Prangg ....
Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai.Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya."Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu menaikkan satu alisnya. "Kau bertengkar dengan ibumu lagi ya?""Tidak. Jawab saja, ke mana aku harus menghilang." Rasa frustasi Zee semakin menjadi. Pada saat itulah Syalu sadar jika Zee tampak serius dengan perkataannya."Aneh! Lalu kenapa tiba-tiba kau ingin menghilang, siapa yang mengejarmu. Atau jangan bilang kau meminjam uang pada rentenir, hah?"Rasanya Zee ingin berteriak saat ia tidak bisa mengatakan apa alasannya pada temannya itu. Jika ia bercerita itu sama saja membongkar aib dirinya, Zee belum siap untuk dihakimi."Enak saja! Aku tidak-" ucapan Zee terpotong saat ponselnya berdering tanda ada telpon masuk. Kedua mata Zee terbelalak panik, ia mematung di tempat.Zee mengintip. "Thea? Bukankah itu kembaranmu?"Zee mengangguk lesu. Dengan cepat ia pergi ke belakang untuk menerima telpon. Sebelum mengangkatnya, Zee menarik nafasnya terlebih dahulu."H-hallo-"["Ck, ke mana saja kau, kenapa pesanku tidak dibalas!"] tanya Thea dengan kesal."A-aku, aku sedang bekerja," jawab Zee gugup.["Kapan kau selesai?"]Zee memeriksa jam di tangannya. "Sekitar jam 10 malam."["Baiklah, kalau begitu aku akan ke sana sekalian menjemputmu,"] finalnya."Hah! Kenapa?" pekik Zee.["Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Kita bahas nanti saja."] Dan telpon berakhir begitu saja.Jantung Zee seketika berdetak dengan kencang, apa ini tentang semalam? Jika benar, kenapa Thea tidak terdengar sedang mengintimidasinya. Zee memeluk ponselnya di dada, ia harus mempersiapkan diri dengan apa pun yang akan terjadi nanti."Zee?"Zee berbalik dengan kikuk. Ia merasa seperti seorang pencuri yang baru saja ketahuan. "Jeff sorry, barusan aku ada telpon."Orang yang dipanggil Jeff itu terkekeh. "Aku hanya memanggilmu, Syalu bilang ada sesuatu yang terjadi padamu, apa kau baik-baik saja?"Ini kedua kalinya seseorang bertanya seperti itu, sekalipun ingin mengatakan tidak, tetap saja Zee tidak ingin membuat semua orang mengkhawatirkannya."Aku baik. Tidak usah mendengarkan Syalu, dia asal bicara saja." Zee mengelaknya.Untungnya Jeff tidak memperpanjangnya. "Kalau begitu kembali ke depan sekarang, kau sudah selesai kan?"Zee mengangguk. Lalu pergi lebih dulu dari sana. Jeff adalah teman sekaligus bosnya, tanpa Jeff mungkin ia tidak akan memiliki pekerjaan seperti sekarang. Untungnya Jeff selalu membantunya hingga ia diijinkan bekerja di Cafenya.***Darren berjalan di lobi dengan Jonathan yang mengekorinya di belakang. Sepanjang menuju ruangannya Darren terus saja melihat ke arah ponselnya, namun sayangnya saat sampai pun Thea tak kunjung membalasnya lagi."Apa dia marah," gumamnya sambil bertanya-tanya. Darren mencoba untuk mengerti Thea karena mungkin wanita itu masih canggung dengannya.Tapikan ia sudah meminta maaf, apa karena ia bilang tidak menyesalinya karena itu Thea marah?"Darren, yang ini belum di periksa." Jonathan memberikan berkas yang tertinggal sebelum ia pergi ke ruangannya sendiri.Darren melihat sekilas dan mendatanginya. Jonathan menatapnya heran. "Kau tidak memeriksanya lebih dulu?""Anggap saja dia sedang beruntung," jawabnya."Mana bisa begitu, kau harus memikirkan masa depan perusahaanmu! Kau mau ayahmu mengamuk karena kelalaianmu?" Sebagai satu-satunya bawahan yang berani pada Darren, Jonathan tak segan-segan memprotesnya.Darren berdecak kesal. "Hanya karena satu berkas tidak akan membuatku tumbang. Kau ini serius sekali.""Ada apa denganmu." Jonathan berakhir duduk di depannya. "Thea lagi?"Darren hanya mengangguk sambil menatap ponselnya dengan lelah. Ia baru saja selesai meeting dengan klien yang kedua kalinya, dan besok ia sudah memiliki waktu untuk pergi ke luar kota lagi. Akhir-akhir ini jadwalnya memang sedang padat ."Aku heran, apa sih yang sebenarnya kau permasalahkan." Lama-lama Darren jadi ikutan frustasi memikirkan hubungan temannya itu."Aku meminta maaf padanya tentang kejadian kemarin, tapi dia masih belum membalas pesanku," adunya."Well, kalau aku jadi dia sebenarnya itu bukan hal yang perlu dipikirkan. Hanya cukup meminta pertanggung jawaban padamu, dan semua selesai. Toh kau tidak akan meninggalkannya kan?"Darren mengangguk. "Tentu saja tidak, aku bukan pria brengsek. Bahkan jika Thea bukan kekasihku, aku akan mempertanggung jawabkan semuanya.""Atau begini saja, bagaimana kalau kau langsung lamar dia," usul Jonathan."Apa tidak terlalu cepat? Maksudku, apa itu memang yang dia inginkan." Darren sedikit ragu, mengingat saat ini Thea sedang fokus dengan karirnya.Jonathan menggidikkan bahu. "Entahlah, wanitamu itu memang agak sulit ditebak. Tapi dari pada dia over thinking, lebih baik lamar saja langsung.""Hm, itulah yang membuatku bingung. Thea bahkan belum membahas tentang pembatalannya ke Paris. Malam saat kami bersama, aku sudah mengatakan padanya bahwa aku tidak ingin dia pergi.""Memangnya kenapa kau tidak mengijinkannya ke Paris, bukankah itu bagus untuk karirnya. Kau akan memiliki istri yang hebat nanti." Jonathan rasa, Darren terlalu mengambil pusing keadaan."Aku sudah memiliki segalanya, cinta, tahta, harta, aku memiliki semuanya. Apalagi yang dia inginkan, kurasa pergi ke Paris bukan ide yang bagus."Jonathan berdehem. "Kau takut Thea selingkuh?""Aku tidak tahu, aku hanya ingin menikahinya dan menjadikan dia wanitaku seutuhnya. Untuk apa pergi ke Paris, itu hanya akan membuat hubungan kita semakin renggang. Bukankah biasanya kebanyakan hubungan putus di tengah jalan itu karena adanya jarak," jelas Darren"Ya ampun, kau benar-benar seorang budak cinta. Hubungan kalian tuh aneh, maksudku kau menempatkan dirimu di situasi yang sulit. Jika itu aku, lebih baik aku mengambil jalan tengahnya. Lagi pula Thea sepertinya tidak benar-benar serius padamu." Jonathan tidak berniat menjelekkan Thea, tapi ia hanya kasihan saja karena hubungan mereka itu sudah sangat toxic."Cukup keluargaku yang selalu menjelekkannya, jangan sampai kau juga bicara macam-macam tentangnya! Aku bisa saja menghajarmu!" Darren menatapnya tajam."Calm down, aku hanya melihat apa yang kulihat. Jika dia serius, dia pasti tidak akan pernah pergi ke Paris dan mendengarkanmu, simple kan!"Perkataan Jonathan membuat Darren terdiam. Apakah Thea akan tetap pergi seperti apa yang diinginkan wanita itu? Jika iya, apa itu artinya Thea tidak serius padanya?Darren segera mengetik pesan di ponselnya.'Kau sudah di rumah? Oh ya, tentang pergi ke Paris, jika kau pergi artinya kau tidak serius padaku. Hanya mengingatkan, selamat malam sayang.' Setelah mengklik tanda kirim, Darren menutup matanya dalam-dalam. Ia ingin tahu apakah Thea masih akan pergi atau wanita itu akan tetap tinggal."Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
Apa jika Zee menolak permintaan Thea, rahasia ini akan terbongkar saat ini juga. Secara Thea akan kebingungan dengan malam yang dimaksud oleh Darren. Rasanya Zee sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini. "Tidak perlu malu begitu. Sekali lagi maaf ya." Darren bukan tipikal pria seenaknya, karena itu ia bahkan masih meminta maaf pada kekasihnya sendiri. Zee jadi merasa bersalah, apa tidak apa-apa jika ia berbohong tentang semuanya?Seketika pandangan Zee berubah kosong, haruskah ia sampai seperti ini mengelabui seseorang. Tapi ini bukan kehendaknya, jadi kenapa ia harus merasa bersalah sendiri. "Hei baby, why?" Darren panik karena Zee terdiam diam. "Thea?"Saat nama kembarannya disebut, Zee segera tersadar. Menyadari posisinya terlalu dekat, ia replect memundurkan tubuhnya ke belakang. Jika begini Zee bisa mati saat ini juga. Harusnya Thea memberitahunya jika Darren adalah orang yang seperti ini. Oh sial, entah berapa kali jantungnya hampir saja copot dari tempatnya.Darren menc
Zee menoleh ke arah Darren hingga wajah mereka saling berhadapan dengan tangan Darren yang masih tersemat di pinggangnya."Darren-" Zee tak bisa melanjutkan ucapannya.Darren tersenyum lebar padanya. Tampan ... oh sial bisa-bisanya ia malah berfokus ke sana. Masalahnya bukan itu sekarang. Zee tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia bukan Thea, itulah masalahnya."Sayang." Satu tangan Darren menangkup pipinya.Zee tertegun dengan tatapan Darren yang mendamba ke arahnya. Jika Thea di sini, mungkin dia akan sangat bahagia mendengar orang sempurna seperti Darren melamarnya. Sayang sekali Thea tak bisa merasakan momen penting ini."Kurasa ini sudah waktunya." Darren memancarkan cinta yang sangat dalam dan tulus, seketika Zee merasa iri.Oh bukan, Zee bukan iri pada Thea tapi ia iri karena tak pernah ada seseorang yang menatapnya sedalam itu. Dan saat ini, saat seorang pria tampan dan lembut melakukannya, ia merasa tak keberatan. Tapi sayang, itu bukan karena dirinya, tapi karena Thea."
'Thea, Darren melamarmu.' Zee menunggu balasan dari pesan yang ia kirimkan untuk kakaknya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Thea setelah tahu jika dia melewatkan hari spesialnya dengan Darren.'Kurasa Darren serius denganmu, jadi aku menerimanya. Berterima kasihlah padaku.' Zee terus mengirimkan pesan. Selama beberapa menit masih belum ada jawaban, sesekali Zee menelpon.'Balas pesanku, aku harus tahu bagaimana pendapatmu mengenai hal itu.'Masih tidak ada balasan. Telponnya juga masih tidak diangkat. Apakah Thea baik-baik saja di sana?'Thea, angkat telponku!'Beberapa kali Zee berdecak kesal, Thea tak kunjung mengangkat teleponnya. Seketika ia menatap ke sekeliling, ia baru menyadari jika barang-barang yang ia pakai milik Thea terasa sangat asing. Rasanya ia tidak memiliki kepercayaan diri sepenuh itu.Pantas saja Darren terlihat sangat mencintai Thea, mereka sangat cocok, serasi dan juga sederajat. Selain penampilan Thea yang trendy, kembarannya itu juga memiliki gelar yang bisa dib
Zee terbelalak melihat pesan yang baru saja muncul di ponselnya. Sejujurnya ia belum terbiasa dengan pesan Darren yang tiba-tiba, karena yang ia rasakan tetaplah orang asing meski sebelumnya mereka pernah menghabiskan malam panas.Gara-gara percakapannya dengan Thea waktu itu, Zee jadi sedikit ragu dalam bertindak. Ia tidak ingin kembarannya itu kembali menyalahkannya. Tapi jika ia tidak membalasnya apa itu tidak akan membuat Darren curiga.Dengan berat hati, Zee terpaksa membalasnya.'Jemput ke mana?' Dan tak butuh waktu lama Darren membalasnya dengan cepat . 'Tentu saja ke kantormu.' Zee membelalakkan matanya, kantor? Gawat, Darren tidak boleh sampai menyusul ke sana, bisa-bisa penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.'Hari ini aku tidak ke kantor, aku di Apartment.' Zee harap Darren tidak menanyakan alasannya karena demi apa pun ia tidak tahu harus beralasan seperti apa. 'Baiklah, aku akan mampir kalau begitu.'Zee bernafas lega. Ia merasa geli sendiri saat mengetikkan balas
"Zee! Kau masih belum bersiap-siap!" Zee menoleh ke asal suara, niatnya untuk mengambil minum harus terhenti saat ia melihat kedua mata ibunya melebar. Ayolah, ia tidak merasa terintimidasi karena ibunya memang selalu seperti itu terhadapnya."Bisakah aku tidak ikut?" Zee bertanya sambil menggaruk kepalanya dengan malas-malasan."Oh tentu, kehadiranmu hanya akan membuat Thea malu!" Bukannya tidak terima, Zee malah bernafas lega. Setidaknya waktu istirahatnya terselamatkan, pikirnya. "Sayangnya kali ini kau tidak bisa melewatkannya lagi. Ini adalah hari bersejarah untuk Thea, kau harus melihatnya dengan mata kepalamu sendiri sehebat apa kakakmu itu," sindirnya.Raut wajah Zee berubah masam, ia tidak masalah jika ibunya terus mengintimidasi selama ia tinggal di rumah ini, bahkan saat ibunya berlaku tidak adil, Zee tidak peduli. Tapi, saat ia mulai dibandingkan dengan Thea, rasanya Zee tidak pernah bisa menerimanya. "Jangan mulai lagi." Zee memperingatkan, ia tidak ingin beradu mulut
"Dia akan pergi ke Paris ...." Darren berkata dengan suara lemah.Jonathan; orang yang sadari tadi duduk di sampingnya itu menaikkan satu alisnya. Ia adalah teman sekaligus sekertaris Darren yang tadi datang bersamanya."Apa masalahnya? Ayolah Darren, itu hanya Paris. Kekasihmu juga butuh liburan." Jon tidak bermaksud membela Thea, menurutnya Darren terlalu berlebihan jika frustasi hanya karena Thea akan pergi ke Paris.Darren meliriknya dengan kesal, ia kembali menuangkan alkohol di gelasnya lagi. Lalu meneguknya dengan sekali tegukkan. "Dia ke Paris bukan untuk liburan, tapi dia akan tinggal di sana selama beberapa bulan. Katanya dia diajak kerja sama oleh salah satu perusahaan di sana." Darren memperjelasnya."Maaf, aku tidak tahu. Jadi ..., kau keberatan jika dia pergi?" Jon bertanya dengan hati-hati."Bodoh!" Darren mendengus. "Tentu saja aku keberatan. Aku akan melamarnya, tapi dia malah ingin pergi ke Paris.""Jadi karena itu kemarin kalian bertengkar di telpon." Jon menganggu
Zee terbelalak melihat pesan yang baru saja muncul di ponselnya. Sejujurnya ia belum terbiasa dengan pesan Darren yang tiba-tiba, karena yang ia rasakan tetaplah orang asing meski sebelumnya mereka pernah menghabiskan malam panas.Gara-gara percakapannya dengan Thea waktu itu, Zee jadi sedikit ragu dalam bertindak. Ia tidak ingin kembarannya itu kembali menyalahkannya. Tapi jika ia tidak membalasnya apa itu tidak akan membuat Darren curiga.Dengan berat hati, Zee terpaksa membalasnya.'Jemput ke mana?' Dan tak butuh waktu lama Darren membalasnya dengan cepat . 'Tentu saja ke kantormu.' Zee membelalakkan matanya, kantor? Gawat, Darren tidak boleh sampai menyusul ke sana, bisa-bisa penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.'Hari ini aku tidak ke kantor, aku di Apartment.' Zee harap Darren tidak menanyakan alasannya karena demi apa pun ia tidak tahu harus beralasan seperti apa. 'Baiklah, aku akan mampir kalau begitu.'Zee bernafas lega. Ia merasa geli sendiri saat mengetikkan balas
'Thea, Darren melamarmu.' Zee menunggu balasan dari pesan yang ia kirimkan untuk kakaknya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Thea setelah tahu jika dia melewatkan hari spesialnya dengan Darren.'Kurasa Darren serius denganmu, jadi aku menerimanya. Berterima kasihlah padaku.' Zee terus mengirimkan pesan. Selama beberapa menit masih belum ada jawaban, sesekali Zee menelpon.'Balas pesanku, aku harus tahu bagaimana pendapatmu mengenai hal itu.'Masih tidak ada balasan. Telponnya juga masih tidak diangkat. Apakah Thea baik-baik saja di sana?'Thea, angkat telponku!'Beberapa kali Zee berdecak kesal, Thea tak kunjung mengangkat teleponnya. Seketika ia menatap ke sekeliling, ia baru menyadari jika barang-barang yang ia pakai milik Thea terasa sangat asing. Rasanya ia tidak memiliki kepercayaan diri sepenuh itu.Pantas saja Darren terlihat sangat mencintai Thea, mereka sangat cocok, serasi dan juga sederajat. Selain penampilan Thea yang trendy, kembarannya itu juga memiliki gelar yang bisa dib
Zee menoleh ke arah Darren hingga wajah mereka saling berhadapan dengan tangan Darren yang masih tersemat di pinggangnya."Darren-" Zee tak bisa melanjutkan ucapannya.Darren tersenyum lebar padanya. Tampan ... oh sial bisa-bisanya ia malah berfokus ke sana. Masalahnya bukan itu sekarang. Zee tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia bukan Thea, itulah masalahnya."Sayang." Satu tangan Darren menangkup pipinya.Zee tertegun dengan tatapan Darren yang mendamba ke arahnya. Jika Thea di sini, mungkin dia akan sangat bahagia mendengar orang sempurna seperti Darren melamarnya. Sayang sekali Thea tak bisa merasakan momen penting ini."Kurasa ini sudah waktunya." Darren memancarkan cinta yang sangat dalam dan tulus, seketika Zee merasa iri.Oh bukan, Zee bukan iri pada Thea tapi ia iri karena tak pernah ada seseorang yang menatapnya sedalam itu. Dan saat ini, saat seorang pria tampan dan lembut melakukannya, ia merasa tak keberatan. Tapi sayang, itu bukan karena dirinya, tapi karena Thea."
Apa jika Zee menolak permintaan Thea, rahasia ini akan terbongkar saat ini juga. Secara Thea akan kebingungan dengan malam yang dimaksud oleh Darren. Rasanya Zee sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini. "Tidak perlu malu begitu. Sekali lagi maaf ya." Darren bukan tipikal pria seenaknya, karena itu ia bahkan masih meminta maaf pada kekasihnya sendiri. Zee jadi merasa bersalah, apa tidak apa-apa jika ia berbohong tentang semuanya?Seketika pandangan Zee berubah kosong, haruskah ia sampai seperti ini mengelabui seseorang. Tapi ini bukan kehendaknya, jadi kenapa ia harus merasa bersalah sendiri. "Hei baby, why?" Darren panik karena Zee terdiam diam. "Thea?"Saat nama kembarannya disebut, Zee segera tersadar. Menyadari posisinya terlalu dekat, ia replect memundurkan tubuhnya ke belakang. Jika begini Zee bisa mati saat ini juga. Harusnya Thea memberitahunya jika Darren adalah orang yang seperti ini. Oh sial, entah berapa kali jantungnya hampir saja copot dari tempatnya.Darren menc
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me
"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah. Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya. "A-aku ..., aku-" "Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain. "Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di
"Aku bergerak sekarang ya." Itu bukan permintaan, karena setelahnya Darren mulai bergerak memaju mundurkan tubuhnya seolah mencari titik kenikmatan. "Ahh ...." Si wanita merintih, meski sejujurnya ada sesuatu yang membuatnya menggelinjang hebat saat benda itu menekan kuat bagian terdalamnya."Maaf sayang, aku sudah berusaha untuk pelan," ucap Darren disela pergerakannya.Zee pasti sudah gila karena ia merasa senang saat ada orang asing yang memanggilnya sayang. Kata itu seolah terdengar sangat tulus di telinganya, hingga membuat hatinya tersentuh. Apa mungkin itu karena alkohol terlalu kuat menguasai tubuhnya?Zee tidak tahu kenapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh, dibelai, dan dipuaskan. Yang pasti, ia sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya merespon cepat setiap kali Darren berhasil menyentuh titik kenikmatannya."Ahh ...." Zee membuka tutup matanya keenakan, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. "Panggil namaku," kata Darren dengan nada memerintah.Zee, wan