“Tuan memanggil saya?” tanya Budi pagi itu.
Danu mengangguk sambil menatap Budi dengan tajam.
“Apa sudah kamu ambil pesananku di Nona Anjani?” ucap Danu kemudian.
Budi mengangguk. “Sudah, Tuan. Ini!!”
Budi menyodorkan sebuah paper bag kecil berisi cincin pesanan Danu. Danu terdiam, membuka paper bag itu dan melihat isinya. Sebuah kotak terbuat dari kain bludru berwarna merah dikeluarkan Danu dari sana. Ia membuka isinya dan langsung tersenyum saat melihat ada sepasang cincin yang tersimpan rapi di dalamnya.
Perlahan Danu ambil salah satu dan mengamatinya kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Bagus sekali. Sama persis dengan gambar yang dikirim Nona Anjani padaku.”
Budi ikut tersenyum mendengarnya. Ia tidak tahu bagaimana bentuk gambar cincin aslinya, tapi dia ikut senang saat semuanya berjalan dengan baik.
“Saya sudah menyiapkan apa yang Anda inginkan, Tuan.&rdquo
“Syukurlah, Tuan. Saya senang mendengarnya,” sahut Budi.Danu tersenyum sambil menepuk bahu Budi berulang. Tak berapa lama mereka sudah terlihat sibuk bekerja lagi. Danu memang sudah membulatkan tekad akan melamar Arum kembali akhir pekan ini tak peduli apa pun reaksinya nanti.Akhir pekan tiba. Harusnya sabtu siang ini, Danu mempersiapkan dirinya untuk acara nanti malam. Namun, dia sangat terkejut dengan kedatangan Tuan Prada ke apartemennya.“Papa!! Kenapa tiba-tiba datang?” tanya Danu.Tuan Prada tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Aku masih papamu, Danu. Memangnya aku tidak boleh berkunjung ke tempat putranya.”Danu menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.“Bukan begitu, Pa. Hanya saja tumben banget Papa mau ke sini.”Tuan Prada menghela napas lagi sambil melipat tangan di depan dada.“Kamu juga pindah apartemen tidak bilang-bilang. Untung saja Papa
“Apa semua sudah selesai?” tanya Arum.Lisa mendekat berdiri di depan Arum sambil mengangguk.“Sudah, Nona. Sudah beres semua. Mari kita pulang!!”Arum tampak lesu, menganggukkan kepala dan siap meninggalkan lokasi perhelatan. Namun, sesaat Lisa melirik ke arah Arum.“Apa Anda ingin menelepon Tuan Danu, Nona?”Arum menghentikan langkah dan menoleh ke arah Lisa. “Menelepon untuk apa?”Lisa mengulum senyum. “Ya … siapa tahu Tuan Danu mau memundurkan ajakannya besok pagi saja. Bukankah besok juga masih akhir pekan?”Arum tidak menjawab hanya menghela napas panjang sambil berjalan lebih dulu meninggalkan Lisa. Lisa hanya diam sambil menatap Arum dengan kuluman senyum. Ia tahu apa yang dipikirkan bosnya saat ini. Pasti Arum juga ingin bertemu dan menerima ajakan Danu, hanya saja ego mereka lebih tinggi dari segalanya.Sementara itu Danu hanya berdiri diam di dekat pi
“Apa maksudmu, Mas?” akhirnya Arum bersuara setelah terdiam beberapa saat.Danu tersenyum menyeringai menatap Arum. Mereka masih berdiri di depan pintu dengan jarak cukup dekat.“Berhenti bohongi aku, Arum!! Aku tahu siapa kamu.”Arum membisu, matanya kembali membola menatap tajam ke arah Danu.“Atau aku harus memanggilmu, Nona Anjani Maheswari saja?”Arum menghela napas sambil memejamkan mata. Ia buru-buru menghindar dari tatapan Danu. Dadanya berdebar semakin cepat dan Arum sedikit gugup begitu mendengar ucapan Danu.“Jadi kamu mau meneruskan obrolan kita di depan pintu? Atau mengundangku masuk?”Arum berdecak, mendongak hingga matanya beradu dengan netra Danu. Kemudian perlahan Arum membuka pintu kabin apartemennya lebih lebar dan menyilakan Danu masuk.Mereka sudah duduk di ruang tamu dengan sedikit jarak kali ini. Arum hanya diam sambil memperhatikan Danu. Hal yang sama juga
“Mas … kamu ---” Arum tidak meneruskan kalimatnya hanya diam menatap Danu.Sementara Danu, tanpa menunggu jawaban dari Arum. Ia langsung memasangkan cincin di jari manis Arum. Tentu saja Arum tersentak kaget.“Aku belum menerimanya, kenapa kamu malah memasangkan cincinnya?” protes Arum.“Aku anggap jawabanmu tadi iya. Jadi aku pasangkan saja.”Danu sudah kembali duduk bersebelahan dengan Arum di sofa dan tersenyum sambil menatap Arum. Arum terlihat kesal.“Kamu memang gak berubah. Kamu penuh muslihat, tukang paksa dan ---”“Apa lagi? Kenapa gak diteruskan?” sahut Danu.Arum membisu, menundukkan kepala sambil menatap cincin yang sudah melingkar di jari manisnya. Itu adalah cincin hasil desainnya. Saat mendesain kemarin, Arum sangat suka apalagi Danu meminta yang sederhana tapi elegan.“Bukannya kamu memang memilih rujuk denganku untuk menyelamatkan statusmu
BRAK!!!Sebuah pintu apartemen terbuka lebar kemudian tampak Nadia masuk ke dalamnya. Seorang pria dengan rambut keriting dan tampang awut-awutan keluar dari dalam sambil mengucek mata.“Nadia!! Ngapain kamu ke sini?” ucap pria tersebut.Nadia tidak menjawab langsung duduk di sofa menghempaskan tubuhnya.“Aku mau memberimu pekerjaan. Sini!!” Nadia berkata sambil menepuk sofa di sampingnya.Pria berambut keriting itu terdiam sesaat sambil menatap Nadia dengan bingung. Namun, dia sudah berjalan mendekat dan duduk bersebelahan dengan Nadia.“Kerjaan apa?”Nadia menghela napas panjang sambil mengeluarkan ponselnya. Kemudian ia tampak menunjukkan sebuah foto.“Ikuti dia!! Cari tahu dengan siapa saja dia pergi dan ke mana!!” pinta Nadia.Pria berambut keriting itu melihat foto di ponsel Nadia dan terdiam sesaat.“Kamu ingin aku membuntuti Tuan Danu?”Nad
“Tu—tunggu!!” ujar Arum.Ia sudah mendorong tubuh Danu menjauh. Semalam saja Arum tidak bisa tidur gara-gara ulah Danu padanya dan kini pria tampan ini akan membuatnya melayang lagi. Danu mengulum senyum mengurai pelukannya dan memberi jarak.“Maaf … kamu pasti tidak suka keadaan ini.”Danu mengeser tubuhnya menjauh hingga memberi jarak dengan Arum. Sementara Arum hanya diam sambil menundukkan kepala. Dia sendiri tidak tahu, kenapa hanya dengan Danu, dia bisa bereaksi sedekat ini.Danu mengulum senyum melirik ke arah Arum. Kemudian tiba-tiba bangkit dari duduknya. Arum terkejut, mendongak menatap Danu.“Aku mandi dulu, biar bersih dan terbebas dari kuman. Setelah itu, aku ke sini lagi, ya?”Belum sempat Arum menjawab, Danu sudah berjalan menuju pintu dan berlalu pergi begitu saja.“Dasar orang aneh. Aku kan sama sekali gak bermaksud mengusirnya. Hanya saja ---”Arum t
“Mas, aku mau bertemu dengan Bu Fatma dan ini berhubungan dengan program pencarian bakat itu. Kamu tahu sendiri kalau Nadia juga ada di sana. Bagaimana kalau bertemu dia di sana?” tanya Arum.Danu menghela napas panjang sambil berjalan mendekat. Langkahnya terhenti setelah berdiri tak berjarak di depan Arum. Tangan Danu langsung merengkuh pinggul Arum dan Arum sama sekali tidak menolaknya. Tentu saja hal itu membuat Lisa terkejut.“Itu lebih baik, kan. Dia akan segera tahu tentang hubungan kita.”Arum melotot. Pasalnya bukan Nadia yang ia takutkan. Namun, selama ini semua orang tahu kalau Anjani Maheswari tidak punya hubungan dekat dengan Danu. Kalau tiba-tiba datang bersama pasti akan banyak pertanyaan yang bermunculan.Perlahan Danu mendekatkan wajahnya ke arah Arum dan bersiap mengecup bibirnya. Namun, Arum buru-buru menghindar bahkan mendorong tubuh Danu menjauh. Lisa yang ada di ruangan itu langsung mengangkat tangan dan menut
“Apa maksud Ibu?” tanya Nadia.Ternyata Nadia mendengar apa yang baru saja dikatakan Bu Fatma. Bu Fatma terdiam sambil menatap sinis ke arah Nadia. Wanita paruh baya itu menghela napas sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa, Nona. Permisi, saya mau pulang.”Tanpa menjawab pertanyaan Nadia, Bu Fatma sudah berlalu pergi. Nadia masih bergeming di tempatnya hingga tiba-tiba Bu Vita, asistennya datang menghampiri.“Mari kita pulang, Nona!!”Kali ini Nadia menurut, tapi ia masih sibuk memikirkan ucapan Bu Fatma tadi.“Bu, apa yang Anda ketahui tentang Nona Anjani, desainer baru yang naik daun itu?” Nadia tiba-tiba bertanya ke Bu vita.“Ehm … setahu saya, beliau sangat ramah dan baik, Nona. Karyanya juga bagus. Bukannya akhir pekan lalu beliau baru saja launching produk baru. Meskipun untuk kalangan terbatas, tapi banyak sekali peminatnya.”Nadia berdecak sambil m
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak