"Zee! Kau masih belum bersiap-siap!"
Zee menoleh ke asal suara, niatnya untuk mengambil minum harus terhenti saat ia melihat kedua mata ibunya melebar. Ayolah, ia tidak merasa terintimidasi karena ibunya memang selalu seperti itu terhadapnya."Bisakah aku tidak ikut?" Zee bertanya sambil menggaruk kepalanya dengan malas-malasan."Oh tentu, kehadiranmu hanya akan membuat Thea malu!"Bukannya tidak terima, Zee malah bernafas lega. Setidaknya waktu istirahatnya terselamatkan, pikirnya."Sayangnya kali ini kau tidak bisa melewatkannya lagi. Ini adalah hari bersejarah untuk Thea, kau harus melihatnya dengan mata kepalamu sendiri sehebat apa kakakmu itu," sindirnya.Raut wajah Zee berubah masam, ia tidak masalah jika ibunya terus mengintimidasi selama ia tinggal di rumah ini, bahkan saat ibunya berlaku tidak adil, Zee tidak peduli. Tapi, saat ia mulai dibandingkan dengan Thea, rasanya Zee tidak pernah bisa menerimanya."Jangan mulai lagi." Zee memperingatkan, ia tidak ingin beradu mulut dengan ibunya. Sungguh, hari ini ia sangat lelah. Bahkan hanya untuk bersuara saja rasanya melelahkan."Aku tidak mau tahu, hari ini kau harus ikut! Bersiaplah," perintahnya."Yang benar saja Bu! Aku baru pulang kerja, aku ingin istirahat. Belum lagi besok aku harus masuk pagi," protes Zee dengan kesal."Ck, tidak perlu membahas pekerjaanmu yang tidak seberapa itu. Lakukan saja apa yang kusuruh! Sekalipun kau bekerja keras, tidak akan ada yang berubah dari pekerjaanmu itu!"Zee mengepalkan tangannya kuat-kuat, matanya berapi-api. Bohong jika ia tidak marah, rasanya ingin sekali ia mengamuk dan membalas perkataan ibunya. Tapi apa yang bisa ia lakukan, pekerjaannya memanglah tidak sehebat Thea.Memang apa yang bisa diharapkan dari seorang pelayan Cafe sepertinya?"Oh ya, kau masih punya waktu untuk mencuci rambutmu. Bajunya sudah kusiapkan di kamarmu. Ingat, satu jam lagi kau harus sudah siap, mengerti!" katanya sambil berlalu dari sana.Zee menghela nafas. Lihat, keputusan sepihak ibunya bahkan tidak bisa dibantah lagi. Zee bisa apa, selain pasrah, toh ibunya sudah tidak ingin mendengar penolakannya lagi.Baiklah, Zee akan menurut kali ini. Setidaknya mungkin di sana ia bisa bersenang-senang sendiri untuk melampiaskan amarahnya.Prim Raqilla; adalah ibu tunggal dari Zeeya Cornelia Ashley (Zee) dan juga Freya Lenathea Ashley (Thea). Mereka adalah saudara kembar yang hanya terpaut waktu 5 menit saja. Namun sayangnya mereka berpisah dalam waktu yang cukup lama saat kedua orang tua mereka bercerai. Karena itulah, hubungan Zee dengan keduanya tidak terlalu dekat.Zee, datang saat ia menginjak bangku SMA, tepatnya saat sang ayah meninggal dunia. Dan mau tidak mau akhirnya Zee harus tinggal bersama ibu dan juga kakak kembarnya, Thea.Saat Zee sudah terbiasa, ia semakin sadar jika dirinya tidak akan pernah bisa setara dengan Thea, apalagi dengan kehidupan mereka yang saat ini sangat berbanding balik. Thea memiliki karir yang bagus hingga ia sudah sukses di usia muda sebagai seorang desainer. Sedangkan dirinya hanyalah seorang pelayan di salah satu Cafe milik temannya. Sungguh perbedaan yang sangat jauh.Zee tidak pernah merasa iri atau marah dengan nasibnya, ia sudah cukup bersyukur dengan apa yang ia miliki. Hanya saja, satu-satunya yang mengganggunya adalah perkataan Bu Prim yang kerap membanding-bandingkan mereka.Zee sudah sangat muak, tapi ia juga bisa apa karena itu memanglah kenyataan. Faktanya, hidupnya tidak seberuntung Thea.Zee hanya berharap ia bisa berhenti diikuti oleh bayang-bayang Bu Prim. Karena itulah Zee bekerja dengan sangat keras agar ia bisa mengumpulkan uang yang banyak dan pergi dari sana."Oh sial, kapan aku bisa keluar dari rumah ini," gumam Zee sambil mengeringkan rambutnya dengan Hair Dryer. "Kau menyedihkan Zee ...."Zee mengasihani dirinya sendiri, ia baru saja selesai mencuci rambutnya seperti yang Bu Prim perintahkan. Saat ia melihat bajunya yang sudah tersedia di atas ranjang, Zee hanya bisa tersenyum kecut."Aku bahkan harus memakai baju milik Thea," monolognya lagi. "Benar-benar menyedihkan ..., tapi setidaknya Ibu masih peduli padaku, artinya dia memperhatikanku bukan?"Zee berusaha tersenyum kecil dan berpikir positif, sampai ia kembali bersuara, "Atau mungkin dia tidak ingin aku membuatnya malu hehe ...."Tak ingin mendengar banyak ocehan ibunya lagi, Zee segera memakai gaun berwarna putih itu dan berdandan semampunya. Setelah selesai, Zee berputar di depan cermin dengan senyuman merekah di bibirnya."Tidak buruk ...," kekehnya.Tak lama kemudian Bu Prim memanggilnya dan mereka pergi ke acara malam ini yang diadakan di sebuah hotel. Sepanjang jalan Bu Prim terus membanggakan Thea hingga rasanya Zee ingin sekali menyumpal telinganya. Bukannya ia tidak suka dengan pencapaian Thea, ujung-ujungnya pasti Bu Prim hanya akan membandingkan pencapaian mereka."Lihat, hotelnya saja semewah ini. Pasti di dalamnya hanya ada orang-orang hebat," takjub Bu Prim saat mereka keluar dari dalam taksi. Zee memutar bola matanya dengan malas.Acara ini diadakan di ruangan besar di mana di dalamnya terdapat orang-orang hebat seperti yang sebelumnya Bu Prim katakan. Zee bahkan tidak bisa mengelak jika ia juga sangat bangga dengan Thea karena kakaknya itu bisa sesukses ini."Itu Thea," tunjuk Bu Prim pada seorang wanita yang sedang berbincang ramah dengan para tamu yang lain.Zee melihat ke arah Thea, dari kejauhan pun perbedaan mereka benar-benar sangat jelas. Zee menggelengkan kepalanya, ia tidak boleh merasa kecil hati hanya karena Thea jauh lebih berjaya di atasnya.Thea, yang sadar akan kehadiran Zee dan ibunya segera pamit dan menghampiri mereka berdua. Saat berjalan, Thea sangat anggun. Semua yang ada pada dirinya terasa sangat sempurna."Hai sayang, apa Ibu terlambat?" sapa Bu Prim pada putrinya.Thea melirik Zee sekilas, lalu beralih pada Bu Prim. "Tidak, acaranya belum dimulai."Sebelum Zee menyapa, Thea sudah lebih dulu menarik Bu Prim untuk mendekat."Kenapa dia memakai bajuku," Thea berbisik dengan ketus.Meski Zee tidak terlalu mendengarnya tapi ia tahu jika Thea tidak senang dengan kehadirannya."Ayolah The, dia tidak memiliki gaun. Kau tahu sendiri semua pakaiannya hanya itu-itu saja."Zee mendengar dengan jelas, jadi Thea mempermasalahkan baju yang ia pakai sekarang?Thea melihat ke sekelilingnya seolah ia takut orang-orang melihat ke arahnya. "Kenapa harus baju yang itu, bagaimana jika orang salah mengira jika dia itu aku."Sekarang Thea tidak berbisik lagi, jadi Zee bisa mendengarnya cukup jelas. Bu Prim baru sadar jika warna baju yang sekarang Thea dan Zee pakai itu sama, hanya beda model sedikit saja."Mana Ibu tahu kalau-""Kau tenang saja, meski wajah dan baju kita hampir sama setidaknya aku tidak bisa menandingi penampilanmu malam ini," potong Zee dengan cepat.Thea menatap Zee dari atas ke bawah, bisa dikatakan penampilan Zee memang tidak sebaik dirinya. Tetap saja Thea tidak ingin orang salah mengenalinya hingga imejnya bisa buruk."Itulah masalahnya, karena penampilanmu tidak sebaik aku, bisa jadi orang berpikir bahwa Freya Lenathea seorang desainer terkenal tidak memperhatikan penampilannya. Kau ingin mereka mengira begitu!""Lalu, apa ini salahku karena memiliki wajah yang sama sepertimu!" Zee berkata dengan kesal.Thea memutar bola matanya. "Kau itu merepotkan!" "Seharusnya kau bilang jika tidak ingin ada aku di sini!" Zee beralih pada ibunya. "Ibu lihat sendiri, kan, kurasa dia tidak senang aku datang!" Setelah mengatakan itu, Zee melengos pergi dari sana."Kau mau ke mana?" Bu Prim menahannya."Tentu saja ikut berpesta, aku sudah di sini. Ibu pikir aku akan pulang begitu saja!" jawab Zee sambil berlalu dari sana."Zee." Bu Prim berteriak kecil. Tapi Zee tidak menghiraukan, ia pergi menjauh dari mereka."Biarkan saja dia," kata Thea tak memperdulikan Zee yang menghilang di keramaian."Anak itu benar-benar ya! Thea, Ibu minta maaf. Ibu tidak tahu jika Zee akan merepotkan seperti ini. Ibu hanya ingin dia melihat semua kesuksesanmu dan belajar darimu." Bu Prim merasa bersalah karena sudah membuat Thea tidak nyaman akan kedatangan Zee."Sudahlah Bu, tidak apa-apa. Sudah terjadi juga. Lain kali jika apa-apa itu minta ijinku lebih dulu," tukasnya."Kau kan sibuk, kau juga jarang berkunjung. Ibu pikir kau tidak perlu memikirkan tentang Zee."Thea merasa tersindir, sudah dua bulan ini ia memang tidak pernah mengunjungi ibunya lagi."Selamat malam." Tiba-tiba seorang pria menghampiri mereka. Pria itu tersenyum ramah sambil membawa bucket bunga di tangannya."Eh, Nak Darren apa kabar," pekik Bu Prim saat melihat siapa yang ada di hadapannya."Sangat baik, Ibu sendiri bagaimana?"Bu Prim tersipu saat pria yang dipanggil Darren itu memanggilnya ibu. "Tentu saja baik.""Kau datang, kupikir kau masih di luar kota." Thea tidak menyangka kekasihnya itu akan datang, mengingat kemarin Darren masih ada di luar kota."Hm, aku baru sampai. Dari bandara aku langsung ke sini.""Kupikir kau masih marah padaku," gumam Thea. Darren tentu saja mendengarnya, tapi ia memilih berpura-pura tidak mendengar apa pun."Oh ya, ini untukmu." Darren memberikan bunganya pada Thea."Nak Darren manis sekali, terima kasih ya." Bu Prim mengapresiasi usaha Darren yang menurutnya sangat romantis."Bunga yang cantik," puji Thea setelah menerima bunganya. "Oh ya, aku tinggal kalian dulu di sini. Aku akan bergabung dengan yang lain, acaranya akan segera dimulai," pamit Thea pada mereka.Setelah Thea pergi, Darren berbincang-bincang sebentar dengan Bu Prim. Lalu mereka berpisah saat acara inti sudah dimulai. Di pertengahan, nama Thea dipanggil ke depan, wanita itu mendapatkan penghargaan sebagai desainer yang sukses di usia muda. Banyak orang yang takjub dengan pencapaian Thea. Begitupun dengan Darren, ia sesekali tersenyum melihat kekasihnya di depan sana."Kau tersenyum, tapi dari caramu meneguk minuman itu, kau tampak frustasi," kata orang yang baru saja duduk di sampingnya.Darren menoleh, ia meneguknya kembali sebelum berkata, "Kau gila, semua orang bersorak untuknya. Kenapa aku harus merasa frustasi.""Entahlah, mungkin ada sesuatu yang tidak kau sukai dibalik semua itu."Darren menyimpan gelasnya dengan kasar, ia menatap orang itu dengan serius. "Tahu apa kau!""Aku tidak tahu. Karena itu aku bertanya, apa ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?"Darren melihat ke arah Thea yang baru saja menyelesaikan pidatonya, tangannya mengepal kesal di atas meja bersamaan dengan riuh tepuk tangan semua orang. Seketika matanya terpejam saat ia ingat dengan apa yang sebenarnya terjadi ...."Dia akan pergi ke Paris ...." Darren berkata dengan suara lemah.Jonathan; orang yang sadari tadi duduk di sampingnya itu menaikkan satu alisnya. Ia adalah teman sekaligus sekertaris Darren yang tadi datang bersamanya."Apa masalahnya? Ayolah Darren, itu hanya Paris. Kekasihmu juga butuh liburan." Jon tidak bermaksud membela Thea, menurutnya Darren terlalu berlebihan jika frustasi hanya karena Thea akan pergi ke Paris.Darren meliriknya dengan kesal, ia kembali menuangkan alkohol di gelasnya lagi. Lalu meneguknya dengan sekali tegukkan. "Dia ke Paris bukan untuk liburan, tapi dia akan tinggal di sana selama beberapa bulan. Katanya dia diajak kerja sama oleh salah satu perusahaan di sana." Darren memperjelasnya."Maaf, aku tidak tahu. Jadi ..., kau keberatan jika dia pergi?" Jon bertanya dengan hati-hati."Bodoh!" Darren mendengus. "Tentu saja aku keberatan. Aku akan melamarnya, tapi dia malah ingin pergi ke Paris.""Jadi karena itu kemarin kalian bertengkar di telpon." Jon menganggu
Jika saja kepalanya tidak berdenyut-denyut, ingin sekali Zee bertanya, "Apa kita saling mengenal?" Sayangnya keadaan Zee sedang tidak ada tenaga untuk mengeluarkan suara. Atau mungkin sebenarnya Zee mengenalnya, tapi ia tidak mengingatnya. Entahlah, Zee tidak punya ingatan lain tentang pria itu. Keadaan Zee lebih parah dari Darren. Wajar saja, karena ia bukanlah seorang peminum, tapi malam ini ia sudah menghabiskan satu botol penuh hingga kesadarannya hampir dikuasai oleh alkohol sepenuhnya. "Kau baik-baik saja?" Darren bertanya dengan khawatir. Zee hanya melihatnya dengan kebingungan, ia tidak merasa kenal dengan Darren, tapi dari cara pria itu bertanya padanya sepertinya mereka memang saling mengenal. Tanpa menunggu jawaban dari Zee, Darren mendekati Zee dan membantunya untuk berdiri dengan benar. Meski Darren masih marah tapi melihat wanitanya seperti itu tentu ia merasa tidak tega. Darren merasa bersalah, ia berpikir jika itu adalah salahnya.Darren membuka kamarnya menggunak
Darren bukanlah pria brengsek yang suka melakukan hal-hal seperti ini, berpacaran dengan Thea selama hampir satu tahun lebih, ia hanya berani mencium-cium ringan sebagai tanda kasih sayang yang ia miliki. Mereka pun jarang berciuman mengingat keduanya sama-sama sibuk dengan karir masing-masing, jadi jika mereka bertemu paling hanya ada dinner atau sekedar makan siang bersama. Darren sangat memahami Thea, ia tidak pernah menuntut apa pun dari wanitanya. Hanya saja kejadian malam ini diluar kendalinya, ia tidak tahu apa yang begitu merasukinya hingga ia begitu menginginkan Thea. Mungkin karena Darren takut kehilangannya, atau mungkin ia belum pernah melihat wajah polosnya yang justru terlihat lebih cantik. Selama ini Darren ke mana saja, kenapa ia baru sadar jika Thea akan lebih menggoda jika sedang mabuk. Selain menghisap dan melumat, Darren bermain-main dengan lidahnya sesuai naluri yang ia punya, ia adalah pria dewasa yang tahu akan prosesnya.Zee menyambutnya dengan sukarela, rasa
"Aku bergerak sekarang ya." Itu bukan permintaan, karena setelahnya Darren mulai bergerak memaju mundurkan tubuhnya seolah mencari titik kenikmatan. "Ahh ...." Si wanita merintih, meski sejujurnya ada sesuatu yang membuatnya menggelinjang hebat saat benda itu menekan kuat bagian terdalamnya."Maaf sayang, aku sudah berusaha untuk pelan," ucap Darren disela pergerakannya.Zee pasti sudah gila karena ia merasa senang saat ada orang asing yang memanggilnya sayang. Kata itu seolah terdengar sangat tulus di telinganya, hingga membuat hatinya tersentuh. Apa mungkin itu karena alkohol terlalu kuat menguasai tubuhnya?Zee tidak tahu kenapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh, dibelai, dan dipuaskan. Yang pasti, ia sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya merespon cepat setiap kali Darren berhasil menyentuh titik kenikmatannya."Ahh ...." Zee membuka tutup matanya keenakan, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. "Panggil namaku," kata Darren dengan nada memerintah.Zee, wan
"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah. Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya. "A-aku ..., aku-" "Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain. "Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di
Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me
"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
Zee terbelalak melihat pesan yang baru saja muncul di ponselnya. Sejujurnya ia belum terbiasa dengan pesan Darren yang tiba-tiba, karena yang ia rasakan tetaplah orang asing meski sebelumnya mereka pernah menghabiskan malam panas.Gara-gara percakapannya dengan Thea waktu itu, Zee jadi sedikit ragu dalam bertindak. Ia tidak ingin kembarannya itu kembali menyalahkannya. Tapi jika ia tidak membalasnya apa itu tidak akan membuat Darren curiga.Dengan berat hati, Zee terpaksa membalasnya.'Jemput ke mana?' Dan tak butuh waktu lama Darren membalasnya dengan cepat . 'Tentu saja ke kantormu.' Zee membelalakkan matanya, kantor? Gawat, Darren tidak boleh sampai menyusul ke sana, bisa-bisa penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.'Hari ini aku tidak ke kantor, aku di Apartment.' Zee harap Darren tidak menanyakan alasannya karena demi apa pun ia tidak tahu harus beralasan seperti apa. 'Baiklah, aku akan mampir kalau begitu.'Zee bernafas lega. Ia merasa geli sendiri saat mengetikkan balas
'Thea, Darren melamarmu.' Zee menunggu balasan dari pesan yang ia kirimkan untuk kakaknya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Thea setelah tahu jika dia melewatkan hari spesialnya dengan Darren.'Kurasa Darren serius denganmu, jadi aku menerimanya. Berterima kasihlah padaku.' Zee terus mengirimkan pesan. Selama beberapa menit masih belum ada jawaban, sesekali Zee menelpon.'Balas pesanku, aku harus tahu bagaimana pendapatmu mengenai hal itu.'Masih tidak ada balasan. Telponnya juga masih tidak diangkat. Apakah Thea baik-baik saja di sana?'Thea, angkat telponku!'Beberapa kali Zee berdecak kesal, Thea tak kunjung mengangkat teleponnya. Seketika ia menatap ke sekeliling, ia baru menyadari jika barang-barang yang ia pakai milik Thea terasa sangat asing. Rasanya ia tidak memiliki kepercayaan diri sepenuh itu.Pantas saja Darren terlihat sangat mencintai Thea, mereka sangat cocok, serasi dan juga sederajat. Selain penampilan Thea yang trendy, kembarannya itu juga memiliki gelar yang bisa dib
Zee menoleh ke arah Darren hingga wajah mereka saling berhadapan dengan tangan Darren yang masih tersemat di pinggangnya."Darren-" Zee tak bisa melanjutkan ucapannya.Darren tersenyum lebar padanya. Tampan ... oh sial bisa-bisanya ia malah berfokus ke sana. Masalahnya bukan itu sekarang. Zee tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia bukan Thea, itulah masalahnya."Sayang." Satu tangan Darren menangkup pipinya.Zee tertegun dengan tatapan Darren yang mendamba ke arahnya. Jika Thea di sini, mungkin dia akan sangat bahagia mendengar orang sempurna seperti Darren melamarnya. Sayang sekali Thea tak bisa merasakan momen penting ini."Kurasa ini sudah waktunya." Darren memancarkan cinta yang sangat dalam dan tulus, seketika Zee merasa iri.Oh bukan, Zee bukan iri pada Thea tapi ia iri karena tak pernah ada seseorang yang menatapnya sedalam itu. Dan saat ini, saat seorang pria tampan dan lembut melakukannya, ia merasa tak keberatan. Tapi sayang, itu bukan karena dirinya, tapi karena Thea."
Apa jika Zee menolak permintaan Thea, rahasia ini akan terbongkar saat ini juga. Secara Thea akan kebingungan dengan malam yang dimaksud oleh Darren. Rasanya Zee sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini. "Tidak perlu malu begitu. Sekali lagi maaf ya." Darren bukan tipikal pria seenaknya, karena itu ia bahkan masih meminta maaf pada kekasihnya sendiri. Zee jadi merasa bersalah, apa tidak apa-apa jika ia berbohong tentang semuanya?Seketika pandangan Zee berubah kosong, haruskah ia sampai seperti ini mengelabui seseorang. Tapi ini bukan kehendaknya, jadi kenapa ia harus merasa bersalah sendiri. "Hei baby, why?" Darren panik karena Zee terdiam diam. "Thea?"Saat nama kembarannya disebut, Zee segera tersadar. Menyadari posisinya terlalu dekat, ia replect memundurkan tubuhnya ke belakang. Jika begini Zee bisa mati saat ini juga. Harusnya Thea memberitahunya jika Darren adalah orang yang seperti ini. Oh sial, entah berapa kali jantungnya hampir saja copot dari tempatnya.Darren menc
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me
"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah. Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya. "A-aku ..., aku-" "Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain. "Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di
"Aku bergerak sekarang ya." Itu bukan permintaan, karena setelahnya Darren mulai bergerak memaju mundurkan tubuhnya seolah mencari titik kenikmatan. "Ahh ...." Si wanita merintih, meski sejujurnya ada sesuatu yang membuatnya menggelinjang hebat saat benda itu menekan kuat bagian terdalamnya."Maaf sayang, aku sudah berusaha untuk pelan," ucap Darren disela pergerakannya.Zee pasti sudah gila karena ia merasa senang saat ada orang asing yang memanggilnya sayang. Kata itu seolah terdengar sangat tulus di telinganya, hingga membuat hatinya tersentuh. Apa mungkin itu karena alkohol terlalu kuat menguasai tubuhnya?Zee tidak tahu kenapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh, dibelai, dan dipuaskan. Yang pasti, ia sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya merespon cepat setiap kali Darren berhasil menyentuh titik kenikmatannya."Ahh ...." Zee membuka tutup matanya keenakan, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. "Panggil namaku," kata Darren dengan nada memerintah.Zee, wan