar. Langkah kaki terhenti saat teriakan memanggil dari arah gerbang rumah."Mba Mia!" Suara sopran dengan lantang memanggil membuatku segera menoleh ke sumber suara. Pemilik suara itu adalah tetanggaku. Dia datang berdua, bersama dengan tetangga yang sebelahnya lagi.Mereka berdua berjalan dengan tergesa-gesa s
"Jangan panggil saya ibu. Saya tidak sudi dipanggil Ibu lagi oleh menantu durhaka seperti kamu!" Lagi, suara Ibu mertua terdengar murka. Aku sampai tercengang mendengarnya. Aku yakin kalau Ibu mertua sudah tahu mengenai anaknya yang berada dalam sel tahanan saat ini."Maaf ya, Bu. Saya bukan menantu durhaka. Saya juga bukan istri durhaka. Kalau tujuan Ibu menelephone hanya untuk memaki, maka saya akan mengakhiri percakapan ini," balasku. Sedikit kesal dengan mertua. Namun, aku tetap dengan nada suara yang rendah."Kalau kamu bukan istri durhaka, lalu apa-apaan kamu menjebak Fery? Kamu menjebak anak saya dan menjebloskannya ke dalam sel tahanan. Istri macam apa kamu ha?!" sentak Ibu mertua masih dalam sambungan telephone."Bu, saya tidak menjebak. Mas Fery masuk tahanan karena ulahnya sendiri. Apa salah saya, Bu?" Aku membela diri. Tentu saja tak mau disalahkan karena bukan aku yang salah."Halah! Itu hanya akal-akalan kamu saja. Saya beri kamu waktu 2x24 jam. Kalau sampai Fery masih
"Oh jadi ini tujuan kamu, Mia!" Belum sempat aku menjawab tawaran Merry, tiba-tiba suara Ibu mertua yang menggelegar membuatku terkesiap. Kapan Ibu datang? Tiba-tiba sudah berdiri saja di dekat pintu dengan mata membulat dan menyilangkan kedua tangan di depan dada."Ibu!" Aku segera beranjak dari tempat duduk kemudian menghampiri Ibu mertua untuk menyalami, akan ditetapi segera ditepis olehnya."Tidak usah kamu so baik!" tolak Ibu mertua.Aku tidak tahu lagi apa maksud kemarahan Ibu mertua pagi ini. Datang tak diundang meluapkan api yang berkobar di dalam dadanya. Mungkin Ibu mertua masih marah karena anaknya masih terkurung di dalam sel tahanan."Apa lagi sih, Bu? Ibu terus saja marah-marah," ucapku bertanya. Beruntung aku masih punya stok sabar dalam menghadapi mertua galak seperti ibunya Mas Fery ini."Sudahlah jangan pura-pura tidak paham. Saya sudah mendengar sendiri percakapan kalian tadi. Jadi ini kan tujuan kamu menjebak anak saya. Agar kamu bisa masuk televisi begitu?! Istri