Hari-hari terasa akan lebih menegangkan sepertinya. Lagi pula, siapa sih yang telah membuat kegaduhan ini. Aku bahkan tak tahu siapa yang mengedarkan video penggerebegan itu hingga beritanya sampai viral sejagad raya.Aku segera beranjak dari tempat duduk. Hari ini aku akan ke kantor polisi. Aku ingin berbicara dengan Rani dari hati ke hati setelah semalaman aku merenung memikirkan nasib anakku. Aku sadar Rani memang salah, namun entah kenapa dalam hati kecil tetap saja merasa kasihan. Lagi-lagi aku berandai-andai, andai saja bukan Rani pelakunya mungkin saja tak akan seberat ini.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, kini kaki ini telah sampai dan menginjak lantai kantor polisi. Aku menunggu Rani di ruang tunggu untuk berbicara terlebih dahulu dengannya sebelum kasus ini naik ke persidangan.Gadisku dibawa petugas menemuiku yang sudah duduk di ruang ruang tunggu. Rani duduk di kursi yang bersebrangan denganku. Dia menundukan kepala. Entah malu atau pun merasa bersalah
Aku segera mengambil berkas-berkas yang aku bawa pagi ini di dalam tas. Aku menyodorkan selembar kertas yang dibungkus map berwarna biru ke hadapan Mas Fery."Apa ini?" Mas Fery tampak mengernyitkan dahi."Aku akan mencabut gugatan apabila kamu menandatangani surat itu." Aku meluruskan jari telunjuk pada kertas di atas meja di hadapan Mas Fery.Diambilnya kertas itu kemudian dibaca dengan seksama. Bola mata Mas Fery nampak terbelalak setelah membaca isi surat itu.Isi surat itu adalah sebuah pernyataan yang harus Mas Fery tanda tangani. Aku sengaja membuatnya semalaman sambil berpikir dengan jernih.Isinya ada beberapa poin. Poin pertama, Mas Fery harus menceraikan aku. Poin kedua, Mas Fery harus mengikhlasnya rumah yang surat-suratnya sudah beralih menjadi atas namaku. Poin ketiga, Mas Fery harus hengkang dari rumah yang sudah menjadi milikku. Poin keempat, harta gono-gini yang telah dihasilkan selama pernikahan dua tahun harus dibagi dua denganku. Itu saja."Kamu mau memeras aku, Mi
Aku terkejut. Suara Siska terdengar menegangkan. Gegas aku bertanya karena cemas, "Ada apa, Sis? Mengapa suara kamu terdengar cemas? Memangnya kamu ada dimana?"Deretan pertanyaan aku lontarkan pada Siska di ujung sambungan telephone."Aku ada di rumah kamu, Mia. Cepat pulang sekarang. Aku tunggu!" Siska mengakhiri sambungan telephone secara sepihak, padahal aku belum selesai bicara. Gegas aku menuruti perintah sahabatku itu untuk segera pulang. Dalam perjalanan pun aku dibuat resah karena penasaran.Sesampainya di depan rumah, aku melihat banyak orang yang duduk si teras rumah."Kok banyak orang?" Aku bertanya-tanya melihat pemandangan di depan rumah. Gegas aku keluar dari taksi online melangkah menuju Siska yang ada di deretan kerumunan orang-orang yang tak ku kenal."Akhirnya, kamu pulang juga!" Siska nampak lega dengan kedatanganku. "Ada apa ini, Sis?" Aku bertanya segera. "Ayo masuk dulu!" Siska menarik pergelangan tanganku mengajak masuk ke dalam rumah yang segera aku buka ku
Aku terdiam sejenak. Apa harus aku katakan keputusanku di hadapan wartawan? Aku bingung dan masih saja diam."Mohon maaf semuanya. Sepertinya saat ini Mia masih belum bisa bicara panjang lebar. Mia butuh istirahat dulu. Mohon pengertiannya ya pada teman-teman semua." Siska segera mengambil alih saat aku diam dalam keresahan."Baiklah, Mba Mia. Terima kasih atas jawaban hari ini. Terima kasih atas waktunya." Dengan sopan beberapa wartawan pun mengakhiri wawancaranya hari ini. Sepertinya mereka paham dengan kondisiku saat ini. Baguslah kalau begitu. Lagi pula aku memang belum siap menceritakan masalahku ini di depan umum.Satu-persatu wartawan gosip mulai pamit dan pergi. Aku dan Siska pun segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya.Aku melurukn tubuh ini di atas sofa ruang tengah. Mengapa hari-hariku menjadi melelahkan seperti ini."Minum dulu, Mia. Siapa tahu air dingin ini bisa menyegarkan kepalamu."Siska tampak menyodorkan segelas air dingin berwarna orange ke hadapanku. Rup
Cukup lama aku berada di rumah sakit di bagian pemeriksaan DNA. Setelah semua urusan dan tes telah aku lakukan. Aku dan Siska segera pulang. Aku harus menunggu hasilnya selama satu sampai dua minggu ke depan. Tidak mengapa, yang penting aku bisa tahu hasilnya dengan akurat. Beruntung juga tes DNA bisa dilakukan tanpa menghadirkan Rani."Semoga hasilnya sesuai dengan yang kamu harapkan ya, Mia." Siska memberikan semangat.Aku menganggukan kepala. Kami berdua kini telah berada di dalam mobil Siska dan akan segera pulang. Entah apa yang aku harapkan saat ini. Apa pun hasilnya nanti tentu aku harus terima."Kita pulang sekarang ya, Sis. Aku lelah sekali seharian ini," pintaku pada Siska yang langsung dibalas dengan anggukan kepala.Sedan milik Siska melaju dengan kencang membelah jalan raya yang tampak ramai oleh lalu lalang kendaraan di sore ini.Hari ini aku memang cukup sibuk. Aku sibuk dengan masalah ini. Aku menyenderkan kepalaku yang terasa berat pada kursi mobil. Pandanganku berali
"Kami hanya ingin mengupas lebih jelas berita yang sekarang sedang viral. Yakni berita perselingkuhan antara Ayah dan anak tirinya," jelas pria itu dengan ramah.Aku yang masih tercengang seketika saling melempar tatapan dengan Siska. Apa-apaan ini. Kisah piluku bahkan hendak dibeli oleh orang lain."Maaf, Mas. Sepertinya saya belum siap," tolakku secara halus."Kenapa, Mba? Berita ini sedang panas-panasnya. Semua orang menunggu klarifikasi dan cerita yang jelas dari sumbernya. Saya harap, Mba Mia bisa menerima tawaran saya." Pria itu tampak memohon.Aku diam dalam beberapa detik. Aku memijat pelipis yang isinya terasa pusing."Entahlah. Saya tidak bisa memutuskan sekarang. Hari ini saya sangat sibuk dan lelah. Saya belum istirahat sama sekali," jawabku. Sebenarnya aku merasa tidak enak dengan pria itu. Seperti terlihat menggangtungkan harapan kepadaku kali ini. Tapi mau bagaimana, aku memang lelah dan belum bisa menerima tawaran apa pun."Baiklah. Saya hargai keputusan, Mba Mia."Pri
"Mau apa kamu?" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Fery. Namun, laki-laki yang telah menjadi mantan suamiku semakin terlihat ganas bak singa yang hendak menerkam mangsanya.Di waktu yang cepat, Fery langsung mencengkeram leherku. Tubuhku dihimpitnya pada dinding membuatku terasa sesak dan susah untuk bernapas."Le-lepas!"Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari kepalan tangan Fery yang memenuhi leherku. Rasanya napasku semakin sesak."Kamu telah menghancurkan hidupku, karirku dan masa depanku. Aku telah kehilangan pekerjaan dan semua gara-gara kamu!" Tatapan Fery memerah dan tajam seperti kerasukan saja. Aku merasa takut sekali melihatnya. Telapak tangannya masih memenuhi leherku membuatku kesusahan untuk bicara bahkan bernapas sekali pun.Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri, tenaga Fery tetap tak bisa dilawan. Dia lebih kuat dariku. Air mata ini luruh membasahi pipi. Susah payah aku bernapas seperti sudah pada ujung kehidupanku.Tak lama sebuah balok mendarat d
"Rani, hallo!" Usahaku tak membuahkan hasil. Sambungan telepon telah terputus sepihak. Rani sudah tak sudi lagi bicara denganku. Padahal aku sungguh mengkhawatirkannya. Apa salahku? Harusnya aku yang marah. Harusnya aku yang benci dengan keadaan ini, tapi mengapa ini malah sebaliknya.Aku menarik napas lesu. Mengusap dada dengan telapak tangan. Napasku sungguh sesak dengan semua kenyataan ini.Aku ini seorang Ibu. Sebesar apa pun kesalahan seorang anak, tetap saja tak bisa membenci. Aku tetap khawatir dengan Rani. Tidur dimana dia, makan dengan apa dia. Ah ya sudahlah. Aku hanya bisa berdo'a, semoga anak selalu dalam lindungan Tuhan dimana pun dia berada.***"Mba Mia sudah siap?" Crew yang bertugas pada station televisi dalam acara talkshow tampak bertanya kepadaku. Aku segera mengangguk setelah perasaan nervous mulai pergi.Hari ini, aku telah menerima undangan talkshow untuk bincang-bincang santai mengenai kisah piluku selama ini. Awalnya aku memang tak mau menerima tawaran ini.