Sesaknya napas di dadaku melihat sikap Mas Yusuf yang langsung berubah. Mas Yusuf seperti cemburu buta. Dia seperti remaja yang tengah dirasuki rasa cemburu. Harusnya aku senang karena sikap cemburu yang ditampilkan Mas Yusuf menandakan kalau ada rasa cinta di dalam dadanya untukku.Tapi, sungguh perasaan tak bisa dibohongi. Tetap saja merasa sedih saat suami memilih tidur di kamar lain hanya karena cemburu buta. Mas Yusuf tak mau mendengarkan penjelasanku. Dia berlalu begitu saja ke kamar yang lain. Kamar yang tak terlalu jauh dari kamarku. Sempat kutahan langkahnya, tapi dia terus saja dengan langkahnya masuk ke kamar yang ada di ujung ruang keluarga."Kenapa kalian? Berantem?" Rasanya bukan waktu yang tepat saat Khaila muncul di hadapanku. Apalagi saat suasana hati tak begitu baik."Tidak kok. Mas Yusuf memang sedang ingin sendiri," jawabku pada Khaila. Lagi pula dia tak perlu tahu dengan urusan rumah tanggaku."Masa sih? Kok aku mencium aroma-aroma pertikaian ya," sindir Khaila s
Aku melanjutkan aktivas membuat sarapan. Tak ingin menimpali perbincangan antara Khaila dan Jenifer. "Basah bukan sembarang basah, tapi ada artinya kan, Mba." Suara Khaila menimpali lagi.Aku berusaha tak paham dengan ocehan mereka. Tak mau memperkeruh suasana hati yang sedang tak baik-baik saja.Sampai selesai membuat sarapan, kulihat Mas Yusuf tiba di ruang makan. Dia duduk tanpa menyapaku. Dia sudah rapi. Pakaian yang sudah kupersiapkan sudah dipakainya. Tapi, melihat rambutnya yang basah mengapa pikiranku jadi berhalusinasi begini. Padahal Mas Yusuf memang selalu keramas setiap kali mandi."Mas, sarapan dulu ya." Aku masih berusaha tenang. Menyapa suamiku walau dia tak membalas sapaanku.Aku tetap menyendokan nasi beserta lauknya ke hadapan Mas Yusuf. Dia menerimanya walau masih dalam keadaan marah."Jangan marah, Mas. Saya tidak nyaman kalau melihat kamu marah," ucapku dengan pelan."Sudahlah, jangan kamu bahas masalah yang kemarin di meja makan ini." Mas Yusuf menolak ucapanku
Entah apa yang terjadi dengan perasaan Yusuf. Perasaannya saat ini berkecamuk resah. Ia masih saja kesulitan mengatur perasaannya.Semalam, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Awalnya Yusuf berpikir kalau itu adalah Mia. Ia membuka pintu dan ternyata di depan kamar itu sudah berdiri istri keduanya, Jenifer."Ada apa?" Yusuf bertanya tanpa basa-basi.Ditangan Jenifer tengah menggenggam sebotol air mineral yang disodorkan ke hadapan Yusuf. "Mas, ambilah air minum ini, sekedar untuk menghilangkan rasa kering pada tenggorokan saat tengah tidur," kata JeniferYusuf mengambil. "Terima kasih," ucapnya. Tanpa berpikir apa-apa Yusuf kembali menutup pintu kamar itu. Perasaannya tengah panas cemburu melihat Mia bersama laki-laki lain di caffe tadi siang. Ia kembali ke atas ranjang. Meletakan air mineral yang sudah tak bersegel di atas nakas.Ingatan Yusuf masih belum pulih, namun pemandangan Mia bersama laki-laki lain membuat perasaan Yusuf bagai terbakar lahar panas. Dia hanya bingung dengan ras
Dalam perjalanan, Jenifer dan Yusuf duduk berdampingan di kursi belakang.Jenifer menyenderkan kepalanya di bahu Yusuf. Suami Mia itu nampak tak nyaman menggerakan bahunya."Jangan seperti ini, Jenifer," kata Yusuf. Dia tampak kaku."Kenapa, Mas?" Jenifer menatap Yusuf dengan manja."Tidak apa-apa," jawab Yusuf mengalihkan pandangan ke arah luar kaca."Kalau tidak apa-apa ya sudah, Mas." Jenifer kembali menyenderkan kepalanya di bahu Yusuf. Kali ini Yusuf diam, dia tak bisa menghindar menerima saja senderan istri keduanya."Mas, aku mau ikut sama kamu ya." Jenifer kembali merengek manja."Ikut kemana?" Yusuf bertanya sambil menggaruk keningnya yang tak gatal."Ikut sama kamu, Mas," rengek Jenifer lagi."Bukannya kamu akan periksa kehamilan?" Yusuf berbalik tanya lagi. Ah ia sungguh tak bisa menolak."Kalau aku periksa kehamilan, lantas siapa yang menemani? Pasti akan ditanya mana suaminya? Lalu aku harus jawab apa?" Jenifer memasang wajah yang disendu-sendukan. Kedua sudut bibirnya d
Pemeriksaan kehamilan dimulai saat Jenifer ditemani Yusuf masuk ke ruang pemeriksaan.Jenifer berbaring di atas ranjang medis. Dia mengukir senyum karena hari ini ada Yusuf yang menemaninya. Pada layar monitor janin Jenifer terlihat. Usianya masih muda jadi belum jelas. Namun entah kenapa tiba-tiba bibir Yusuf sedikit ketarik ke samping. Ada senyuman saat melihat janin Jenifer.Kehamilan Jenifer baik-baik saja. Dari penuturan Dokter, tidak ada yang mengkhawatirkan karena semuanya baik-baik saja."Kamu sehat-sehat saja, Jenifer. Tapi kenapa kamu selalu terlihat lemas dalam pandangan saya," celetuk Yusuf. Saat ini mereka sudah kembali ke dalam mobil. Duduk di kursi belakang berdampingan."Kok kamu bicara seperti itu, Mas. Ya mungkin hari ini kehamilanku memang semakin sehat dan semakin membaik, karena sudah dikasih spirit semalam," goda Jenifer mengukir senyum genit pada suaminya."Apaan sih kamu." Yusuf tersipu malu. Ia baru saja sadar kalau semalam memang telah melewati permainan pan
Keresahan terus saja menyelimuti jiwa. Apalagi saat menjelang petang, Mas Yusuf dan Jenifer belum menampakan batang hidungnya.Aku sampai berjalan mondar-mandir di depan rumah menunggu kedatangan suamiku. Harus kupastikan Mas Yusuf datang sendirian, tak bersama Jenifer. Aku memang egois, tapi aku masih yakin kalau janin dalam perut Jenifer bukanlah anak dari suamiku."Kok Mas Yusuf masih belum pulang juga sih," desisku berbicara sendiri. Padahal mentari sudah berada di ufuk barat dan sebentar lagi akan tenggelam."Ya sudahlah tak usah khawatir kali. Mas Yusuf itu sudah dewasa. Jangan batasi gerak Mas Yusuf karena dia tak akan nyaman." Tiba-tiba suara sopran di belakangku menimpali. Padahal aku tak sedang bicara dengan siapa-siapa. Aku hanya berbicara sendirian. Kutengok ke samping, rupanya ada Khaila. Saking resahnya sampai tak sadar dengan keberadaan Khaila di dekatku."Saya tidak membatasi, Mas Yusuf. Saya hanya khawatir saja karena sebentar lagi akan segera gelap tapi suami saya b
Kepalaku cenat-cenut saat terbayang poto Mas Yusuf berselfie mesra dengan Jenifer."Mia, tenang. Kamu harus tenang." Siska terdengar menenangkanku yang masih berbicara lewat sambungan telepon."Bagaimana aku bisa tenang, Sis. Coba kamu bayangkan, Jenifer telah berhasil membuat suamiku dekat dengannya. Hancur rasanya hati ini," lirihku. Air mata amarah menetes di pipi."Iya aku paham. Kamu pasti merasa geram. Tapi tetap harus tenang. Pikirkan tentang Yusuf. Suamimu itu sedang sakit. Kamu harus paham saat dia bisa saja dicuci otaknya oleh siapa pun," kata Siska. Dia juga ada benarnya."Lalu aku harus bagaimana?" Aku kehilangan akal. Kepalaku pusing, berat sekali rasanya."Kamu harus pura-pura tak tahu dengan berita ini. Main cantik saja. Kamu harus balas Jenifer dengan cantik. Jangan pernah berpikir akan meninggalkan Yusuf, karena dia belum pulih. Tapi, kamu harus tetap berusaha menyadarkan Yusuf kalau kamu adalah cinta sejatinya." Siska dengan antusias. Dia tetap berusaha memberiku sem
Malam ini Mas Yusuf sudah duduk di tepi ranjang. Dia tak menghindariku. Tapi masih dengan sikap dingin. Lelakiku itu sudah berganti pakaian tidur yang telah kusiapkan tadi."Apa Mas Yusuf akan tidur di sini?" Gegas kubertanya. Aku mendekat tapi hanya berdiri di depannya."Saya akan tidur di kamar ini, tapi tidak di ranjang ini," jawabnya datar. Tanpa membalas tatapanku. Mengapa Mas Yusuf kian enggan saja membalas tatapanku? Dadaku lesu, semakin lesu saja."Lalu kamu akan tidur dimana, Mas?" Aku yang heran."Di sofa." Dia meluruskan pandangan pada sofa yang masih berada di kamar ini.Aku mengatur napas. Tetap tenang. "Mas, bolehkah saya bertanya?"Mas Yusuf mengangkat wajahnya. "Tanya soal apa?" Wajahnya tiba-tiba tegang. Aku tahu penyebab wajahnya tegang seperti itu."Enggak, Mas. Aku hanya ingin bertanya, bagaimama hasil therapi tadi? Apa ada perkembangan?" Kali ini aku duduk di sampingnya."Masih dengan hasil yang sama," jawabnya datar. Ia menurunkan kembali wajahnya. Semakin terlih