Mas Fery bersi kukuh tak mau mengakui kesalahannya bahkan di hadapan polisi sekali pun."Halah! Maling mana mau ngaku! Ayo, Pak Polisi. Kurung saja mereka di dalam sel tahanan." Salah satu warga berteriak. Teriakannya bahkan diikuti oleh warga yang lain yang tampak emosi saat Mas Fery terus saja mengelak dari kesalahan."Sudah diam! Akan saya urus." Petugas kepolisian segera melerai."Apa ada bukti dari perbuatan mereka?" Polisi bertanya pada Pak RT. Aku pun segera maju untuk bersuara."Saya memiliki buktinya, Pak," tegasku.Mas Fery tampak semakin ambisi, "Bukti apa kamu, Mia? Jangan menambah keruh suasana.""Saya tidak menambah keruh. Saya akan memperjelas masalah yang terjadi siang ini," tegasku lagi.Seberapa besar pun usaha Mas Fery membela diri, aku yakin dia akan tetap kalah siang ini. Permainan liciknya selama ini harus segera diakhiri dan aku tak akan membiarkannya terus menerus."Silahkan duduk, Mba." Petugas berseragam coklat mempersilahkan aku untuk duduk. Aku mengikuti pe
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan jiwa dan ragaku. Hari yang tak akan pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku.Hidupku terasa sudah hancur. Suami dan anakku telah berada dalam sel tahanan dan menunggu proses persidangan.Sedang aku, aku sendiri meratapi nasib yang terasa pilu. Luka di hati ini tak akan pernah bisa sembuh begitu saja saat mengingat kembali kata-kata Mas Fery yang mengatakan kalau dia dan Rani sudah saling mencintai.Kaki ini melangkah masuk ke pekarangan rumah. Taksi online yang tumpangi telah pergi. Aku hanya sendiri saat dua penghuni telah berkurang dan berada dalam sel tahanan.Gegas aku masukan kunci pintu pada lubangnya. Aku buka pintu dengan lebar. Langkah kaki terhenti saat teriakan memanggil dari arah gerbang rumah."Mba Mia!" Suara sopran dengan lantang memanggil membuatku segera menoleh ke sumber suara. Pemilik suara itu adalah tetanggaku. Dia datang berdua, bersama dengan tetangga yang sebelahnya lagi.Mereka berdua berjalan dengan tergesa-gesa s
"Jangan panggil saya ibu. Saya tidak sudi dipanggil Ibu lagi oleh menantu durhaka seperti kamu!" Lagi, suara Ibu mertua terdengar murka. Aku sampai tercengang mendengarnya. Aku yakin kalau Ibu mertua sudah tahu mengenai anaknya yang berada dalam sel tahanan saat ini."Maaf ya, Bu. Saya bukan menantu durhaka. Saya juga bukan istri durhaka. Kalau tujuan Ibu menelephone hanya untuk memaki, maka saya akan mengakhiri percakapan ini," balasku. Sedikit kesal dengan mertua. Namun, aku tetap dengan nada suara yang rendah."Kalau kamu bukan istri durhaka, lalu apa-apaan kamu menjebak Fery? Kamu menjebak anak saya dan menjebloskannya ke dalam sel tahanan. Istri macam apa kamu ha?!" sentak Ibu mertua masih dalam sambungan telephone."Bu, saya tidak menjebak. Mas Fery masuk tahanan karena ulahnya sendiri. Apa salah saya, Bu?" Aku membela diri. Tentu saja tak mau disalahkan karena bukan aku yang salah."Halah! Itu hanya akal-akalan kamu saja. Saya beri kamu waktu 2x24 jam. Kalau sampai Fery masih
"Oh jadi ini tujuan kamu, Mia!" Belum sempat aku menjawab tawaran Merry, tiba-tiba suara Ibu mertua yang menggelegar membuatku terkesiap. Kapan Ibu datang? Tiba-tiba sudah berdiri saja di dekat pintu dengan mata membulat dan menyilangkan kedua tangan di depan dada."Ibu!" Aku segera beranjak dari tempat duduk kemudian menghampiri Ibu mertua untuk menyalami, akan ditetapi segera ditepis olehnya."Tidak usah kamu so baik!" tolak Ibu mertua.Aku tidak tahu lagi apa maksud kemarahan Ibu mertua pagi ini. Datang tak diundang meluapkan api yang berkobar di dalam dadanya. Mungkin Ibu mertua masih marah karena anaknya masih terkurung di dalam sel tahanan."Apa lagi sih, Bu? Ibu terus saja marah-marah," ucapku bertanya. Beruntung aku masih punya stok sabar dalam menghadapi mertua galak seperti ibunya Mas Fery ini."Sudahlah jangan pura-pura tidak paham. Saya sudah mendengar sendiri percakapan kalian tadi. Jadi ini kan tujuan kamu menjebak anak saya. Agar kamu bisa masuk televisi begitu?! Istri
Hari-hari terasa akan lebih menegangkan sepertinya. Lagi pula, siapa sih yang telah membuat kegaduhan ini. Aku bahkan tak tahu siapa yang mengedarkan video penggerebegan itu hingga beritanya sampai viral sejagad raya.Aku segera beranjak dari tempat duduk. Hari ini aku akan ke kantor polisi. Aku ingin berbicara dengan Rani dari hati ke hati setelah semalaman aku merenung memikirkan nasib anakku. Aku sadar Rani memang salah, namun entah kenapa dalam hati kecil tetap saja merasa kasihan. Lagi-lagi aku berandai-andai, andai saja bukan Rani pelakunya mungkin saja tak akan seberat ini.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, kini kaki ini telah sampai dan menginjak lantai kantor polisi. Aku menunggu Rani di ruang tunggu untuk berbicara terlebih dahulu dengannya sebelum kasus ini naik ke persidangan.Gadisku dibawa petugas menemuiku yang sudah duduk di ruang ruang tunggu. Rani duduk di kursi yang bersebrangan denganku. Dia menundukan kepala. Entah malu atau pun merasa bersalah
Aku segera mengambil berkas-berkas yang aku bawa pagi ini di dalam tas. Aku menyodorkan selembar kertas yang dibungkus map berwarna biru ke hadapan Mas Fery."Apa ini?" Mas Fery tampak mengernyitkan dahi."Aku akan mencabut gugatan apabila kamu menandatangani surat itu." Aku meluruskan jari telunjuk pada kertas di atas meja di hadapan Mas Fery.Diambilnya kertas itu kemudian dibaca dengan seksama. Bola mata Mas Fery nampak terbelalak setelah membaca isi surat itu.Isi surat itu adalah sebuah pernyataan yang harus Mas Fery tanda tangani. Aku sengaja membuatnya semalaman sambil berpikir dengan jernih.Isinya ada beberapa poin. Poin pertama, Mas Fery harus menceraikan aku. Poin kedua, Mas Fery harus mengikhlasnya rumah yang surat-suratnya sudah beralih menjadi atas namaku. Poin ketiga, Mas Fery harus hengkang dari rumah yang sudah menjadi milikku. Poin keempat, harta gono-gini yang telah dihasilkan selama pernikahan dua tahun harus dibagi dua denganku. Itu saja."Kamu mau memeras aku, Mi
Aku terkejut. Suara Siska terdengar menegangkan. Gegas aku bertanya karena cemas, "Ada apa, Sis? Mengapa suara kamu terdengar cemas? Memangnya kamu ada dimana?"Deretan pertanyaan aku lontarkan pada Siska di ujung sambungan telephone."Aku ada di rumah kamu, Mia. Cepat pulang sekarang. Aku tunggu!" Siska mengakhiri sambungan telephone secara sepihak, padahal aku belum selesai bicara. Gegas aku menuruti perintah sahabatku itu untuk segera pulang. Dalam perjalanan pun aku dibuat resah karena penasaran.Sesampainya di depan rumah, aku melihat banyak orang yang duduk si teras rumah."Kok banyak orang?" Aku bertanya-tanya melihat pemandangan di depan rumah. Gegas aku keluar dari taksi online melangkah menuju Siska yang ada di deretan kerumunan orang-orang yang tak ku kenal."Akhirnya, kamu pulang juga!" Siska nampak lega dengan kedatanganku. "Ada apa ini, Sis?" Aku bertanya segera. "Ayo masuk dulu!" Siska menarik pergelangan tanganku mengajak masuk ke dalam rumah yang segera aku buka ku
Aku terdiam sejenak. Apa harus aku katakan keputusanku di hadapan wartawan? Aku bingung dan masih saja diam."Mohon maaf semuanya. Sepertinya saat ini Mia masih belum bisa bicara panjang lebar. Mia butuh istirahat dulu. Mohon pengertiannya ya pada teman-teman semua." Siska segera mengambil alih saat aku diam dalam keresahan."Baiklah, Mba Mia. Terima kasih atas jawaban hari ini. Terima kasih atas waktunya." Dengan sopan beberapa wartawan pun mengakhiri wawancaranya hari ini. Sepertinya mereka paham dengan kondisiku saat ini. Baguslah kalau begitu. Lagi pula aku memang belum siap menceritakan masalahku ini di depan umum.Satu-persatu wartawan gosip mulai pamit dan pergi. Aku dan Siska pun segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya.Aku melurukn tubuh ini di atas sofa ruang tengah. Mengapa hari-hariku menjadi melelahkan seperti ini."Minum dulu, Mia. Siapa tahu air dingin ini bisa menyegarkan kepalamu."Siska tampak menyodorkan segelas air dingin berwarna orange ke hadapanku. Rup