Aku tak pernah menyangka kalau mereka akan melakukan perbuatan zina saat jam kerja seperti ini. Harusnya Rani kan ke sekolah. Ya Tuhan, pantas saja rekaman CCTV yang ada di rumah tak ada lagi yang aneh. Nyatanya mereka melakukan perbuatan itu di rumah yang terlihat masih baru. Rumah yang disinyalir milik Rani."Apa benar laki-laki yang ada di dalam adalah suami, Mba?" Ibu RT bertanya kepadaku. Aku yang tengah merekam aktivitas kezi di dalam segera mengakhirinya disaat sudah cukup sebagai bukti.Aku segera mengganggukan kepala guna menjawab pertanyaan Bu RT. Air mata yang sedari tadi aku bendung akhirnya luruh di pipi. Aku sudah tak kuat dengan tingkah mereka yang menjijikan. Itu semua tak bisa dibiarkan berlarut-larut."Lalu, Mba kenal dengan wanitanya? Itu gadis yang bernama Rani, pemilik rumah ini. Apa mereka sudah menikah?" Bu RT bertanya lagi tentu dengan suara berbisik. Kami tak mau dua sejoli yang tengah asik bercinta di dalam, mendengar suara kami di luar."Rani adalah anak say
"Apa!" Pak RT dan warga nampak terkejut."Ya saya dan Rani adalah pasangan suami istri. Kami tidak berzina. Kalian akan saya tuntut!" Mas Fery dengan ancaman yang tegas. Dia pikir aku tak berada di lokasi."Bohong!" Aku segera mendekat sambil membantah ucapan Mas Fery.Semua warga melihat langkahku yang mendekat. Termasuk Mas Fery dan Rani yang nampak terkejut."Mia! Sedang apa kamu di sini?" Mas Fery dengan wajah terkejutnya. Ia tak mengalihkan pandangannya ke arah yang lain, pun dengan Rani.Aku kini telah berada diantara keduanya, diantara kerumunan warga yang nampak emosi."Tuhan telah menuntunku ke rumah ini. Rumah yang ternyata milik Rani. Kalian sungguh pasangan yang luar biasa!" Aku bertepuk tangan seraya mengukir senyuman palsu. Senyuman yang hanya untuk menutupi kepedihan di dalam dada."Mamah, ini bukan rumahku, Mah. Ini-" Belum sempat Rani menyelesaikan pembelaan, aku segera memotongnya."Saya tidak butuh penjelasanmu, Rani. Anak durkaha!" potongku segera. Aku melayangkan
Mas Fery bersi kukuh tak mau mengakui kesalahannya bahkan di hadapan polisi sekali pun."Halah! Maling mana mau ngaku! Ayo, Pak Polisi. Kurung saja mereka di dalam sel tahanan." Salah satu warga berteriak. Teriakannya bahkan diikuti oleh warga yang lain yang tampak emosi saat Mas Fery terus saja mengelak dari kesalahan."Sudah diam! Akan saya urus." Petugas kepolisian segera melerai."Apa ada bukti dari perbuatan mereka?" Polisi bertanya pada Pak RT. Aku pun segera maju untuk bersuara."Saya memiliki buktinya, Pak," tegasku.Mas Fery tampak semakin ambisi, "Bukti apa kamu, Mia? Jangan menambah keruh suasana.""Saya tidak menambah keruh. Saya akan memperjelas masalah yang terjadi siang ini," tegasku lagi.Seberapa besar pun usaha Mas Fery membela diri, aku yakin dia akan tetap kalah siang ini. Permainan liciknya selama ini harus segera diakhiri dan aku tak akan membiarkannya terus menerus."Silahkan duduk, Mba." Petugas berseragam coklat mempersilahkan aku untuk duduk. Aku mengikuti pe
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan jiwa dan ragaku. Hari yang tak akan pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku.Hidupku terasa sudah hancur. Suami dan anakku telah berada dalam sel tahanan dan menunggu proses persidangan.Sedang aku, aku sendiri meratapi nasib yang terasa pilu. Luka di hati ini tak akan pernah bisa sembuh begitu saja saat mengingat kembali kata-kata Mas Fery yang mengatakan kalau dia dan Rani sudah saling mencintai.Kaki ini melangkah masuk ke pekarangan rumah. Taksi online yang tumpangi telah pergi. Aku hanya sendiri saat dua penghuni telah berkurang dan berada dalam sel tahanan.Gegas aku masukan kunci pintu pada lubangnya. Aku buka pintu dengan lebar. Langkah kaki terhenti saat teriakan memanggil dari arah gerbang rumah."Mba Mia!" Suara sopran dengan lantang memanggil membuatku segera menoleh ke sumber suara. Pemilik suara itu adalah tetanggaku. Dia datang berdua, bersama dengan tetangga yang sebelahnya lagi.Mereka berdua berjalan dengan tergesa-gesa s
"Jangan panggil saya ibu. Saya tidak sudi dipanggil Ibu lagi oleh menantu durhaka seperti kamu!" Lagi, suara Ibu mertua terdengar murka. Aku sampai tercengang mendengarnya. Aku yakin kalau Ibu mertua sudah tahu mengenai anaknya yang berada dalam sel tahanan saat ini."Maaf ya, Bu. Saya bukan menantu durhaka. Saya juga bukan istri durhaka. Kalau tujuan Ibu menelephone hanya untuk memaki, maka saya akan mengakhiri percakapan ini," balasku. Sedikit kesal dengan mertua. Namun, aku tetap dengan nada suara yang rendah."Kalau kamu bukan istri durhaka, lalu apa-apaan kamu menjebak Fery? Kamu menjebak anak saya dan menjebloskannya ke dalam sel tahanan. Istri macam apa kamu ha?!" sentak Ibu mertua masih dalam sambungan telephone."Bu, saya tidak menjebak. Mas Fery masuk tahanan karena ulahnya sendiri. Apa salah saya, Bu?" Aku membela diri. Tentu saja tak mau disalahkan karena bukan aku yang salah."Halah! Itu hanya akal-akalan kamu saja. Saya beri kamu waktu 2x24 jam. Kalau sampai Fery masih
"Oh jadi ini tujuan kamu, Mia!" Belum sempat aku menjawab tawaran Merry, tiba-tiba suara Ibu mertua yang menggelegar membuatku terkesiap. Kapan Ibu datang? Tiba-tiba sudah berdiri saja di dekat pintu dengan mata membulat dan menyilangkan kedua tangan di depan dada."Ibu!" Aku segera beranjak dari tempat duduk kemudian menghampiri Ibu mertua untuk menyalami, akan ditetapi segera ditepis olehnya."Tidak usah kamu so baik!" tolak Ibu mertua.Aku tidak tahu lagi apa maksud kemarahan Ibu mertua pagi ini. Datang tak diundang meluapkan api yang berkobar di dalam dadanya. Mungkin Ibu mertua masih marah karena anaknya masih terkurung di dalam sel tahanan."Apa lagi sih, Bu? Ibu terus saja marah-marah," ucapku bertanya. Beruntung aku masih punya stok sabar dalam menghadapi mertua galak seperti ibunya Mas Fery ini."Sudahlah jangan pura-pura tidak paham. Saya sudah mendengar sendiri percakapan kalian tadi. Jadi ini kan tujuan kamu menjebak anak saya. Agar kamu bisa masuk televisi begitu?! Istri
Hari-hari terasa akan lebih menegangkan sepertinya. Lagi pula, siapa sih yang telah membuat kegaduhan ini. Aku bahkan tak tahu siapa yang mengedarkan video penggerebegan itu hingga beritanya sampai viral sejagad raya.Aku segera beranjak dari tempat duduk. Hari ini aku akan ke kantor polisi. Aku ingin berbicara dengan Rani dari hati ke hati setelah semalaman aku merenung memikirkan nasib anakku. Aku sadar Rani memang salah, namun entah kenapa dalam hati kecil tetap saja merasa kasihan. Lagi-lagi aku berandai-andai, andai saja bukan Rani pelakunya mungkin saja tak akan seberat ini.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, kini kaki ini telah sampai dan menginjak lantai kantor polisi. Aku menunggu Rani di ruang tunggu untuk berbicara terlebih dahulu dengannya sebelum kasus ini naik ke persidangan.Gadisku dibawa petugas menemuiku yang sudah duduk di ruang ruang tunggu. Rani duduk di kursi yang bersebrangan denganku. Dia menundukan kepala. Entah malu atau pun merasa bersalah
Aku segera mengambil berkas-berkas yang aku bawa pagi ini di dalam tas. Aku menyodorkan selembar kertas yang dibungkus map berwarna biru ke hadapan Mas Fery."Apa ini?" Mas Fery tampak mengernyitkan dahi."Aku akan mencabut gugatan apabila kamu menandatangani surat itu." Aku meluruskan jari telunjuk pada kertas di atas meja di hadapan Mas Fery.Diambilnya kertas itu kemudian dibaca dengan seksama. Bola mata Mas Fery nampak terbelalak setelah membaca isi surat itu.Isi surat itu adalah sebuah pernyataan yang harus Mas Fery tanda tangani. Aku sengaja membuatnya semalaman sambil berpikir dengan jernih.Isinya ada beberapa poin. Poin pertama, Mas Fery harus menceraikan aku. Poin kedua, Mas Fery harus mengikhlasnya rumah yang surat-suratnya sudah beralih menjadi atas namaku. Poin ketiga, Mas Fery harus hengkang dari rumah yang sudah menjadi milikku. Poin keempat, harta gono-gini yang telah dihasilkan selama pernikahan dua tahun harus dibagi dua denganku. Itu saja."Kamu mau memeras aku, Mi