Jenifer memilih hengkang saja dari ruang makan. Dia merasa muak melihat pemandangan Mia dan Yusuf. "Mba Jenifer kenapa?" Khaila bertanya saat berpapasan dengannya di anak tangga pertama. Jenifer berniat akan segera naik ke lantai dua ke kamar yang disiapkan keluarga Yusuf untuknya.Wanita itu menahan emosi, itu terlihat dari raut wajahnya. "Aku muak dengan Mia yang so berkuasa, so cari perhatian," Jawabnya berdesis.Kemudian Khaila membisikan sesuatu kepadanya. Mereka saling berbicara sambil berbisik sehingga tak ada siapa pun yang bisa mendengar perbincangan mereka berdua di anak tangga pertama.Usai saling berbisik, Jenifer langsung naik ke kamarnya pun dengan Khaila yang berbalik arah kembali ke kamarnya.'Aku harus melakukan sesuatu,' batinnya mulai berencana.Dia mengambil gunting yang ada di dalam tas selempangnya. Bersamaan dengan itu, lsitrik padam sejenak. Jenifer langsung naik ke atas kursi dia menggunting dengan cekatan kabel yang melekat pada kamera cctv. Setelah itu dia
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Jenifer terus saja mengeluarkan suara rintihan kesakitan. Sebelah tangannya memegang perut bagian bawah dengan raut wajah mengerut terlihat menahan rasa sakit."Sabar, Jen. Sebentar lagi kita akan segera sampai," kata Yusuf yang mulai khawatir pada istri mudanya itu.Sama halnya dengan Khaila, dia yang duduk di samping Jenifer nampak mengelus-elus bahu Jenifer."Iya, Mba Jenifer. Sabar ya," timpal Khaila turut cemas.Khaila dan Jenifer memang bersekongkol. Mereka tengah berakting di hadapan Yusuf. Perut Jenifer tidak kenapa-kenapa karena mereka hanya berpura-pura demi menjatukan nama baik Mia."Ini semua gara-gara, Mia. Pasti wanita itu yang telah menaruh minyak goreng di kamar lantai dua," tuduh Khaila di dekat Yusuf."Sudahlah jangan bicara seperti itu, Khaila. Jangan membuat fitnah." Yusuf langsung menyangkal."Tidak fitnah, Mas. Namanya wanita dimadu pasti Mia kalap dan cemburu. Mia sendiri yang telah menyiapkan kamar di lantai dua itu." Khaila
"Tapi, Mas. Aku tidak mau diurus suster. Aku ini bukan bayi atau jompo. Aku masih bisa melakukan aktivitas sendiri kok." Tiba-tiba Jenifer mengelak."Tuh kan, Mas. Bisa kamu dengar baik-baik. Mba Jenifer ini memang wanita mandiri. Dia tak mau merepotkan siapa pun. Maka Mas Yusuf harus benar-benar memperhatikannya," celoteh Khaila turut memanas-manasi saja.Namun, tak ada balasan lagi dari Yusuf. Pria tampan dengan perawakan berisi itu tampak menatap ke arah depan, tak mau lagi menanggapi celotehan Khaila."Mas Yusuf harus bilang pada Mia kalau Mba Jenifer akan pindah ke kamar di lantai satu. Mba Jenifer akan tinggal di rumah kita selama masa kehamilan," saran Khaila sambil menaikan sebelah alisnya pada Jenifer seperti tengah memberikan kode."Itu tidak ada dalam surat perjanjian," balas Yusuf menanggapi."Jangan pikirkan surat perjanjian, Mas. Tapi pikirkan kesehatan Mba Jenifer yang tengah mengandung anak kamu, Mas. Calon penerus perusahaan Zubair. Jangan biarkan semuanya diatur ole
Aku menghela napas kesal. Lagi-lagi harus berpapasan dengan Khaila di waktu yang tidak tepat."Terserah kamu saja, Khaila. Saya memang tak punya kuasa di rumah ini." Aku melanjutkah langkah. Tenggorokan ini rasanya kering membutuhkan segelas air minum."Tunggu!" Khaila menahan langkahku."Apa lagi?" Aku menghentikan langkah."Jangan pernah sekali-sekali mengganggu, Mba Jenifer. Dia sedang hamil anak Mas Yusuf. Jadi kami harus legowo menerimanya," pinta Khaila menekan tanpa sopan santun."Saya tidak pernah mengganggu siapa pun. Sebaliknya, jika hidup saya diganggu dan diusik, maka saya tak akan tinggal diam," balasku tanpa merasa takut. Segera kulanjutkan langkah tanpa perduli dengan panggilan Khaila lagi. Kepala ku pusing, lebih baik membuat kopi saja di dapur. "Bu Mia, ngopi sendirian?" Ijah menyapaku. Dia baru saja tiba entah muncul dari mana."Iya, Jah. Temani saya ngopi yu. Saya tidak punya teman di sini, selain kamu," balasku."Siap, Bu." Kulihat Ijah membawa sesuatu di tangann
Mas Yusuf tampak terkejut. Sementara aku tak terlalu, karena aku merasa ucapan Khaila sering mengandung kebohongan."Siapa, Khaila?" Suamiku bertanya pada adiknya."Siapa lagi kalau bukan istri tuamu, Mas Yusuf," jawab Khaila dengan tatapan sinis dia melemparkan tuduhan padaku."Tidak!" Segera kubantah dengan tegas."Khaila, tolong jangan menuduh seperti itu." Mas Yusuf pun membantah."Mas Yusuf, pikir baik-baik. Siapa di rumah ini yang benci terhadap, Mba Jenifer," tekan Khaila yang tampak berusaha meyakinkan Mas Yusuf dengan tuduhannya.Bagaikan ular yang berbisa, tuduhan Khaila kali ini benar-benar meracuni pikiran Mas Yusuf."Saya memang tidak suka dengan, Jenifer. Tapi saya bukan wanita selicik itu. Jaga ucapan kamu, Khaila," bantahku dengan tegas tak mau kalah. Enak saja dia menuduhku tanpa bukti. Aku tak terima dengan tuduhan yang tak kulakukan sama sekali."Halah, mana ada maling ngaku!" cibir Khaila.Sementara Jenifer nampak duduk dengan anggunnya tanpa ikut mencampuri. Dia s
"Tidak ada, Bu," jawab Ijah. Mengejutkanku."Loh, bukannya tadi ada di tong sampah belakang?" Aku mengernyitkan dahi."Sudah saya cari, Bu. Tapi tidak ada. Padahal baru beberapa menit saja," jawab Ijah Lagi."Sudahlah, tak usah memperkeruh suasana. Kalian berdua pandai berkilah ya," sindir Khaila tersenyum tipis. Pun dengan Jenifer yang kulihat.'Ada apa dengan mereka? Sepertinya ada yang sudah mereka manipulasi,' batinku bergumam."Tidak ada yang berkilah. Belasan menit lalu Ijah baru saja membuang plastik bekas minyak horeng ke dalam tong sampah belakang, yang telah ia temukan di lantai dua. Kamu pikir Ijah berbohong?" Balasku pada Khaila."Lalu mana buktinya?" Khaila menantangku. Sementara Jenifer hanya diam dengan senyuman tipis merasa aman dan menang."Ijah kamu boleh kembali belakang," perintaku pada Ijah."Saya yakin ada seseorang yang telah mengambil barang bukti itu. Seseorang yang licik yang pandai berdusta," sindirku pada dua wanita yang ada di ruangan ini."Sudahlah, Mia.
Aku dan Mas Yusuf tersentak. Kami saling melempar tatapan terkejut."Bukankah itu suara, Jenifer?" Mas Yusuf bertanya kepadaku."Iya, Mas. Kenapa ya?" Aku pura-pura berbalik tanya. Padahal sepertinya aku tahu penyebab Jenifer berteriak."Aarrgghh! Tolong!" Suaya Jenifer kembali menggelegar.Aku dan Mas Yusuf secara bersama-sama melangkah dengan cepat menuju sumber suara yakni kamar sebelah yang ditempati Jenifer.Hanya beberapa langkah saja, kami berdua sudah sampai di depan pintu kamar Jenifer. "Aarrgghh! Tolong!" Suara Jenifer kembali terdengar menggelegar dengan teriakannya.Mas Yusuf mengetuk pintu. "Jenifer, ada apa?" Terlebih dahulu bertanya."Tolong, Mas. Tolong!" Teriakan Jenifer dari dalam.Mas Yusuf memutar handle pintu yang ternyata tidak dikunci. Sepertinya Jenifer memang sengaja tak mengunci pintu.Pintu telah terbuka lebar. Ada debaran perasaan cemas di dalam dada, khawatir kalau rencanku akan ketahuan oleh suamiku ini.Mas Yusuf segera menyalakan lampu karena suasana d
Jenifer melanjutkan langkahnya. Langkah yang kali ini terlihat cepat. Nah itu dia terlihat kuat kok, mengapa tadi minta dipapah Mas Yusuf ke kamarnya dengan alasan lemah. Ah dasar muka dua!Tak mau lama mendumel dalam hati, gegas kulanjutkan niat ke ruangan tempat dispenser berada. Kuambil segelas air mineral dan meneguknya dengan lahap."Bu!" Suara sopran berdesis. Kumenoleh segera. Rupanya Ijah tengah tertawa kecil sambil membekap mulutnya."Permaisuri tengah histeris ketakutan. Apa yang kamu letakan di sana, Jah?" tanyaku berbisik pada Ijah yang tengah menahan gelak tawanya."Ini rumah steril, Bu. Tak pernah akan ada makhluk menjijikan. Saya pastikan itu," jawabnya berbisik pula."Lalu, apa?" Aku mengangkat kedua tangan, amat penasaran."Hanya mainan yang tampak real saja. Saya pegang remotnya. Saya bisa kendalikan dari balik dinding luar rumah," jelas Ijah. Dia sudah kesulitan menahan tawanya.Aku menggelengkan kepala seraya mengangkat kedua ibu jari. "Kamu benar-benar cerdas. You