“Tu—tunggu!!” ujar Arum.
Ia sudah mendorong tubuh Danu menjauh. Semalam saja Arum tidak bisa tidur gara-gara ulah Danu padanya dan kini pria tampan ini akan membuatnya melayang lagi. Danu mengulum senyum mengurai pelukannya dan memberi jarak.
“Maaf … kamu pasti tidak suka keadaan ini.”
Danu mengeser tubuhnya menjauh hingga memberi jarak dengan Arum. Sementara Arum hanya diam sambil menundukkan kepala. Dia sendiri tidak tahu, kenapa hanya dengan Danu, dia bisa bereaksi sedekat ini.
Danu mengulum senyum melirik ke arah Arum. Kemudian tiba-tiba bangkit dari duduknya. Arum terkejut, mendongak menatap Danu.
“Aku mandi dulu, biar bersih dan terbebas dari kuman. Setelah itu, aku ke sini lagi, ya?”
Belum sempat Arum menjawab, Danu sudah berjalan menuju pintu dan berlalu pergi begitu saja.
“Dasar orang aneh. Aku kan sama sekali gak bermaksud mengusirnya. Hanya saja ---”
Arum t
“Mas, aku mau bertemu dengan Bu Fatma dan ini berhubungan dengan program pencarian bakat itu. Kamu tahu sendiri kalau Nadia juga ada di sana. Bagaimana kalau bertemu dia di sana?” tanya Arum.Danu menghela napas panjang sambil berjalan mendekat. Langkahnya terhenti setelah berdiri tak berjarak di depan Arum. Tangan Danu langsung merengkuh pinggul Arum dan Arum sama sekali tidak menolaknya. Tentu saja hal itu membuat Lisa terkejut.“Itu lebih baik, kan. Dia akan segera tahu tentang hubungan kita.”Arum melotot. Pasalnya bukan Nadia yang ia takutkan. Namun, selama ini semua orang tahu kalau Anjani Maheswari tidak punya hubungan dekat dengan Danu. Kalau tiba-tiba datang bersama pasti akan banyak pertanyaan yang bermunculan.Perlahan Danu mendekatkan wajahnya ke arah Arum dan bersiap mengecup bibirnya. Namun, Arum buru-buru menghindar bahkan mendorong tubuh Danu menjauh. Lisa yang ada di ruangan itu langsung mengangkat tangan dan menut
“Apa maksud Ibu?” tanya Nadia.Ternyata Nadia mendengar apa yang baru saja dikatakan Bu Fatma. Bu Fatma terdiam sambil menatap sinis ke arah Nadia. Wanita paruh baya itu menghela napas sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa, Nona. Permisi, saya mau pulang.”Tanpa menjawab pertanyaan Nadia, Bu Fatma sudah berlalu pergi. Nadia masih bergeming di tempatnya hingga tiba-tiba Bu Vita, asistennya datang menghampiri.“Mari kita pulang, Nona!!”Kali ini Nadia menurut, tapi ia masih sibuk memikirkan ucapan Bu Fatma tadi.“Bu, apa yang Anda ketahui tentang Nona Anjani, desainer baru yang naik daun itu?” Nadia tiba-tiba bertanya ke Bu vita.“Ehm … setahu saya, beliau sangat ramah dan baik, Nona. Karyanya juga bagus. Bukannya akhir pekan lalu beliau baru saja launching produk baru. Meskipun untuk kalangan terbatas, tapi banyak sekali peminatnya.”Nadia berdecak sambil m
“Ini semua foto yang kamu minta!!” ujar Seno.Selang tiga minggu, Seno menemui Nadia di apartemennya. Seno datang dengan membawa sebuah amplop besar berwarna coklat. Nadia menerima amplop besar itu dan melihat ada banyak foto di sana. Nadia melihat satu persatu foto sambil tersenyum masam.“Aku sudah mengikutinya selama tiga minggu dan memang benar Tuan Danu sudah pindah apartemen. Bahkan dia tinggal di apartemen yang sama dengan Nona Anjani, hanya beda lantai saja,” tambah Seno.Nadia terbelalak kaget.“Jadi Mas Danu tidak rujuk bersama mantan istrinya melainkan menjalin hubungan dengan Nona Anjani?”Seno menghela napas panjang dan mengangguk. “Ya, sepertinya begitu.”“Selama aku mengikutinya, aku tidak pernah melihat Tuan Danu menemui mantan istrinya. Dia lebih sering menghabiskan waktu bersama Nona Anjani. Bahkan sering datang ke pagelaran busana bersama beberapa kali.”Na
“Nona!! Apa Anda membaca berita pagi ini?” tanya Lisa.Pagi itu Lisa datang tergesa masuk ke ruangan Arum dan langsung bertanya seperti itu. Arum yang baru saja datang tampak terkejut dan menatap Lisa dengan bingung. Lisa berjalan mendekat kemudian mengeluarkan ponsel dan menunjukkan berita yang dimaksud.“Siapa sebenarnya Anjani Maheswari?” gumam Arum membaca berita tersebut.Lisa menghela napas panjang sambil menatap Arum. Arum terlihat tenang dan hanya mengulum senyum melihat reaksi Lisa.“Nona … kenapa Anda terlihat santai seperti itu? Anda tidak takut kalau ada yang mencari tahu tentang Anda?”Arum berdecak sambil mengendikkan bahu.“Kamu sudah membaca beritanya, belum? Aku yakin penulis berita itu sama sekali tidak tahu siapa aku. Jadi untuk apa aku bingung? Lagipula mereka tidak pernah melakukan konfirmasi atau wawancara denganku. Jadi aku anggap itu hanya berita isapan jempol saja. Bis
“Kamu gak menyangkalnya sama sekali, Mas. Jadi bener kamu pacaran?” tanya Nadia.Suaranya terdengar bergetar dan ada nada panik di sana. Danu hanya diam, menatap Nadia dengan tajam. Setelah cukup lama, akhirnya Danu bersuara.“Bukannya aku mengatakannya dengan jelas tadi. Aku memang dekat dengan Nona Anjani saat ini.”Nadia tampak marah, matanya menyalang dengan wajah tegang bahkan terdengar suara gemelatuk dari bibirnya.“Memangnya kamu tahu siapa dia? Dia itu orang aneh. Kemana-mana mengenakan masker, tidak mau bersentuhan dengan orang lain. Apa kamu tidak takut? Bagaimana kalau dia seorang teroris? Bagaimana kalau dia hanya memanfaatkanmu saja?”Danu mengulum senyum, mencondongkan tubuhnya ke arah Nadia.“Aku sangat mengenalnya, Nadia. Aku tahu siapa dia. Terserah orang bilang ia aneh atau apa, tapi bagiku dia tidak seperti itu. Lagian selama ini dia tidak menolak sentuhanku, kok.”&l
“Dokter Sandy,” seru Arum tertahan.Pria yang baru bersuara dan tertegun menatap Arum itu tak lain memang Dokter Sandy. Dokter Sandy sengaja mampir ke tempat Arum hanya ingin mengajak Arum makan malam. Dia tidak menduga malah menyaksikan interaksi intim Arum dan Danu.“Selamat malam, Dok. Kebetulan sekali bertemu di sini,” sapa Danu.Kali ini sengaja Danu berbicara sambil merangkul pinggul Arum. Ia seakan tidak ingin membiarkan Arum menjauh dari sisinya. Dokter Sandy melihat reaksi Arum. Alisnya mengernyit dengan kedua mata menyelidiki.“Tepat dugaanku, kamu memang sudah sembuh dari phobiamu, Arum. Aku senang melihat hasil terapiku berhasil.”Alih-alih merasa cemburu, Dokter Sandy malah tersenyum sambil berulang menganggukkan kepala melihat kedekatan Arum dan Danu kali ini. Terang saja Danu tidak senang mendengarnya. Ia menggeser tubuhnya mendekat kearah Arum hingga membuat tubuhnya bersentuhan dengan Arum.
Keesokan harinya Arum terlihat sibuk. Seharian dia sudah berkutak dengan pekerjaannya dan menjelang malam, Arum harus stand by untuk syuting program pencarian bakat. Sudah hampir dua bulan berselang program itu berlangsung dan tinggal beberapa minggu saja menuju akhir acara.Hari ini saat break syuting, Nadia mendatangi Arum yang sedang asyik memainkan ponselnya. Arum langsung menghentikan aktivitasnya dan mendongak menatap Nadia.“Ada apa, Nadia?” tanya Arum.Nadia menghela napas panjang sambil melipat tangan di depan dada.“Saya hanya mau tanya ada hubungan apa Anda dengan Mas Danu?” ujar Nadia to the point.Sebenarnya Arum tidak menduga kalau Nadia akan bertanya secara langsung seperti ini. Arum terdiam sesaat sambil menatap tajam ke arah Nadia.“Memangnya Anda berpikir bagaimana hubungan saya dengan Tuan Danu?” Arum tidak menjawab pertanyaan Nadia, malah balas bertanya.“Sudah jangan muter
“Apa?? Memangnya kenapa?” tanya Arum.Dia sangat penasaran, kenapa tiba-tiba ada permintaan aneh seperti ini. Gara-gara kesibukannya di luar negeri, Arum tidak mencari tahu apa yang sedang terjadi di sini.“Nona … saya mohon kali ini saja. Saya mohon maaf, ini memang menyangkut privasi Anda. Namun, acara ini taruhannya. Pihak sponsor mengancam akan menarik semua hadiahnya jika Anda tidak melakukannya.”Belum selesai Arum berbincang dengan Bu Fatma di telepon, tiba-tiba Lisa masuk tergesa ke ruangan Arum.“Bu, nanti saya telepon lagi. Saya akan memberi kabar secepatnya!!” Arum mengakhiri panggilannya dan kini menatap Lisa yang sedang berdiri di depannya.“Ada apa?”Lisa menarik napas panjang sambil menunjukkan tablet di tangannya. “Anda harus lihat ini, Nona?”Arum menerima tablet dari Lisa. Ia sudah melihat sebuah tayangan di channel medsos yang membahas dirinya. Bahka
“Tuan Burhan? Maksud Anda ayahnya Dokter Sandy?” tanya Arum.Tuan Simon mengangguk sambil tersenyum. Matanya tampak berkilatan saat Arum memberi jawaban yang memuaskan.“Iya, saya mengenalnya, Tuan. Dulu, saat masih tinggal di panti. Saya dan Anjani sering bermain ke rumahnya. Ibu Dokter Sandy tidak bisa punya anak lagi, makanya beliau senang saat ada anak panti bermain ke rumahnya. Itu juga sebabnya saya akrab dengan Dokter Sandy.”Kali ini Arum berkata sambil melihat Danu yang sedari tadi memperhatikannya. Sedangkan Tuan Simon hanya berulang menganggukkan kepala menatap Arum dengan seksama.“Apa kamu tahu keadaannya saat ini?” Kembali Tuan Simon mengajukan pertanyaan.“Setahu saya, Tuan Burhan sedang sakit. Sejak istrinya meninggal, kesehatannya menurun dan Dokter Sandy sengaja menempatkan beliau di rumah keluarga. Sayangnya, saya tidak pernah menjenguknya.”Tuan Simon hanya menganggukkan kepala sambil terus memperhatikan Arum.“Katamu, kamu sangat dekat dengan keluarga Dokter Sandy
“Apa maksudmu kamu berada di sana?” tanya Tuan Simon.Tuan Burhan tidak menjawab malah menunduk sambil menggelengkan kepala. Tidak hanya itu, tubuh Tuan Burhan kini tampak bergerak ke kanan dan kiri bergoyang-goyang. Tuan Simon hanya diam memperhatikan.“Tidak. Aku tidak akan bilang, nanti Sandy marah. Aku tidak mau jika Sandy marah. Aku takut kalau Sandy marah.”Kini malah Tuan Burhan tampak sedang bergumam sendiri. Entah mengapa ulahnya seperti anak kecil saja. Tuan Simon makin penasaran.“Apa yang menyebabkan Sandy marah? Apa Sandy tahu sesuatu juga?”Tuan Burhan tampak terkejut. Ia mengangkat kepala menatap Tuan Simon dengan senyum aneh kemudian menjentik hidung pria bermata sipit itu.“Kamu ingin tahu, ya? Kamu benar-benar ingin tahu, ya?”Tuan Simon berdecak. Ia menduga ada yang tidak beres dengan Tuan Burhan. Tuan Simon mengedarkan pandangan ke sekitar dan melihat bibi art sedang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk.Wanita paruh baya itu hanya mengangguk seakan sedang mem
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp