Ijah menggelengkan kepala. Ia juga nampak menelisik. Aku masih merasakan perih pada telapak kaki. Sementara Ijah mencari sesuatu di lantai. Mungkin masih khawatir ada teman-teman paku payung yang lain."Bu, masih banyak di lantai." Ijah mengambil beberapa paku payung. Rupanya tak hanya satu.Ya ampun, kerjaan siapa ini. Jahat sekali."Pastikan tak ada paku yang lainnya, Jah. Jangan sampai mencelakai orang lain," perintahku pada Ijah."Ya, Bu." Ijah dengan teliti mencari benda runcing dan kecil itu.Tak habis pikir. Benda itu telah mencelakaiku sampai berdarah. Apa ini ulah, Jenifer? Ya, aku pikir ulah siapa kalau bukan dia."Sudah bersih, Bu. Saya akan buang benda tajam ini." Ijah langsung berjalan menuju ruang belakang. Mungkin dia akan segera membuang benda berbahaya itu.Aku berjalan dengan sebelah kaki. Satu kaki kuangkat karena masih terasa bengkak. Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Kamar pribadi harus selalu dikunci. Setelah kejadian ini aku harus banyak berhati-hati.
Aku menggelengkan kepala. Bisa-bisanya Khaila menuduhku."Lalu, Mas Yusuf percaya dengan laporan, Khaila?" tanyaku pada suamiku. Sedikit kesal. Bahkan tak ada senyuman sedikit pun di bibir ini."Saya tidak mudah percaya tanpa bukti. Hanya saja saya sempat terkejut dan hampir termakan laporan, Khaila. Saya melihat cairan merah menetes keluar dari telapak kaki Jenifer," jawab Mas Yusuf. Ia tampak merasa bersalah denganku."Saya tidak melakukan itu, Mas. Saya tidak sepicik itu. Saya malah menjadi korbannya." Aku meyakinkan Mas Yusuf."Sudahlah jangan dibahas lagi." Mas Yusuf mengakhiri. Dia memijat pelipisnya."Bagaimana hasil penyelidikan hari ini, Mas?" Aku mengalihkan topik."Masih nihil. Tapi sedikit banyaknya saya sudah tahu kalau ternyata Jenifer pernah membuat skandal di kantor," jelas Mas Yusuf."Skandal apa, Mas?" Kian merasa penasaran saja."Menurut penyelidikan hari ini bersama Anjani. Skandal yang pernah dibuat Jenifer kala itu, dia pernah mengalihkan data keuangan perusahaa
"Ih apaan itu!" Jenifer menjerit. Kedua kakinya meloncat-loncat seperti jiji terhadap sesuatu. Dia berdiri di samping Mas Yusuf tampak bergidik dengan kedua kaki masih melocat-loncat."Kamu apa-apaan sih, Jenifer?" Mas Yusuf yang melihat tingkah Jenifer tampak aneh."Itu geli banget, Mas. Apaan ya aku tidak tahu," jawab Jenifer. Kedua bahunya diangkat-angkat. Dia juga meluruskan jari telunjuknya ke bawah tempat duduknya barusan.Mas Yusuf langsung memeriksa. Tak ada apa pun ditemukan. "Tidak ada apa-apa, Jen!" "Aku gak tahu, Mas. Tadi keinjak sama aku. Jiji geli banget," jawab Jenifer kali ini nampak ketakutan. Rupanya dia masih trauma dengan malam lalu."Tak ada apa-apa. Kamu lihat saja," bantah Mas Yusuf dengan yakinnya."Mas, lihat," desisku memberi kode pada Mas Yusuf.Aku dan suamiku melihat Jenifer berdiri baik-baik saja. Tak terlihat wajah kesakitan lagi. Kaki Jenifer menapak dengan sempurna di atas lantai, tak seperti tadi yang nampak kesakitan."Kamu tampak baik-baik saja ya
Semenjak saat itu, kepercayaan Mas Yusuf pada Jenifer tambah memudar. Hari ini satu minggu telah berlalu semenjak pernikahan Mas Yusuf dan Jenifer, masih juga belum terbongkar tentang kebenaran siapa Ayah dari janin yang dikandung Jenifer.Sering terdengar Jenifer merengek, tapi tak diperdulikan oleh Mas Yusuf. Dia enggan mendengar rengekan palsu dari istri mudanya."Mas, bolehkan saya ijin keluar?" Hari ini tepat pukul sembilan pagi aku meminta ijin pada suamiku untuk keluar. Saat matahari mulai naik ke atas ubun-ubun, saat Mas Yusuf telah selesai sarapan. Lagi pula, kondisi telapak kakiku sudah mulai membaik dan aku bisa berjalan seperti biasanya."Kamu mau kemana?" Mas Yusuf bertanya. Dia menoleh ke arahku. Ke arah tempat dudukku di depan cermin rias."Saya ingin bertemu dengan, Siska. Ada suatu hal yang ingin saya bicarakan dengannya," jawabku yang sebenarnya."Boleh-boleh saja. Lagi pula jadwal therapi kan masih besok. Jadi saya akan ke kantor karena masih belajar di sana. Apa m
Mas Yusuf menatapku dalam. "Entahlah, saya merasa tak menginginkan itu. Saya tak ingin melihat kamu dekat dengan laki-laki lain," balasnya.Terukir senyuman di bibir ini. Aku tersipu malu. "Saya hanya mencintai kamu, Mas. Tak ada yang bisa menggantikan kamu di hati ini." Aku menekankan. Ini bukan sedang menggombal, tapi sungguh keluar dari lubuk hati yang paling dalam."Saya senang mendengar kata-kata itu dari kamu." Mas Yusuf membalas senyumanku.Sesampainya di tempat tujuan, aku mencium punggung tangan Mas Yusuf. Berpamitan lalu keluar dari mobil. Melambaikan tangan saat mobil Mas Yusuf berlalu dari hadapanku.Gegas segera kuberjalan masuk ke dalam caffe. Jangan sampai Siska terlalu lama menunggu karena aku akan merasa tidak enak.Kuedarkan pandangan ke setiap sudut caffe begitu kaki telah sampai di dalam. Kulihat Siska melambaikan tangannya memberi kode keberadaannya.Aku membalas lambaian tangannya. Gegas hampiri tempat duduk Siska."Sorry kalau lama," ucapku meminta maaf karena n
Aku yang masih terkejut dengan kedatangan Mas Yusuf, segera berdiri. "Mas, kamu kok ada di sini?"Mas Yusuf menyodorkan benda pipih ke hadapanku. "Ponsel kamu ketinggalan di kursi mobil," katanya.Aku mengambil. Tak kusadari kalau ponselku tertinggal di mobil Mas Yusuf. "Terima kasih, Mas," ucapku mengukir senyum."Anda siapa ya?" Frans bertanya pada Mas Yusuf."Saya yang harusnya bertanya pada anda!" sentak Mas Yusuf membuatku mendongak mendengarnya."Mas dia hanya-""Saya kekasihya, Mia." Frans menyerobot jawabanku, dia berbohong dengan memotong ucapanku.Mas Yusuf terbelalak. Raut wajahnya penuh kekecewaan."Frans, jangan asal bicara kamu ya. Mas Yusuf adalah suami saya!" bantahku pada Frans.Kuraih pergelangan tangan Mas Yusuf. "Dia bukan kekasih saya, Mas. Dia-""Cukup, Mia," tukas Mas Yusuf mengangkat telapak tangannya, kemudian pergi tanpa mendengarkan penjelasan dariku. "Frans, kamu sudah gila!" bentakku pada Frans. Pria aneh itu malah mengukir senyum. Ah tak kuperdulikan.Se
Dalam perjalanan pulang diantar Siska, aku hanya diam seraya menahan dagu. Tak habis pikir dengan acara yang hari ini berantakan."Jangan terlalu dipikirkan, Mia. Aku akan bantu kamu. Yusuf pasti percaya pada kita. Lagi pula siapa Frans, dia laki-laki yang tak kita kenali. Mengaku teman SMA, aku bahkan tak mampu mengingatnya," celoteh Siska. "Aku hanya khawatir kalau sampai Mas Yusuf meragukanku," balasku lesu. Aku menurunkan tatapan merasakan kecemasan dalam diri."Itu tidak akan terjadi," tekan Siska meyakinkanku.Aku mengangguk saja walau ragu. Menghela napas cukup dalam saat berusaha menenangkan diri.Sesampainya di rumah, awalnya Siska mengajukan diri akan membantuku menjelaskan pada Mas Yusuf, tapi aku menolak karena merasa tak enak kalau Siska harus menunggu lama. Siska menurut saja padaku, dia melajukan kembali mobilnya meninggalkan pekarangan rumah, melewati gerbang yang tinggi.Langkahku lesu, masuk ke dalam rumah yang terasa sepi. Kemana Khaila dan Jenifer? Kupastikan lant
Sesaknya napas di dadaku melihat sikap Mas Yusuf yang langsung berubah. Mas Yusuf seperti cemburu buta. Dia seperti remaja yang tengah dirasuki rasa cemburu. Harusnya aku senang karena sikap cemburu yang ditampilkan Mas Yusuf menandakan kalau ada rasa cinta di dalam dadanya untukku.Tapi, sungguh perasaan tak bisa dibohongi. Tetap saja merasa sedih saat suami memilih tidur di kamar lain hanya karena cemburu buta. Mas Yusuf tak mau mendengarkan penjelasanku. Dia berlalu begitu saja ke kamar yang lain. Kamar yang tak terlalu jauh dari kamarku. Sempat kutahan langkahnya, tapi dia terus saja dengan langkahnya masuk ke kamar yang ada di ujung ruang keluarga."Kenapa kalian? Berantem?" Rasanya bukan waktu yang tepat saat Khaila muncul di hadapanku. Apalagi saat suasana hati tak begitu baik."Tidak kok. Mas Yusuf memang sedang ingin sendiri," jawabku pada Khaila. Lagi pula dia tak perlu tahu dengan urusan rumah tanggaku."Masa sih? Kok aku mencium aroma-aroma pertikaian ya," sindir Khaila s
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe