"Aku bergerak sekarang ya." Itu bukan permintaan, karena setelahnya Darren mulai bergerak memaju mundurkan tubuhnya seolah mencari titik kenikmatan. "Ahh ...." Si wanita merintih, meski sejujurnya ada sesuatu yang membuatnya menggelinjang hebat saat benda itu menekan kuat bagian terdalamnya."Maaf sayang, aku sudah berusaha untuk pelan," ucap Darren disela pergerakannya.Zee pasti sudah gila karena ia merasa senang saat ada orang asing yang memanggilnya sayang. Kata itu seolah terdengar sangat tulus di telinganya, hingga membuat hatinya tersentuh. Apa mungkin itu karena alkohol terlalu kuat menguasai tubuhnya?Zee tidak tahu kenapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh, dibelai, dan dipuaskan. Yang pasti, ia sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya merespon cepat setiap kali Darren berhasil menyentuh titik kenikmatannya."Ahh ...." Zee membuka tutup matanya keenakan, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. "Panggil namaku," kata Darren dengan nada memerintah.Zee, wan
"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah. Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya. "A-aku ..., aku-" "Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain. "Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di
Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me
"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
Apa jika Zee menolak permintaan Thea, rahasia ini akan terbongkar saat ini juga. Secara Thea akan kebingungan dengan malam yang dimaksud oleh Darren. Rasanya Zee sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini. "Tidak perlu malu begitu. Sekali lagi maaf ya." Darren bukan tipikal pria seenaknya, karena itu ia bahkan masih meminta maaf pada kekasihnya sendiri. Zee jadi merasa bersalah, apa tidak apa-apa jika ia berbohong tentang semuanya?Seketika pandangan Zee berubah kosong, haruskah ia sampai seperti ini mengelabui seseorang. Tapi ini bukan kehendaknya, jadi kenapa ia harus merasa bersalah sendiri. "Hei baby, why?" Darren panik karena Zee terdiam diam. "Thea?"Saat nama kembarannya disebut, Zee segera tersadar. Menyadari posisinya terlalu dekat, ia replect memundurkan tubuhnya ke belakang. Jika begini Zee bisa mati saat ini juga. Harusnya Thea memberitahunya jika Darren adalah orang yang seperti ini. Oh sial, entah berapa kali jantungnya hampir saja copot dari tempatnya.Darren menc
Zee menoleh ke arah Darren hingga wajah mereka saling berhadapan dengan tangan Darren yang masih tersemat di pinggangnya."Darren-" Zee tak bisa melanjutkan ucapannya.Darren tersenyum lebar padanya. Tampan ... oh sial bisa-bisanya ia malah berfokus ke sana. Masalahnya bukan itu sekarang. Zee tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia bukan Thea, itulah masalahnya."Sayang." Satu tangan Darren menangkup pipinya.Zee tertegun dengan tatapan Darren yang mendamba ke arahnya. Jika Thea di sini, mungkin dia akan sangat bahagia mendengar orang sempurna seperti Darren melamarnya. Sayang sekali Thea tak bisa merasakan momen penting ini."Kurasa ini sudah waktunya." Darren memancarkan cinta yang sangat dalam dan tulus, seketika Zee merasa iri.Oh bukan, Zee bukan iri pada Thea tapi ia iri karena tak pernah ada seseorang yang menatapnya sedalam itu. Dan saat ini, saat seorang pria tampan dan lembut melakukannya, ia merasa tak keberatan. Tapi sayang, itu bukan karena dirinya, tapi karena Thea."
'Thea, Darren melamarmu.' Zee menunggu balasan dari pesan yang ia kirimkan untuk kakaknya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Thea setelah tahu jika dia melewatkan hari spesialnya dengan Darren.'Kurasa Darren serius denganmu, jadi aku menerimanya. Berterima kasihlah padaku.' Zee terus mengirimkan pesan. Selama beberapa menit masih belum ada jawaban, sesekali Zee menelpon.'Balas pesanku, aku harus tahu bagaimana pendapatmu mengenai hal itu.'Masih tidak ada balasan. Telponnya juga masih tidak diangkat. Apakah Thea baik-baik saja di sana?'Thea, angkat telponku!'Beberapa kali Zee berdecak kesal, Thea tak kunjung mengangkat teleponnya. Seketika ia menatap ke sekeliling, ia baru menyadari jika barang-barang yang ia pakai milik Thea terasa sangat asing. Rasanya ia tidak memiliki kepercayaan diri sepenuh itu.Pantas saja Darren terlihat sangat mencintai Thea, mereka sangat cocok, serasi dan juga sederajat. Selain penampilan Thea yang trendy, kembarannya itu juga memiliki gelar yang bisa dib
Zee terbelalak melihat pesan yang baru saja muncul di ponselnya. Sejujurnya ia belum terbiasa dengan pesan Darren yang tiba-tiba, karena yang ia rasakan tetaplah orang asing meski sebelumnya mereka pernah menghabiskan malam panas.Gara-gara percakapannya dengan Thea waktu itu, Zee jadi sedikit ragu dalam bertindak. Ia tidak ingin kembarannya itu kembali menyalahkannya. Tapi jika ia tidak membalasnya apa itu tidak akan membuat Darren curiga.Dengan berat hati, Zee terpaksa membalasnya.'Jemput ke mana?' Dan tak butuh waktu lama Darren membalasnya dengan cepat . 'Tentu saja ke kantormu.' Zee membelalakkan matanya, kantor? Gawat, Darren tidak boleh sampai menyusul ke sana, bisa-bisa penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.'Hari ini aku tidak ke kantor, aku di Apartment.' Zee harap Darren tidak menanyakan alasannya karena demi apa pun ia tidak tahu harus beralasan seperti apa. 'Baiklah, aku akan mampir kalau begitu.'Zee bernafas lega. Ia merasa geli sendiri saat mengetikkan balas
'Thea, Darren melamarmu.' Zee menunggu balasan dari pesan yang ia kirimkan untuk kakaknya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Thea setelah tahu jika dia melewatkan hari spesialnya dengan Darren.'Kurasa Darren serius denganmu, jadi aku menerimanya. Berterima kasihlah padaku.' Zee terus mengirimkan pesan. Selama beberapa menit masih belum ada jawaban, sesekali Zee menelpon.'Balas pesanku, aku harus tahu bagaimana pendapatmu mengenai hal itu.'Masih tidak ada balasan. Telponnya juga masih tidak diangkat. Apakah Thea baik-baik saja di sana?'Thea, angkat telponku!'Beberapa kali Zee berdecak kesal, Thea tak kunjung mengangkat teleponnya. Seketika ia menatap ke sekeliling, ia baru menyadari jika barang-barang yang ia pakai milik Thea terasa sangat asing. Rasanya ia tidak memiliki kepercayaan diri sepenuh itu.Pantas saja Darren terlihat sangat mencintai Thea, mereka sangat cocok, serasi dan juga sederajat. Selain penampilan Thea yang trendy, kembarannya itu juga memiliki gelar yang bisa dib
Zee menoleh ke arah Darren hingga wajah mereka saling berhadapan dengan tangan Darren yang masih tersemat di pinggangnya."Darren-" Zee tak bisa melanjutkan ucapannya.Darren tersenyum lebar padanya. Tampan ... oh sial bisa-bisanya ia malah berfokus ke sana. Masalahnya bukan itu sekarang. Zee tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ia bukan Thea, itulah masalahnya."Sayang." Satu tangan Darren menangkup pipinya.Zee tertegun dengan tatapan Darren yang mendamba ke arahnya. Jika Thea di sini, mungkin dia akan sangat bahagia mendengar orang sempurna seperti Darren melamarnya. Sayang sekali Thea tak bisa merasakan momen penting ini."Kurasa ini sudah waktunya." Darren memancarkan cinta yang sangat dalam dan tulus, seketika Zee merasa iri.Oh bukan, Zee bukan iri pada Thea tapi ia iri karena tak pernah ada seseorang yang menatapnya sedalam itu. Dan saat ini, saat seorang pria tampan dan lembut melakukannya, ia merasa tak keberatan. Tapi sayang, itu bukan karena dirinya, tapi karena Thea."
Apa jika Zee menolak permintaan Thea, rahasia ini akan terbongkar saat ini juga. Secara Thea akan kebingungan dengan malam yang dimaksud oleh Darren. Rasanya Zee sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini. "Tidak perlu malu begitu. Sekali lagi maaf ya." Darren bukan tipikal pria seenaknya, karena itu ia bahkan masih meminta maaf pada kekasihnya sendiri. Zee jadi merasa bersalah, apa tidak apa-apa jika ia berbohong tentang semuanya?Seketika pandangan Zee berubah kosong, haruskah ia sampai seperti ini mengelabui seseorang. Tapi ini bukan kehendaknya, jadi kenapa ia harus merasa bersalah sendiri. "Hei baby, why?" Darren panik karena Zee terdiam diam. "Thea?"Saat nama kembarannya disebut, Zee segera tersadar. Menyadari posisinya terlalu dekat, ia replect memundurkan tubuhnya ke belakang. Jika begini Zee bisa mati saat ini juga. Harusnya Thea memberitahunya jika Darren adalah orang yang seperti ini. Oh sial, entah berapa kali jantungnya hampir saja copot dari tempatnya.Darren menc
"Awas, jangan sampai kau merepotkan dia. Kau harus sadar diri selama di sana." Bu Prim mengingatkan saat Zee berpamitan untuk tinggal dengan Thea. "Aku tahu." Zee tak banyak bicara, ia lebih memikirkan nasibnya saat ia menjalani kehidupan menjadi Thea nanti.Sedangkan Bu Prim tidak tahu tentang kebenarannya. Thea hanya mengatakan bahwa ia meminta ijin agar Zee tinggal sementara untuk membantu pekerjaannya. Tentu Bu Prim percaya. "Bu, aku pergi dulu ya. Oh ya, aku juga sudah mengirim uang ke rekening Ibu," kata Thea sebelum masuk ke dalam mobil.Bibir Bu Prim tersenyum lebar. Thea memang selalu mengerti keinginannya. "Jika dia menyusahkanmu, beri saja pelajaran."Thea mengangguk untuk menanggapi. Zee mendelik ke arah lain, percuma saja jika dirinya bicara itu hanya akan membuat ia sakit hati. Jadi ia memutuskan untuk masuk lebih dulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan lainnya.Thea tersenyum remeh ketika ia melihat Zee yang menyembunyikan wajahnya di jendela mobil. "Jangan diamb
"Apa-apaan itu!" Thea menatap ponselnya dengan pandangan kesal. D huarren baru saja menyuarakan pendapatnya lagi tentang Paris. Dan sudah pasti ia tidak akan bisa pergi. Karena itulah sekarang Thea berada di sini. Di depan sebuah Cafe untuk menunggu seseorang yang bisa membantunya agar keinginannya ke Paris tercapai."Thea ya?" tanya seseorang yang baru saja keluar dari Cafe."Hm, apa Zee sudah selesai?" Thea tentu saja mengenalnya, itu Jeff. Karena dulu saat jaman SMA ia sering melihatnya dengan Zee di sekolah."Mungkin sebentar lagi, tunggu saja di dalam." Jeff mempersilahkan Thea untuk masuk."Tidak perlu, aku tunggu di mobil saja," tolak Thea sambil berlalu dari sana.Jeff menatap Thea dengan helaan nafas. "Mereka sama, tapi sifatnya benar-benar berbeda," monolognya.Tak lama kemudian Zee keluar, ia menatap Jeff dengan heran karena bosnya itu masih ada si sana. "Kau masih di sini?""Tumben sekali kakakmu menjemput," tunjuk Jeff pada sebuah mobil yang terparkir di samping Cafenya.
Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me
"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah. Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya. "A-aku ..., aku-" "Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain. "Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di
"Aku bergerak sekarang ya." Itu bukan permintaan, karena setelahnya Darren mulai bergerak memaju mundurkan tubuhnya seolah mencari titik kenikmatan. "Ahh ...." Si wanita merintih, meski sejujurnya ada sesuatu yang membuatnya menggelinjang hebat saat benda itu menekan kuat bagian terdalamnya."Maaf sayang, aku sudah berusaha untuk pelan," ucap Darren disela pergerakannya.Zee pasti sudah gila karena ia merasa senang saat ada orang asing yang memanggilnya sayang. Kata itu seolah terdengar sangat tulus di telinganya, hingga membuat hatinya tersentuh. Apa mungkin itu karena alkohol terlalu kuat menguasai tubuhnya?Zee tidak tahu kenapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh, dibelai, dan dipuaskan. Yang pasti, ia sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya merespon cepat setiap kali Darren berhasil menyentuh titik kenikmatannya."Ahh ...." Zee membuka tutup matanya keenakan, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. "Panggil namaku," kata Darren dengan nada memerintah.Zee, wan