“Apa Tuan Danu teman Nona?” lanjut Lisa.
Arum hanya diam sambil melirik Lisa dengan sudut matanya. Lagi-lagi Arum ragu untuk menjawab, tapi ini sudah kepalang tanggung. Lisa sudah tahu siapa nama aslinya. Sudah saatnya juga Lisa tahu ada hubungan apa dia dengan Danu.
Arum terdiam sesaat, menundukkan kepala sambil menyugar rambut hitamnya. Lisa hanya diam mengamati menunggu dengan setia. Helaan napas keluar dengan panjang dari bibir Arum, kemudian Arum menoleh ke arah Lisa.
“Dia … maksudku Mas Danu itu mantan suamiku.”
Seketika mata Lisa terbelalak kaget mendengar penuturan Arum. Untuk beberapa saat Lisa terdiam, hanya mulutnya yang terbuka dan tertutup berulang seakan bingung harus berkomentar apa. Arum mengulum senyum melihat reaksinya.
“Sudah kuduga kamu pasti akan terkejut seperti ini, tapi itu kenyataannya. Aku dan Mas Danu pernah menikah lima tahun yang lalu. Kemudian karena ketidakcocokan kami berpisah. Ak
“APA!!!??” sentak Arum.Wanita cantik itu hanya diam menatap Danu yang sudah berhasil memeluknya. Untuk beberapa saat mereka terdiam saling pandang dengan posisi yang sangat dekat. Bahkan Arum bisa dengan mudah menghirup aroma maskulin parfum Danu seraya mendengar detak jantungnya yang lebih cepat dari biasanya.Danu tersenyum. Mata elangnya menatap sendu ke wanita cantik di depannya ini. Perlahan tangannya turun merengkuh pinggul Arum seraya merapatkan pelukannya. Ini adalah hal yang tidak pernah dia lakukan saat menikah dengan Arum lima tahun yang lalu. Tanpa disadari ada banyak rasa yang sedang bersemayam di hatinya membuat jantung Danu berdebar tak karuan.“Lepasin, Mas!!” Arum meronta dan mendorong tubuh Danu agar melepaskannya.Ini adalah situasi yang ia inginkan saat menikah dulu, bukan sekarang. Danu menurut, melonggarkan tangannya dan membuat Arum bergerak bebas. Tanpa berkata apa pun, Arum langsung berlalu mendahului Danu
“Aku rasa itu bukan urusanmu,” cetus Arum.Danu langsung tercengang mendapat jawaban dari Arum. Wajahnya yang sudah sedari tadi menahan amarah semakin terlihat kesal. Danu berjalan mendekat ke arah Arum. Arum sudah bersiap dengan apa pun yang dilakukan Danu.Namun, tiba-tiba Danu tersenyum lembut, tangannya terulur langsung menyentuh perut Arum. Arum sontak terkejut dan menatap Danu dengan bingung.“Aku hanya mengkhawatirkan keadaannya. Bagaimanapun sudah ada bagian diriku yang bersemayam di sana.”Arum melotot dan buru-buru menepis tangan Danu sambil berangsur mundur teratur.“Kamu jangan aneh-aneh, Mas. Nanti kalau terdengar karyawan yang lain, mereka pasti berpikir yang tidak-tidak.”Danu mengulum senyum melipat tangan di depan dada sambil melihat Arum dengan tatapan nakalnya. Arum hanya diam memperhatikan. Dulu, saat menikah lima tahun yang lalu, Arum tidak pernah melihat tatapan seperti ini dari Danu.
“Eng … enggak. Dia gak memanggilku Anjani. Kamu pasti salah dengar,” ujar Arum.Danu terdiam sambil menatap penuh selidik ke arah Arum. Arum membisu, entah mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar tak menentu dan tanpa diminta ia kesulitan untuk mengolah udara. Sementara Lisa sudah berdiri di depannya dan terkejut saat melihat Arum bersama Danu di sana.Arum mengerjapkan mata seakan memberi isyarat ke Lisa. Lisa tampak serba salah dan menjawab dengan isyarat yang sama juga.“Akh … maaf, ternyata Arum. Aku pikir yang datang tadi Nona Anjani.” Lisa buru-buru meralat panggilannya tadi.Arum hanya tersenyum meringis sambil menganggukkan kepala. Tatapan Danu kini beralih ke Lisa dan Lisa langsung tersenyum.“Selamat sore, Tuan.”“Sore. Jadi syuting program pencarian bakat itu hari ini?” Danu sudah mengalihkan topik pembicaraan.“Iya, betul sekali. Kali ini Nona Anjani sangat
“SIAL!! Kok malah direject, sih. Dia lupa dengan apa yang aku katakan tadi,” sungut Danu.Danu terlihat kesal saat tahu panggilannya ke Arum berulang kali ditolak. Padahal yang melakukan itu bukan Arum melainkan Lisa. Lisa kebingungan harus menjawab apa dan memilih menolak panggilan Danu kemudian mematikan ponsel Arum.Namun, pada akhirnya Danu yang sewot sendiri. Danu berjalan masuk ke lokasi syuting dan melihat ada Nadia sedang tersenyum ke arahnya. Nadia berpikir Danu sengaja datang ke sini untuk menemuinya.Danu berdecak kemudian memalingkan wajah dan kini memilih memperhatikan Arum yang berperan sebagai Anjani duduk selisih dua orang dari Nadia. Danu terdiam sesaat sambil mengawasi Anjani.“Kenapa mata Nona Anjani mirip dengan Arum?” gumam Danu.Ia masih melamun sendiri saat sebuah tepukan tiba-tiba singgah di bahu Danu. Danu menoleh dan melihat Bu Fatma sedang berdiri di sampingnya.“Bu Fatma. Maaf, saya t
“Tadi Tuan Danu menelepon Anda berulang kali, Nona,” ujar Lisa.Kini tinggal mereka berdua, Danu dan Bu Fatma sudah berlalu pergi. Arum hanya diam sambil menghela napas panjang.“Saya sengaja menolak kemudian mematikan ponselnya. Maafkan, saya. Saya benar-benar bingung, Nona.”Arum mengulum senyum sambil mengelus lembut bahu Lisa.“Iya, gak papa. Aku yang terima kasih karena sudah merepotkanmu.”Lisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Tidak, Nona. Ini sudah tugas saya. Jangan sungkan untuk minta bantuan saya lagi.”Selang beberapa saat, Arum sudah kembali melakukan syuting. Kali ini Nadia yang duduk tidak jauh darinya terlihat kesal. Bahkan setiap Arum memberi komentar untuk finalis, Nadia langsung menentangnya. Seakan ada dua kubu di atas panggung. Arum tidak mempedulikannya. Dia berusaha obyektif dan melakukan tugasnya sebaik mungkin.Beberapa jam kemudian syuting berakhir. Mereka
“Eng … maksud saya. Saya tidak tahu dia sudah datang atau belum. Anda tahu sendiri kalau saya tadi masih menemani Nona Anjani,” jelas Lisa.Ia sebisa mungkin memberi alasan agar tidak membuat Danu curiga. Lisa juga tidak tahu jika Danu pernah mengantar Arum ke apartemennya. Itu sebabnya Lisa sedikit bingung.Danu menghela napas panjang sambil menatap Lisa dengan kecewa.“Baik kalau begitu saya permisi pulang dulu. Padahal saya berharap bisa menemuinya tadi, tapi ini sudah terlalu malam untuk bertamu. Saya permisi.”Danu berpamitan dan gegas berlalu pergi. Lisa hanya diam mematung sambil menganggukkan kepalanya. Selang beberapa saat Lisa sudah berada di kabin apartemennya tampak sedang melakukan panggilan ke Arum.Namun, begitu lama Lisa menunggu masih belum ada jawaban dari Arum.“Sepertinya Nona Anjani sudah beristirahat. Aku ceritakan tentang hal ini besok pagi saja.”Lisa menguap lebar sam
“Nona Anjani hendak menga--Hmmffppft … .” Suara Lisa terhenti karena Arum sudah menutup mulut asistennya dengan tangan.Arum melotot ke arah Lisa sambil menggelengkan kepala seakan sedang memberi isyarat untuk menghentikan ulah Lisa. Lisa hanya mengerjapkan mata sambil menganggukkan kepala. Kemudian perlahan Lisa menunjukkan ponselnya ke arah Arum.Arum langsung terbelalak kaget saat melihat tidak ada panggilan yang sedang berlangsung di ponsel Lisa. Asistennya tadi sengaja mengerjai Arum dan sepertinya Arum sudah terpancing.“LISA!!! Kamu usil sekali. Pagi-pagi sudah menipuku!!!” omel Arum.Lisa tertawa kesenangan. Tadi ponselnya memang berbunyi karena alarm dan Lisa sengaja memasang nada alarm sama dengan nada dering panggilannya.“Maaf, Nona. Saya hanya tidak ingin melihat Anda tegang terus beberapa hari ini.”Arum akhirnya ikut tersenyum setelah mendengar penjelasan Lisa. Gara-gara banyaknya ker
“Sudah, jangan meracau!! Kamu tidak ingin kita datang terlambat, kan?” ucap Arum.Danu menghela napas panjang sambil menatap tajam ke arah Arum. Arum buru-buru melengos dan mengalihkan pandangannya dari Danu. Danu hanya diam dan memaklumi sikap Arum. Ia sudah membuka pintu mobil dan menyilakan Arum masuk.Sepanjang perjalanan mereka saling diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya saja berulang kali Danu mencuri pandang ke arah Arum. Sama seperti yang dilakukannya tadi.“Apa Nona Anjani sudah memberi tahu apa yang harus kamu lakukan?” Danu membuka pembicaraan.“Iya. Beliau sudah memberitahu,” jawab Arum datar. Ia menjawab tanpa menoleh ke arah Danu.Danu hanya diam sambil manggut-manggut. Kemudian melirik ke arah Arum lagi.“Kalau boleh tahu sejak kapan kamu bisa berpenampilan seperti ini? Apa Nona Anjani yang mengajarimu juga?”Arum berdecak, sebuah senyum masam tergambar jelas
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak