Semenjak saat itu, kepercayaan Mas Yusuf pada Jenifer tambah memudar. Hari ini satu minggu telah berlalu semenjak pernikahan Mas Yusuf dan Jenifer, masih juga belum terbongkar tentang kebenaran siapa Ayah dari janin yang dikandung Jenifer.Sering terdengar Jenifer merengek, tapi tak diperdulikan oleh Mas Yusuf. Dia enggan mendengar rengekan palsu dari istri mudanya."Mas, bolehkan saya ijin keluar?" Hari ini tepat pukul sembilan pagi aku meminta ijin pada suamiku untuk keluar. Saat matahari mulai naik ke atas ubun-ubun, saat Mas Yusuf telah selesai sarapan. Lagi pula, kondisi telapak kakiku sudah mulai membaik dan aku bisa berjalan seperti biasanya."Kamu mau kemana?" Mas Yusuf bertanya. Dia menoleh ke arahku. Ke arah tempat dudukku di depan cermin rias."Saya ingin bertemu dengan, Siska. Ada suatu hal yang ingin saya bicarakan dengannya," jawabku yang sebenarnya."Boleh-boleh saja. Lagi pula jadwal therapi kan masih besok. Jadi saya akan ke kantor karena masih belajar di sana. Apa m
Mas Yusuf menatapku dalam. "Entahlah, saya merasa tak menginginkan itu. Saya tak ingin melihat kamu dekat dengan laki-laki lain," balasnya.Terukir senyuman di bibir ini. Aku tersipu malu. "Saya hanya mencintai kamu, Mas. Tak ada yang bisa menggantikan kamu di hati ini." Aku menekankan. Ini bukan sedang menggombal, tapi sungguh keluar dari lubuk hati yang paling dalam."Saya senang mendengar kata-kata itu dari kamu." Mas Yusuf membalas senyumanku.Sesampainya di tempat tujuan, aku mencium punggung tangan Mas Yusuf. Berpamitan lalu keluar dari mobil. Melambaikan tangan saat mobil Mas Yusuf berlalu dari hadapanku.Gegas segera kuberjalan masuk ke dalam caffe. Jangan sampai Siska terlalu lama menunggu karena aku akan merasa tidak enak.Kuedarkan pandangan ke setiap sudut caffe begitu kaki telah sampai di dalam. Kulihat Siska melambaikan tangannya memberi kode keberadaannya.Aku membalas lambaian tangannya. Gegas hampiri tempat duduk Siska."Sorry kalau lama," ucapku meminta maaf karena n
Aku yang masih terkejut dengan kedatangan Mas Yusuf, segera berdiri. "Mas, kamu kok ada di sini?"Mas Yusuf menyodorkan benda pipih ke hadapanku. "Ponsel kamu ketinggalan di kursi mobil," katanya.Aku mengambil. Tak kusadari kalau ponselku tertinggal di mobil Mas Yusuf. "Terima kasih, Mas," ucapku mengukir senyum."Anda siapa ya?" Frans bertanya pada Mas Yusuf."Saya yang harusnya bertanya pada anda!" sentak Mas Yusuf membuatku mendongak mendengarnya."Mas dia hanya-""Saya kekasihya, Mia." Frans menyerobot jawabanku, dia berbohong dengan memotong ucapanku.Mas Yusuf terbelalak. Raut wajahnya penuh kekecewaan."Frans, jangan asal bicara kamu ya. Mas Yusuf adalah suami saya!" bantahku pada Frans.Kuraih pergelangan tangan Mas Yusuf. "Dia bukan kekasih saya, Mas. Dia-""Cukup, Mia," tukas Mas Yusuf mengangkat telapak tangannya, kemudian pergi tanpa mendengarkan penjelasan dariku. "Frans, kamu sudah gila!" bentakku pada Frans. Pria aneh itu malah mengukir senyum. Ah tak kuperdulikan.Se
Dalam perjalanan pulang diantar Siska, aku hanya diam seraya menahan dagu. Tak habis pikir dengan acara yang hari ini berantakan."Jangan terlalu dipikirkan, Mia. Aku akan bantu kamu. Yusuf pasti percaya pada kita. Lagi pula siapa Frans, dia laki-laki yang tak kita kenali. Mengaku teman SMA, aku bahkan tak mampu mengingatnya," celoteh Siska. "Aku hanya khawatir kalau sampai Mas Yusuf meragukanku," balasku lesu. Aku menurunkan tatapan merasakan kecemasan dalam diri."Itu tidak akan terjadi," tekan Siska meyakinkanku.Aku mengangguk saja walau ragu. Menghela napas cukup dalam saat berusaha menenangkan diri.Sesampainya di rumah, awalnya Siska mengajukan diri akan membantuku menjelaskan pada Mas Yusuf, tapi aku menolak karena merasa tak enak kalau Siska harus menunggu lama. Siska menurut saja padaku, dia melajukan kembali mobilnya meninggalkan pekarangan rumah, melewati gerbang yang tinggi.Langkahku lesu, masuk ke dalam rumah yang terasa sepi. Kemana Khaila dan Jenifer? Kupastikan lant
Sesaknya napas di dadaku melihat sikap Mas Yusuf yang langsung berubah. Mas Yusuf seperti cemburu buta. Dia seperti remaja yang tengah dirasuki rasa cemburu. Harusnya aku senang karena sikap cemburu yang ditampilkan Mas Yusuf menandakan kalau ada rasa cinta di dalam dadanya untukku.Tapi, sungguh perasaan tak bisa dibohongi. Tetap saja merasa sedih saat suami memilih tidur di kamar lain hanya karena cemburu buta. Mas Yusuf tak mau mendengarkan penjelasanku. Dia berlalu begitu saja ke kamar yang lain. Kamar yang tak terlalu jauh dari kamarku. Sempat kutahan langkahnya, tapi dia terus saja dengan langkahnya masuk ke kamar yang ada di ujung ruang keluarga."Kenapa kalian? Berantem?" Rasanya bukan waktu yang tepat saat Khaila muncul di hadapanku. Apalagi saat suasana hati tak begitu baik."Tidak kok. Mas Yusuf memang sedang ingin sendiri," jawabku pada Khaila. Lagi pula dia tak perlu tahu dengan urusan rumah tanggaku."Masa sih? Kok aku mencium aroma-aroma pertikaian ya," sindir Khaila s
Aku melanjutkan aktivas membuat sarapan. Tak ingin menimpali perbincangan antara Khaila dan Jenifer. "Basah bukan sembarang basah, tapi ada artinya kan, Mba." Suara Khaila menimpali lagi.Aku berusaha tak paham dengan ocehan mereka. Tak mau memperkeruh suasana hati yang sedang tak baik-baik saja.Sampai selesai membuat sarapan, kulihat Mas Yusuf tiba di ruang makan. Dia duduk tanpa menyapaku. Dia sudah rapi. Pakaian yang sudah kupersiapkan sudah dipakainya. Tapi, melihat rambutnya yang basah mengapa pikiranku jadi berhalusinasi begini. Padahal Mas Yusuf memang selalu keramas setiap kali mandi."Mas, sarapan dulu ya." Aku masih berusaha tenang. Menyapa suamiku walau dia tak membalas sapaanku.Aku tetap menyendokan nasi beserta lauknya ke hadapan Mas Yusuf. Dia menerimanya walau masih dalam keadaan marah."Jangan marah, Mas. Saya tidak nyaman kalau melihat kamu marah," ucapku dengan pelan."Sudahlah, jangan kamu bahas masalah yang kemarin di meja makan ini." Mas Yusuf menolak ucapanku
Entah apa yang terjadi dengan perasaan Yusuf. Perasaannya saat ini berkecamuk resah. Ia masih saja kesulitan mengatur perasaannya.Semalam, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Awalnya Yusuf berpikir kalau itu adalah Mia. Ia membuka pintu dan ternyata di depan kamar itu sudah berdiri istri keduanya, Jenifer."Ada apa?" Yusuf bertanya tanpa basa-basi.Ditangan Jenifer tengah menggenggam sebotol air mineral yang disodorkan ke hadapan Yusuf. "Mas, ambilah air minum ini, sekedar untuk menghilangkan rasa kering pada tenggorokan saat tengah tidur," kata JeniferYusuf mengambil. "Terima kasih," ucapnya. Tanpa berpikir apa-apa Yusuf kembali menutup pintu kamar itu. Perasaannya tengah panas cemburu melihat Mia bersama laki-laki lain di caffe tadi siang. Ia kembali ke atas ranjang. Meletakan air mineral yang sudah tak bersegel di atas nakas.Ingatan Yusuf masih belum pulih, namun pemandangan Mia bersama laki-laki lain membuat perasaan Yusuf bagai terbakar lahar panas. Dia hanya bingung dengan ras
Dalam perjalanan, Jenifer dan Yusuf duduk berdampingan di kursi belakang.Jenifer menyenderkan kepalanya di bahu Yusuf. Suami Mia itu nampak tak nyaman menggerakan bahunya."Jangan seperti ini, Jenifer," kata Yusuf. Dia tampak kaku."Kenapa, Mas?" Jenifer menatap Yusuf dengan manja."Tidak apa-apa," jawab Yusuf mengalihkan pandangan ke arah luar kaca."Kalau tidak apa-apa ya sudah, Mas." Jenifer kembali menyenderkan kepalanya di bahu Yusuf. Kali ini Yusuf diam, dia tak bisa menghindar menerima saja senderan istri keduanya."Mas, aku mau ikut sama kamu ya." Jenifer kembali merengek manja."Ikut kemana?" Yusuf bertanya sambil menggaruk keningnya yang tak gatal."Ikut sama kamu, Mas," rengek Jenifer lagi."Bukannya kamu akan periksa kehamilan?" Yusuf berbalik tanya lagi. Ah ia sungguh tak bisa menolak."Kalau aku periksa kehamilan, lantas siapa yang menemani? Pasti akan ditanya mana suaminya? Lalu aku harus jawab apa?" Jenifer memasang wajah yang disendu-sendukan. Kedua sudut bibirnya d