“Apa maksudmu, Lisa?” tanya Arum dengan alis mengernyit.
Ia sudah mengalihkan perhatian ke Lisa kali ini dan menyimpan ponselnya. Lisa tampak ketakutan dan menatap Arum dengan gugup.
“Tadi Tuan Danu menelepon dan bilang ingin bertemu Nona. Saya bilang kalau Nona di sini bertemu Bu Fatma dan beliau bersikeras ke sini juga,” terang Lisa.
Arum berdecak sambil menatap Lisa dengan sebal. Padahal Arum sengaja mengurangi pertemuannya dengan Danu. Bahkan ia sengaja mengalihkan panggilan Danu ke ponsel Lisa. Namun, pada akhirnya dia harus bertemu juga.
Belum sempat Arum berkomentar, tiba-tiba Danu sudah berdiri di samping mobilnya dan mengetuk jendela mobil Arum. Untung saja Arum masih mengenakan masker sehingga dia tidak perlu kebingungan kali ini. Perlahan Arum membuka kaca jendela dan melihat ke arah Danu.
“Bisa kita bicara sebentar?” pinta Danu.
Arum terdiam sejenak, menarik napas panjang. “Saya sibuk, Tu
“Kamu pasti salah dengar, Lisa,” ujar Arum.Lisa hanya diam sambil melihat Arum dengan sudut matanya. Padahal Lisa yakin dengan pendengarannya dan tidak salah sama sekali. Hanya saja kenapa kini Arum malah berkata seperti itu. Lisa memaklumi dan tidak mau bertanya lebih lanjut.Mobil mereka masih melaju membelah kepadatan lalu lintas siang ini. Sepanjang perjalanan Arum terus melamun. Entah mengapa ulah Danu belakangan ini berhasil mengintimidasinya. Padahal kalau mau jujur, Arum malas memikirkannya.Dua minggu waktu yang ditentukan oleh Danu tiba. Hari ini, hari penentuan pemilihan desain milik Arum atau Citra yang dipakai untuk proyek pertama PH milik Danu. Ada Firman, beserta anggota tim yang lain ditambah klien mereka sedang berada di ruang meeting.“Oke, kita mulai saja. Silakan kamu duluan yang presentasi, Citra,” ujar Danu membuka suara.Citra tersenyum lebar berdiri di depan sambil menyiapkan presentasinya. Tidak lup
“Jadi kamu masih membenciku, Arum?” tanya Danu.Arum tidak menjawab malah melengos dan pura-pura menyalakan laptop. Budi yang ada di ruangan itu tampak serba salah. Dengan hati-hati, dia berjalan menuju pintu dan keluar dari sana.“Kamu tidak menjawab pertanyaanku?” Danu kembali bertanya.Arum berdecak, mengangkat kepala sambil menatap Danu penuh kebencian.“CUKUP, Mas!! Berhenti bersikap manis padaku. Ini bukan kamu dan aku tidak suka!!!”Danu tercengang mendengar ucapan Arum. Mata pria itu membola dan semakin tajam menatap Arum. Perlahan ia berjalan mendekat dan berhenti di depan meja Arum.“Jadi kamu pikir aku pura-pura melakukannya, begitu? Kamu suka aku yang bagaimana, Arum?”Arum tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil menggeleng.“Kamu sedang menginginkan aku menjadi alatmu, kan? Itu sebabnya kamu bersikap manis padaku. Asal kamu tahu, aku gak mempan dengan tipu
“Ehm … Anda wangi sekali, Nona,” lirih Pak Sudibyo berbisik di telinga Arum.Arum mengerjapkan mata saat bibir pria itu menempel di telinganya. Ia berusaha sebisa mungkin mengembalikan kesadarannya. Sungguh, keadaan ini adalah hal yang paling ditakutkan Arum. Semua tubuhnya seakan tidak bisa digerakkan jika dia kembali teringat dengan kejadian memilukan sahabatnya itu.Kaki Arum seakan terpasung, lidahnya kelu tak bisa bersuara, bahkan untuk bernapas saja ia merasa tersenggal. Trauma itu benar-benar membuat Arum lemah. Perlahan Arum memejamkan mata sambil mengolah udara di dadanya. Kemudian dengan helaan napas berat, Arum mendorong tubuh Pak Sudibyo menjauh.Ia bangkit dari kursi lalu dengan gontai Arum berjalan menuju pintu. Pak Sudibyo yang didorong Arum dengan sepenuh tenaga terjungkal ke lantai dan butuh waktu untuk berdiri.“TUNGGU!! Tunggu Nona Anjani!!”Arum tidak mau dengar. Ia langsung berlari ke toilet, dala
“Apa yang terjadi?” gumam Arum.Ia sama sekali tidak ingat jika semalam bertemu Danu di depan toilet dan minta tolong padanya. Arum setengah sadar dan kehilangan konsentrasi jika traumanya datang. Hanya ketakutan, panik, cemas dan gelisah yang ia rasakan semalam.Arum spontan melihat tubuhnya di balik selimut. Ia langsung tercengang ketika melihat dirinya sudah berganti baju tidur.“Apa mungkin Mas Danu yang mengganti bajuku?” Arum bermonolog sambil mengetuk dagunya berulang.Belum habis semua tanya di benaknya, tiba-tiba Danu membuka mata dan langsung tersenyum saat melihat Arum sudah terjaga lebih dulu.“Nyenyak tidurnya semalam?” tanya Danu dengan suara serak khas bangun tidur.Arum terjingkat dan menoleh ke arah Danu. Alisnya mengernyit dengan mata yang menyipit melihat dengan sinis ke arah Danu. Ini mengingatkannya dengan kejadian lima tahun yang lalu. Dia selalu suka mendengar suara bangun tidur Danu
“Sampai kapan kamu marah terus?” tanya Danu.Arum dan Danu sedang duduk di depan meja makan. Ada beberapa menu makan pagi yang tersaji di sana. Satu jam yang lalu Budi datang mengantarkan baju ganti untuk Arum. Maunya Arum ingin langsung pulang, tapi dia juga bingung harus naik apa. Masalahnya dia meninggalkan mobilnya di kafe semalam. Arum yakin, Danu pasti akan bersikeras mengantarnya. Kalau sudah seperti itu, Danu akan tahu di mana tempatnya tinggal dan Arum tidak mau.“Mau aku pesankan yang lain untuk sarapan?” Kembali Danu bertanya.Arum tidak menjawab, tapi matanya sudah melirik ke pria di depannya. Pria tampan itu sudah berpakaian formal. Aroma parfum maskulin yang sama dengan lima tahun yang lalu menguar memenuhi tubuhnya.Kalau dipikir penampilan Danu memang tidak berubah hanya sikapnya yang berubah total dan Arum jadi kesal sendiri.“BUD!!!” Tiba-tiba Danu berseru memanggil asistennya yang berada di rua
“APA!!!? Kamu … kamu tidur dengan Arum?” tanya Nadia.Wanita berparas cantik itu sangat terkejut mendengar pernyataan Danu. Sementara Danu terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Ada Budi yang memperhatikan interaksi mereka berdua dan tampak serba salah. Perlahan tanpa suara, Budi berjalan keluar dari kabin apartemen.“Kamu bohong kan, Mas?” Kembali Nadia bertanya dan suaranya terdengar bergetar. Ia berharap Danu mengiyakan pertanyaannya. Namun, yang ada Danu malah menggelengkan kepala.“Enggak. Aku gak bohong. Semalam kami memang tidur bersama. Kamu pasti tahu apa yang dilakukan pria dan wanita jika tidur bersama.”Nadia melihat Danu dengan terluka dan Danu tampak tak peduli. Pria tampan itu sudah membalikkan badan dan berjalan menuju kamarnya. Sementara Nadia hanya bergeming di tempatnya. Matanya berkabut dengan bibir yang mengatup rapat. Wajahnya terlihat tegang penuh amarah tertahan.“Sialan kamu,
“Hei tunggu!!!” seru seseorang.Arum menoleh. Ia melihat seorang pria sedang berdiri tak jauh dari tempatnya berada sambil memegang ponsel di telinganya. Arum mengernyitkan alis memperhatikannya. Pria itu tampak melihat ke arah lain bukan ke arahnya. Bisa jadi, ia tadi berbincang di telepon bukan sedang memanggil Arum.Arum menghela napas lega sambil mengurut dadanya. Ia bersiap melanjutkan langkahnya menuju mobil. Namun, tiba-tiba ucapan pria itu membuat Arum berhenti melangkah.“Anda tenang saja, Nona Citra. Saya akan melakukan apa yang Anda minta.”Arum menoleh perlahan melihat pria yang sedang asyik menelepon membelakanginya itu. Untung saja penampilan Arum kini tersamarkan. Ia mengenakan masker dengan kacamata hitam dan long jaket yang menutup hampir seluruh tubuhnya.“Saya pastikan proyek itu gagal. Tugas saya hanya merusak wardrobe yang digunakan modelnya, kan?”Arum terperangah kaget dan melihat de
“Asam lambungnya tinggi. Itu yang menyebabkan dia pingsan,” ucap seorang dokter.Saat ini Danu sudah membawa Arum ke rumah sakit. Ia sangat khawatir saat melihat Arum pingsan tadi. Arum masih terlelap di atas brankar saat Danu berkonsultasi dengan sang Dokter.“Saya sudah menuliskan resep. Nanti kalau dia sudah siuman, boleh istirahat di rumah.” Dokter tersebut menambahkan kalimatnya. Danu hanya manggut-manggut mendengarkan.Beberapa saat kemudian, Arum membuka mata. Mengerjapkan netra bulatnya nan hitam pekat sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. Kemudian matanya berhenti pada sosok tampan yang sedang tersenyum duduk di sampingnya.Arum buru-buru membuang muka menghindari tatapan pria tampan yang tak lain Danu.“Sudah siuman?” tanya Danu.Arum berdecak sambil mencoba bangkit dari tidurnya. Danu ikut bangkit dan membantunya duduk meski Arum terus menepis tangannya.“Aku bisa sendiri, Mas.”“Iya, aku tahu.
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak