"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah.
Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya."A-aku ..., aku-""Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain."Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di dalam kamar, Zee naik ke atas ranjang dan masuk ke dalam selimutnya. Seberapa kali pun Zee memejamkan mata, ia tak kunjung tertidur."Arghhh ...." Zee berteriak jengkel pada akhirnya.Setan mana yang bercokol mengusik tubuhnya, sampai ia tak bisa menenangkan diri semalaman. Dan kenapa ia terus mengingat setiap sentuhan Darren yang seharusnya ia hapus dari ingatannya. Alkohol sialan!Zee bangkit dari ranjang, rumahnya yang sepi semakin membuatnya semakin gelisah. Tak ada teman yang bisa ia ajak bicara, apalagi jam segini teman-temannya pasti sudah tertidur. Jika pun ia bisa menghubungi salah satu temannya, memang apa yang akan ia katakan?Bahwa dirinya sudah tidur dengan kekasih kakaknya, begitu? Itu mustahil!Zee memikirkan cara untuk menghadapi hari esok, ia tahu jika dirinya tidak akan lolos begitu saja. Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk menghilang sementara yang artinya ia harus pergi dari rumah ini. Zee memang ingin pergi, tapi tidak sekarang. Ia belum memiliki cukup uang untuk pergi dari rumah itu. Lalu apa jalan keluarnya, haruskah ia menerima konsekuensinya?Zee mengusak kepalanya dengan frustasi.***Seseorang menggeliat dalam tidurnya saat sebuah cahaya menyoroti wajah tampannya. Ia tampak terganggu hingga mau tidak mau terpaksa harus membuka mata. Pandangannya mengabur, kepalanya sedikit pusing akibat dari alkohol yang menguasainya semalam. Setelah sadar sepenuhnya, ia baru tersadar dengan apa yang ia lakukan semalam. Seketika bibirnya tersenyum lebar. Namun saat dirinya menoleh, tempat sebelahnya sudah kosong yang artinya orang yang menghabiskan malam bersamanya sudah pergi. Darren seharusnya sudah tahu jika kekasihnya tidak akan menunggunya karena Thea adalah orang yang sibuk. Tapi tetap saja ia kecewa karena ditinggalkan begitu saja.Darren hanya bisa menghela nafas, ia duduk dengan susah payah dan langsung mengambil ponselnya untuk memeriksa beberapa pesan yang muncul.'Kau di mana? Pulang lebih dulu kah?' Jonathan.Tidak hanya itu, ada beberapa pesan lagi yang muncul.'Kau di mana? Bukankah seharusnya kau ada di rumah!' Mama.3 panggilan tak terjawab dari Jonathan.'Jangan lupa hari ini ada meeting penting, jangan sampai terlambat.' Jonathan.Oh sial, Darren lupa jika hari ini ia ada meeting. Ia segera menelpon Jonathan kembali dan mengabaikan pesan ibunya.["Ada apa, ini masih jam 7 pagi, aku belum-"]"Jam berapa meeting nya dimulai?" potong Darren dengan cepat.["Sekitar jam sepuluhan, kenapa?"]Darren bernafas lega. "Syukurlah."Setidaknya ia masih memiliki waktu untuk pulang ke rumahnya lebih dulu.["Kau belum menjawab pesanku, semalam kau ke mana?"] tanya Jonathan dari sebrang sana.Darren mengulum senyum saat ia mengingat samar-samar kegiatannya semalam. Wajahnya ikut memerah. "Ra.ha.sia," jawabnya penuh penekanan.["Ck, sejak kapan kau main rahasia denganku!"] protes Jonathan."Kau tidak perlu tahu. Siapkan berkas-berkasnya, kita bertemu di kantor nanti."["Oh oke. Ngomong-ngomong, apa tidak ada yang ingin kau katakan padaku?"] Dari nadanya, Jonathan seolah sengaja memancingnya."Apalagi Jon, aku sedang buru-buru ini," pekik Darren dengan kesal.["Buru-buru ke mana, bukankah kau ada di rumah?"]Darren mengutuk dirinya sendiri, nah kan jadinya ia keceplosan. "Aku tidak di rumah, kau puas!"["Gotcha, akhirnya kau ketahuan juga. Jadi ke mana kau dari semalam, hah? Kau tahu, gara-gara kau menghilang Ibumu tidak berhenti menghubungiku!"]"Aku menginap di hotel," akunya.["Hah!"]"Jangan pura-pura terkejut, kau tahu benar apa yang dilakukan sepasang kekasih saat berduaan di dalam hotel." Darren memutar bola matanya dengan malas.["Jadi kalian berdua sudah melakukannya. Wah tidak kusangka, seorang Darren yang memegang teguh 'no sex before marriage', ternyata brengsek juga hahaha ...,"] ledek Jonathan di sebrang sana."Sebenarnya itu diluar kendaliku. Aku mabuk dan semua terjadi begitu saja," jelas Darren dengan jujur.["Jadi kau sengaja mabuk untuk menidurinya, wah wah ..., pengecut sekali kau ini."] Jonathan meledek layaknya seorang teman."Tidak begitu juga. Aku memesan kamar karena ingin langsung istirahat, mana kutahu jika tiba-tiba dia ada depan kamarku. Lagi pula aku akan menikahinya, jadi itu bukan masalah besar," kata Darren dengan enteng.["Tapi kau tidak memaksa kekasihmu 'kan?"]"Entahlah aku tidak ingat, aku akan meminta maaf padanya nanti. Dia pasti malu sampai aku terbangun dia sudah tidak ada."Terdengar tawa Jonathan yang tampak puas. ["Well, jadi kau dicampakkan setelah menghabiskan malam bersama."]"Sialan kau! Meskipun sikapnya dingin, tapi dia sangat mencintaiku!"["Ya, ya, ya. Dasar budak cinta. Ya sudah sana, kau mengganggu rutinitas pagiku saja!"]Tut, sambungan pun terputus.***"Darren!"Darren menghentikan langkahnya saat ia baru saja masuk ke dalam rumah. Ibunya Ny. Abelia sedang duduk sambil bersedekap di dada, kedua kakinya menyilang menunjukkan keangkuhan yang sangat jelas."Ma, aku-""Apa keluargamu lebih berharga dari pada wanita itu!" celetuknya. Darren menghela nafas, ia yakin Ny. Abelia pasti tahu tentang dirinya yang pergi menemui Thea. Karena itu Darren hanya diam tanpa membela diri."Sudah berapa kali Mama bilang hah! Jangan berhubungan lagi dengan wanita sombong itu, aku tidak menyukainya!" murkanya dengan wajah serius."Ma, dia tidak seburuk itu." Darren tidak bisa membiarkan Ibunya terus memandang Thea seperti itu."Kau begini karena kau buta. Masih ada banyak wanita yang lebih dari dia. Bahkan keluarganya tidak jelas begitu. Apa yang bisa kau harapkan dari dia!""Tapi aku mencintainya. Bukankah seharusnya Mama bangga, dia wanita yang mandiri, dia bisa mendapatkan semuanya dengan jari payahnya sendiri. Bukan meminta-minta dari orang tuanya." Darren jelas tahu kenapa Mamanya seperti ini. Hanya karena Thea bukan dari kalangan keluarga bangsawan, Mamanya bisa seenaknya seperti ini."Terserah. Sampai kapan pun Mama tidak akan setuju dengan wanita licik itu!" kukuhnya. Lalu Ny. Abelia pergi dari sana meninggalkan Darren yang menatapnya sendu.Thea memang tidak memiliki kepribadian yang disukai orang-orang. Tapi bagi Darren, Thea itu memiliki tempat yang paling special di hatinya. Tidak peduli, seburuk apa orang-orang membicarakannya. Yang terpenting Thea adalah Thea. Orang yang berhasil mencuri hatinya sejak saat itu."Jangan terlalu dipikirkan, Mama memang seperti itu."Darren menoleh ke asal suara, ia tampak terkejut melihat kedatangan adiknya di rumah ini. "Bryan, kapan kau pulang?"Seseorang yang dipanggil Bryan itu mendekati sang kakak. "Dua hari yang lalu.""Tidak biasanya kau tiba-tiba pulang seperti ini, terakhir kali saat adikmu ulang tahun kau bahkan tidak pulang," sindir Darren."Kebetulan waktuku sedang senggang. Dan soal itu yang terpenting aku sudah memberikannya hadiah yang setimpal," kata Bryan dengan bangga."Dasar penjilat."Darren mengambil ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada Thea.'Sayang, kau baik-baik saja?' Darren ingin memastikannya karena sampai saat ini Thea tak kunjung menghubunginya. Ia khawatir Thea shock atau menyesali malam panas mereka.'Baik. Aku sudah di kantor, nanti kuhubungi lagi.' Thea.Darren tersenyum melihat balasan Thea yang tidak terlihat ketus padanya. Itu artinya, Thea tidak marah padanya kan?"Pagi-pagi sudah senyum-senyum sendiri," celetuk Bryan sambil geleng-geleng kepala."Jangan usil. Sana pergi!" usir Darren.***'Aku baru saja selesai meeting. Bagaimana denganmu?' Darren.Thea membaca pesan yang baru saja muncul di notif ponselnya. Namun ia tidak berniat untuk membukanya dan dibiarkan begitu saja."Ini sudah satu Minggu berlalu, apa Anda sudah memutuskan?" tanya seseorang di depannya. Thea menatap orang itu dan pesan Darren secara bergantian."Nn. Freya bagaimana?" tanya orang itu lagi."Bisa saya minta waktu satu hari lagi? Aku belum berbicara lagi tentang hal ini pada kekasihku," pinta Thea.Orang itu menghela nafas. "Baiklah, kalau begitu aku akan menghubungi pihak mereka. Ingat, lusa kita sudah harus segera berangkat dan memulai kerja sama untuk pamerannya."Thea mengangguk paham.'Aku baru akan pulang. Darren, aku ingin bertanya tentang hal kemarin.' Thea menarik nafas dalam-dalam, ia tidak memiliki waktu untuk berbicara langsung dengan Darren, apalagi jika pada akhirnya mereka hanya akan berakhir bertengkar.'Aku minta maaf, tapi aku tidak menyesalinya. Aku benar-benar mencintaimu.' Darren.Thea menaikkan atau alisnya, apa Darren menyesal karena telah melarangnya pergi ke Paris? Tapi jika dia tidak menyesal, artinya Darren tetap tak mengijinkannya.Sial! Belum apa-apa Darren sudah memberinya jawaban yang tegas seperti itu, Thea benar-benar frustasi sekarang.Thea memutuskan untuk tidak membalasnya lagi. Toh jika ia balas pun hanya akan membuat hubungan mereka memburuk. Saat terdiam sejenak, terlintas sebuah ide di dalam pikirannya. Namun Thea tidak yakin ini akan berhasil atau tidak. Dengan cepat Thea kembali mengirim pesan lain pada seseorang.'Zee, kau di mana?'Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me
"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
Apa jika Zee menolak permintaan Thea, rahasia ini akan terbongkar saat ini juga. Secara Thea akan kebingungan dengan malam yang dimaksud oleh Darren. Rasanya Zee sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini. "Tidak perlu malu begitu. Sekali lagi maaf ya." Darren bukan tipikal pria seenaknya, karena itu ia bahkan masih meminta maaf pada kekasihnya sendiri. Zee jadi merasa bersalah, apa tidak apa-apa jika ia berbohong tentang semuanya?Seketika pandangan Zee berubah kosong, haruskah ia sampai seperti ini mengelabui seseorang. Tapi ini bukan kehendaknya, jadi kenapa ia harus merasa bersalah sendiri. "Hei baby, why?" Darren panik karena Zee terdiam diam. "Thea?"Saat nama kembarannya disebut, Zee segera tersadar. Menyadari posisinya terlalu dekat, ia replect memundurkan tubuhnya ke belakang. Jika begini Zee bisa mati saat ini juga. Harusnya Thea memberitahunya jika Darren adalah orang yang seperti ini. Oh sial, entah berapa kali jantungnya hampir saja copot dari tempatnya.Darren menc
Zee menoleh ke arah Darren hingga wajah mereka saling berhadapan dengan tangan Darren yang masih tersemat di pinggangnya."Darren-" Zee tak bisa melanjutkan ucapannya.Darren tersenyum lebar padanya. Tampan ... oh sial bisa-bisanya ia malah berfokus ke sana. Masalahnya bukan itu sekarang. Zee tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia bukan Thea, itulah masalahnya."Sayang." Satu tangan Darren menangkup pipinya.Zee tertegun dengan tatapan Darren yang mendamba ke arahnya. Jika Thea di sini, mungkin dia akan sangat bahagia mendengar orang sempurna seperti Darren melamarnya. Sayang sekali Thea tak bisa merasakan momen penting ini."Kurasa ini sudah waktunya." Darren memancarkan cinta yang sangat dalam dan tulus, seketika Zee merasa iri.Oh bukan, Zee bukan iri pada Thea tapi ia iri karena tak pernah ada seseorang yang menatapnya sedalam itu. Dan saat ini, saat seorang pria tampan dan lembut melakukannya, ia merasa tak keberatan. Tapi sayang, itu bukan karena dirinya, tapi karena Thea."
'Thea, Darren melamarmu.' Zee menunggu balasan dari pesan yang ia kirimkan untuk kakaknya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Thea setelah tahu jika dia melewatkan hari spesialnya dengan Darren.'Kurasa Darren serius denganmu, jadi aku menerimanya. Berterima kasihlah padaku.' Zee terus mengirimkan pesan. Selama beberapa menit masih belum ada jawaban, sesekali Zee menelpon.'Balas pesanku, aku harus tahu bagaimana pendapatmu mengenai hal itu.'Masih tidak ada balasan. Telponnya juga masih tidak diangkat. Apakah Thea baik-baik saja di sana?'Thea, angkat telponku!'Beberapa kali Zee berdecak kesal, Thea tak kunjung mengangkat teleponnya. Seketika ia menatap ke sekeliling, ia baru menyadari jika barang-barang yang ia pakai milik Thea terasa sangat asing. Rasanya ia tidak memiliki kepercayaan diri sepenuh itu.Pantas saja Darren terlihat sangat mencintai Thea, mereka sangat cocok, serasi dan juga sederajat. Selain penampilan Thea yang trendy, kembarannya itu juga memiliki gelar yang bisa dib
Zee terbelalak melihat pesan yang baru saja muncul di ponselnya. Sejujurnya ia belum terbiasa dengan pesan Darren yang tiba-tiba, karena yang ia rasakan tetaplah orang asing meski sebelumnya mereka pernah menghabiskan malam panas.Gara-gara percakapannya dengan Thea waktu itu, Zee jadi sedikit ragu dalam bertindak. Ia tidak ingin kembarannya itu kembali menyalahkannya. Tapi jika ia tidak membalasnya apa itu tidak akan membuat Darren curiga.Dengan berat hati, Zee terpaksa membalasnya.'Jemput ke mana?' Dan tak butuh waktu lama Darren membalasnya dengan cepat . 'Tentu saja ke kantormu.' Zee membelalakkan matanya, kantor? Gawat, Darren tidak boleh sampai menyusul ke sana, bisa-bisa penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.'Hari ini aku tidak ke kantor, aku di Apartment.' Zee harap Darren tidak menanyakan alasannya karena demi apa pun ia tidak tahu harus beralasan seperti apa. 'Baiklah, aku akan mampir kalau begitu.'Zee bernafas lega. Ia merasa geli sendiri saat mengetikkan balas
"Zee! Kau masih belum bersiap-siap!" Zee menoleh ke asal suara, niatnya untuk mengambil minum harus terhenti saat ia melihat kedua mata ibunya melebar. Ayolah, ia tidak merasa terintimidasi karena ibunya memang selalu seperti itu terhadapnya."Bisakah aku tidak ikut?" Zee bertanya sambil menggaruk kepalanya dengan malas-malasan."Oh tentu, kehadiranmu hanya akan membuat Thea malu!" Bukannya tidak terima, Zee malah bernafas lega. Setidaknya waktu istirahatnya terselamatkan, pikirnya. "Sayangnya kali ini kau tidak bisa melewatkannya lagi. Ini adalah hari bersejarah untuk Thea, kau harus melihatnya dengan mata kepalamu sendiri sehebat apa kakakmu itu," sindirnya.Raut wajah Zee berubah masam, ia tidak masalah jika ibunya terus mengintimidasi selama ia tinggal di rumah ini, bahkan saat ibunya berlaku tidak adil, Zee tidak peduli. Tapi, saat ia mulai dibandingkan dengan Thea, rasanya Zee tidak pernah bisa menerimanya. "Jangan mulai lagi." Zee memperingatkan, ia tidak ingin beradu mulut
Zee terbelalak melihat pesan yang baru saja muncul di ponselnya. Sejujurnya ia belum terbiasa dengan pesan Darren yang tiba-tiba, karena yang ia rasakan tetaplah orang asing meski sebelumnya mereka pernah menghabiskan malam panas.Gara-gara percakapannya dengan Thea waktu itu, Zee jadi sedikit ragu dalam bertindak. Ia tidak ingin kembarannya itu kembali menyalahkannya. Tapi jika ia tidak membalasnya apa itu tidak akan membuat Darren curiga.Dengan berat hati, Zee terpaksa membalasnya.'Jemput ke mana?' Dan tak butuh waktu lama Darren membalasnya dengan cepat . 'Tentu saja ke kantormu.' Zee membelalakkan matanya, kantor? Gawat, Darren tidak boleh sampai menyusul ke sana, bisa-bisa penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.'Hari ini aku tidak ke kantor, aku di Apartment.' Zee harap Darren tidak menanyakan alasannya karena demi apa pun ia tidak tahu harus beralasan seperti apa. 'Baiklah, aku akan mampir kalau begitu.'Zee bernafas lega. Ia merasa geli sendiri saat mengetikkan balas
'Thea, Darren melamarmu.' Zee menunggu balasan dari pesan yang ia kirimkan untuk kakaknya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Thea setelah tahu jika dia melewatkan hari spesialnya dengan Darren.'Kurasa Darren serius denganmu, jadi aku menerimanya. Berterima kasihlah padaku.' Zee terus mengirimkan pesan. Selama beberapa menit masih belum ada jawaban, sesekali Zee menelpon.'Balas pesanku, aku harus tahu bagaimana pendapatmu mengenai hal itu.'Masih tidak ada balasan. Telponnya juga masih tidak diangkat. Apakah Thea baik-baik saja di sana?'Thea, angkat telponku!'Beberapa kali Zee berdecak kesal, Thea tak kunjung mengangkat teleponnya. Seketika ia menatap ke sekeliling, ia baru menyadari jika barang-barang yang ia pakai milik Thea terasa sangat asing. Rasanya ia tidak memiliki kepercayaan diri sepenuh itu.Pantas saja Darren terlihat sangat mencintai Thea, mereka sangat cocok, serasi dan juga sederajat. Selain penampilan Thea yang trendy, kembarannya itu juga memiliki gelar yang bisa dib
Zee menoleh ke arah Darren hingga wajah mereka saling berhadapan dengan tangan Darren yang masih tersemat di pinggangnya."Darren-" Zee tak bisa melanjutkan ucapannya.Darren tersenyum lebar padanya. Tampan ... oh sial bisa-bisanya ia malah berfokus ke sana. Masalahnya bukan itu sekarang. Zee tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia bukan Thea, itulah masalahnya."Sayang." Satu tangan Darren menangkup pipinya.Zee tertegun dengan tatapan Darren yang mendamba ke arahnya. Jika Thea di sini, mungkin dia akan sangat bahagia mendengar orang sempurna seperti Darren melamarnya. Sayang sekali Thea tak bisa merasakan momen penting ini."Kurasa ini sudah waktunya." Darren memancarkan cinta yang sangat dalam dan tulus, seketika Zee merasa iri.Oh bukan, Zee bukan iri pada Thea tapi ia iri karena tak pernah ada seseorang yang menatapnya sedalam itu. Dan saat ini, saat seorang pria tampan dan lembut melakukannya, ia merasa tak keberatan. Tapi sayang, itu bukan karena dirinya, tapi karena Thea."
Apa jika Zee menolak permintaan Thea, rahasia ini akan terbongkar saat ini juga. Secara Thea akan kebingungan dengan malam yang dimaksud oleh Darren. Rasanya Zee sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini. "Tidak perlu malu begitu. Sekali lagi maaf ya." Darren bukan tipikal pria seenaknya, karena itu ia bahkan masih meminta maaf pada kekasihnya sendiri. Zee jadi merasa bersalah, apa tidak apa-apa jika ia berbohong tentang semuanya?Seketika pandangan Zee berubah kosong, haruskah ia sampai seperti ini mengelabui seseorang. Tapi ini bukan kehendaknya, jadi kenapa ia harus merasa bersalah sendiri. "Hei baby, why?" Darren panik karena Zee terdiam diam. "Thea?"Saat nama kembarannya disebut, Zee segera tersadar. Menyadari posisinya terlalu dekat, ia replect memundurkan tubuhnya ke belakang. Jika begini Zee bisa mati saat ini juga. Harusnya Thea memberitahunya jika Darren adalah orang yang seperti ini. Oh sial, entah berapa kali jantungnya hampir saja copot dari tempatnya.Darren menc
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me
"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah. Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya. "A-aku ..., aku-" "Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain. "Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di
"Aku bergerak sekarang ya." Itu bukan permintaan, karena setelahnya Darren mulai bergerak memaju mundurkan tubuhnya seolah mencari titik kenikmatan. "Ahh ...." Si wanita merintih, meski sejujurnya ada sesuatu yang membuatnya menggelinjang hebat saat benda itu menekan kuat bagian terdalamnya."Maaf sayang, aku sudah berusaha untuk pelan," ucap Darren disela pergerakannya.Zee pasti sudah gila karena ia merasa senang saat ada orang asing yang memanggilnya sayang. Kata itu seolah terdengar sangat tulus di telinganya, hingga membuat hatinya tersentuh. Apa mungkin itu karena alkohol terlalu kuat menguasai tubuhnya?Zee tidak tahu kenapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh, dibelai, dan dipuaskan. Yang pasti, ia sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya merespon cepat setiap kali Darren berhasil menyentuh titik kenikmatannya."Ahh ...." Zee membuka tutup matanya keenakan, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. "Panggil namaku," kata Darren dengan nada memerintah.Zee, wan