Jenifer melanjutkan langkahnya. Langkah yang kali ini terlihat cepat. Nah itu dia terlihat kuat kok, mengapa tadi minta dipapah Mas Yusuf ke kamarnya dengan alasan lemah. Ah dasar muka dua!Tak mau lama mendumel dalam hati, gegas kulanjutkan niat ke ruangan tempat dispenser berada. Kuambil segelas air mineral dan meneguknya dengan lahap."Bu!" Suara sopran berdesis. Kumenoleh segera. Rupanya Ijah tengah tertawa kecil sambil membekap mulutnya."Permaisuri tengah histeris ketakutan. Apa yang kamu letakan di sana, Jah?" tanyaku berbisik pada Ijah yang tengah menahan gelak tawanya."Ini rumah steril, Bu. Tak pernah akan ada makhluk menjijikan. Saya pastikan itu," jawabnya berbisik pula."Lalu, apa?" Aku mengangkat kedua tangan, amat penasaran."Hanya mainan yang tampak real saja. Saya pegang remotnya. Saya bisa kendalikan dari balik dinding luar rumah," jelas Ijah. Dia sudah kesulitan menahan tawanya.Aku menggelengkan kepala seraya mengangkat kedua ibu jari. "Kamu benar-benar cerdas. You
Ijah menggelengkan kepala. Ia juga nampak menelisik. Aku masih merasakan perih pada telapak kaki. Sementara Ijah mencari sesuatu di lantai. Mungkin masih khawatir ada teman-teman paku payung yang lain."Bu, masih banyak di lantai." Ijah mengambil beberapa paku payung. Rupanya tak hanya satu.Ya ampun, kerjaan siapa ini. Jahat sekali."Pastikan tak ada paku yang lainnya, Jah. Jangan sampai mencelakai orang lain," perintahku pada Ijah."Ya, Bu." Ijah dengan teliti mencari benda runcing dan kecil itu.Tak habis pikir. Benda itu telah mencelakaiku sampai berdarah. Apa ini ulah, Jenifer? Ya, aku pikir ulah siapa kalau bukan dia."Sudah bersih, Bu. Saya akan buang benda tajam ini." Ijah langsung berjalan menuju ruang belakang. Mungkin dia akan segera membuang benda berbahaya itu.Aku berjalan dengan sebelah kaki. Satu kaki kuangkat karena masih terasa bengkak. Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Kamar pribadi harus selalu dikunci. Setelah kejadian ini aku harus banyak berhati-hati.
Aku menggelengkan kepala. Bisa-bisanya Khaila menuduhku."Lalu, Mas Yusuf percaya dengan laporan, Khaila?" tanyaku pada suamiku. Sedikit kesal. Bahkan tak ada senyuman sedikit pun di bibir ini."Saya tidak mudah percaya tanpa bukti. Hanya saja saya sempat terkejut dan hampir termakan laporan, Khaila. Saya melihat cairan merah menetes keluar dari telapak kaki Jenifer," jawab Mas Yusuf. Ia tampak merasa bersalah denganku."Saya tidak melakukan itu, Mas. Saya tidak sepicik itu. Saya malah menjadi korbannya." Aku meyakinkan Mas Yusuf."Sudahlah jangan dibahas lagi." Mas Yusuf mengakhiri. Dia memijat pelipisnya."Bagaimana hasil penyelidikan hari ini, Mas?" Aku mengalihkan topik."Masih nihil. Tapi sedikit banyaknya saya sudah tahu kalau ternyata Jenifer pernah membuat skandal di kantor," jelas Mas Yusuf."Skandal apa, Mas?" Kian merasa penasaran saja."Menurut penyelidikan hari ini bersama Anjani. Skandal yang pernah dibuat Jenifer kala itu, dia pernah mengalihkan data keuangan perusahaa
"Ih apaan itu!" Jenifer menjerit. Kedua kakinya meloncat-loncat seperti jiji terhadap sesuatu. Dia berdiri di samping Mas Yusuf tampak bergidik dengan kedua kaki masih melocat-loncat."Kamu apa-apaan sih, Jenifer?" Mas Yusuf yang melihat tingkah Jenifer tampak aneh."Itu geli banget, Mas. Apaan ya aku tidak tahu," jawab Jenifer. Kedua bahunya diangkat-angkat. Dia juga meluruskan jari telunjuknya ke bawah tempat duduknya barusan.Mas Yusuf langsung memeriksa. Tak ada apa pun ditemukan. "Tidak ada apa-apa, Jen!" "Aku gak tahu, Mas. Tadi keinjak sama aku. Jiji geli banget," jawab Jenifer kali ini nampak ketakutan. Rupanya dia masih trauma dengan malam lalu."Tak ada apa-apa. Kamu lihat saja," bantah Mas Yusuf dengan yakinnya."Mas, lihat," desisku memberi kode pada Mas Yusuf.Aku dan suamiku melihat Jenifer berdiri baik-baik saja. Tak terlihat wajah kesakitan lagi. Kaki Jenifer menapak dengan sempurna di atas lantai, tak seperti tadi yang nampak kesakitan."Kamu tampak baik-baik saja ya
Semenjak saat itu, kepercayaan Mas Yusuf pada Jenifer tambah memudar. Hari ini satu minggu telah berlalu semenjak pernikahan Mas Yusuf dan Jenifer, masih juga belum terbongkar tentang kebenaran siapa Ayah dari janin yang dikandung Jenifer.Sering terdengar Jenifer merengek, tapi tak diperdulikan oleh Mas Yusuf. Dia enggan mendengar rengekan palsu dari istri mudanya."Mas, bolehkan saya ijin keluar?" Hari ini tepat pukul sembilan pagi aku meminta ijin pada suamiku untuk keluar. Saat matahari mulai naik ke atas ubun-ubun, saat Mas Yusuf telah selesai sarapan. Lagi pula, kondisi telapak kakiku sudah mulai membaik dan aku bisa berjalan seperti biasanya."Kamu mau kemana?" Mas Yusuf bertanya. Dia menoleh ke arahku. Ke arah tempat dudukku di depan cermin rias."Saya ingin bertemu dengan, Siska. Ada suatu hal yang ingin saya bicarakan dengannya," jawabku yang sebenarnya."Boleh-boleh saja. Lagi pula jadwal therapi kan masih besok. Jadi saya akan ke kantor karena masih belajar di sana. Apa m
Mas Yusuf menatapku dalam. "Entahlah, saya merasa tak menginginkan itu. Saya tak ingin melihat kamu dekat dengan laki-laki lain," balasnya.Terukir senyuman di bibir ini. Aku tersipu malu. "Saya hanya mencintai kamu, Mas. Tak ada yang bisa menggantikan kamu di hati ini." Aku menekankan. Ini bukan sedang menggombal, tapi sungguh keluar dari lubuk hati yang paling dalam."Saya senang mendengar kata-kata itu dari kamu." Mas Yusuf membalas senyumanku.Sesampainya di tempat tujuan, aku mencium punggung tangan Mas Yusuf. Berpamitan lalu keluar dari mobil. Melambaikan tangan saat mobil Mas Yusuf berlalu dari hadapanku.Gegas segera kuberjalan masuk ke dalam caffe. Jangan sampai Siska terlalu lama menunggu karena aku akan merasa tidak enak.Kuedarkan pandangan ke setiap sudut caffe begitu kaki telah sampai di dalam. Kulihat Siska melambaikan tangannya memberi kode keberadaannya.Aku membalas lambaian tangannya. Gegas hampiri tempat duduk Siska."Sorry kalau lama," ucapku meminta maaf karena n
Aku yang masih terkejut dengan kedatangan Mas Yusuf, segera berdiri. "Mas, kamu kok ada di sini?"Mas Yusuf menyodorkan benda pipih ke hadapanku. "Ponsel kamu ketinggalan di kursi mobil," katanya.Aku mengambil. Tak kusadari kalau ponselku tertinggal di mobil Mas Yusuf. "Terima kasih, Mas," ucapku mengukir senyum."Anda siapa ya?" Frans bertanya pada Mas Yusuf."Saya yang harusnya bertanya pada anda!" sentak Mas Yusuf membuatku mendongak mendengarnya."Mas dia hanya-""Saya kekasihya, Mia." Frans menyerobot jawabanku, dia berbohong dengan memotong ucapanku.Mas Yusuf terbelalak. Raut wajahnya penuh kekecewaan."Frans, jangan asal bicara kamu ya. Mas Yusuf adalah suami saya!" bantahku pada Frans.Kuraih pergelangan tangan Mas Yusuf. "Dia bukan kekasih saya, Mas. Dia-""Cukup, Mia," tukas Mas Yusuf mengangkat telapak tangannya, kemudian pergi tanpa mendengarkan penjelasan dariku. "Frans, kamu sudah gila!" bentakku pada Frans. Pria aneh itu malah mengukir senyum. Ah tak kuperdulikan.Se
Dalam perjalanan pulang diantar Siska, aku hanya diam seraya menahan dagu. Tak habis pikir dengan acara yang hari ini berantakan."Jangan terlalu dipikirkan, Mia. Aku akan bantu kamu. Yusuf pasti percaya pada kita. Lagi pula siapa Frans, dia laki-laki yang tak kita kenali. Mengaku teman SMA, aku bahkan tak mampu mengingatnya," celoteh Siska. "Aku hanya khawatir kalau sampai Mas Yusuf meragukanku," balasku lesu. Aku menurunkan tatapan merasakan kecemasan dalam diri."Itu tidak akan terjadi," tekan Siska meyakinkanku.Aku mengangguk saja walau ragu. Menghela napas cukup dalam saat berusaha menenangkan diri.Sesampainya di rumah, awalnya Siska mengajukan diri akan membantuku menjelaskan pada Mas Yusuf, tapi aku menolak karena merasa tak enak kalau Siska harus menunggu lama. Siska menurut saja padaku, dia melajukan kembali mobilnya meninggalkan pekarangan rumah, melewati gerbang yang tinggi.Langkahku lesu, masuk ke dalam rumah yang terasa sepi. Kemana Khaila dan Jenifer? Kupastikan lant