“Nona Anjani hendak menga--Hmmffppft … .” Suara Lisa terhenti karena Arum sudah menutup mulut asistennya dengan tangan.
Arum melotot ke arah Lisa sambil menggelengkan kepala seakan sedang memberi isyarat untuk menghentikan ulah Lisa. Lisa hanya mengerjapkan mata sambil menganggukkan kepala. Kemudian perlahan Lisa menunjukkan ponselnya ke arah Arum.
Arum langsung terbelalak kaget saat melihat tidak ada panggilan yang sedang berlangsung di ponsel Lisa. Asistennya tadi sengaja mengerjai Arum dan sepertinya Arum sudah terpancing.
“LISA!!! Kamu usil sekali. Pagi-pagi sudah menipuku!!!” omel Arum.
Lisa tertawa kesenangan. Tadi ponselnya memang berbunyi karena alarm dan Lisa sengaja memasang nada alarm sama dengan nada dering panggilannya.
“Maaf, Nona. Saya hanya tidak ingin melihat Anda tegang terus beberapa hari ini.”
Arum akhirnya ikut tersenyum setelah mendengar penjelasan Lisa. Gara-gara banyaknya ker
“Sudah, jangan meracau!! Kamu tidak ingin kita datang terlambat, kan?” ucap Arum.Danu menghela napas panjang sambil menatap tajam ke arah Arum. Arum buru-buru melengos dan mengalihkan pandangannya dari Danu. Danu hanya diam dan memaklumi sikap Arum. Ia sudah membuka pintu mobil dan menyilakan Arum masuk.Sepanjang perjalanan mereka saling diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya saja berulang kali Danu mencuri pandang ke arah Arum. Sama seperti yang dilakukannya tadi.“Apa Nona Anjani sudah memberi tahu apa yang harus kamu lakukan?” Danu membuka pembicaraan.“Iya. Beliau sudah memberitahu,” jawab Arum datar. Ia menjawab tanpa menoleh ke arah Danu.Danu hanya diam sambil manggut-manggut. Kemudian melirik ke arah Arum lagi.“Kalau boleh tahu sejak kapan kamu bisa berpenampilan seperti ini? Apa Nona Anjani yang mengajarimu juga?”Arum berdecak, sebuah senyum masam tergambar jelas
“WAH!!! Ternyata tepat dugaan saya. Kalian berdua sepasang kekasih rupanya,” sahut Bu Retno.Danu tersenyum cengengesan sedangkan Arum hanya diam sambil melirik sinis ke arah Danu. Sepertinya Danu tahu reaksi Arum. Ia buru-buru membuka suara kembali.“Belum, Bu. Namun, doakan segera ke arah sana.” Danu berkata sambil membalas tatapan Arum.Arum hanya diam dan pura-pura fokus dengan makanannya. Mereka kembali sibuk membicarakan bisnis lagi. Baru sekitar pukul setengah sepuluh, Arum dan Danu keluar dari restoran tersebut. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran.“Antar aku ke kantor lagi saja, Mas. Ada yang harus aku ambil,” pinta Arum.Danu hanya manggut-manggut sambil membukakan pintu mobil untuknya. Selang beberapa saat, mereka sudah tiba di kantor Arum. Arum bergegas membuka seat belt hendak turun. Namun, sesaat sebelum turun ia menoleh ke Danu.“Kamu bisa langsung pulang, Mas. Gak perlu menungg
“Eng … Nona Anjani membutuhkanku. Itu sebabnya aku ke sini,” jawab Arum.Danu mengernyitkan alis dengan tatapan mata elangnya nan tajam menghujam ke Arum. Arum buru-buru memalingkan wajah dan melihat pintu lift terbuka. Ia bergegas masuk ke dalam lift tanpa menunggu jawaban dari Danu. Tanpa diduga Danu malah ikut masuk ke dalam lift.Arum tercengang dan menatap Danu dengan bingung.“Kamu ngapain ikut masuk? Ini sudah malam, Mas. Kamu seharusnya pulang,” protes Arum. Namun, sepertinya hal itu diabaikan oleh Danu. Ia malah menekan tombol lift agar menutup pintunya.“Berapa lantai tempat Nona Anjani berada?”Arum berdecak, tapi tangannya sudah terulur menekan sebuah nomor di sana. Danu hanya diam sambil melipat tangan memperhatikan Arum.“Aku mau bertemu Nona Anjani dan mengatakan hasil pertemuan kita tadi.” Akhirnya Danu bersuara setelah terdiam beberapa saat.Arum menoleh ke
“Nona, kenapa Anda mencurigai saya?” sergah Lisa.Arum tidak menjawab hanya mengendikkan bahu dengan tatapan penuh curiga ke arah Lisa.“Aku tidak mencurigaimu. Aku hanya bertanya.”Lisa menghela napas panjang dan meletakkan kotak coklat di dekat Arum. Arum terdiam, melirik dengan air liur yang tertahan di mulutnya. Lisa hampir tertawa melihat reaksi bosnya, tapi dia pura-pura tidak melihat.“Saya tidak memberitahu tentang hal ini ke Tuan Danu. Mungkin beliau mencari tahu sendiri. Bukankah kalau orang jatuh cinta pasti akan melakukan apa saja untuk menyenangkan pujaan hatinya.”Arum langsung bergidik geli saat mendengar Lisa berkata seperti itu.“Jangan bilang kalau dia sedang jatuh cinta padaku, Lisa? Geli aku mendengarnya.”Lisa tersenyum lebar dengan mata mengerling genit. “Geli atau suka, Nona?”Arum melotot dan ulahnya dijawab tawa cekikikan Lisa. Tanpa menunggu j
“Nona Nadia, kita harus berangkat!!” seru seorang wanita paruh baya.Nadia terkejut dan urung melangkah masuk ke ruangan Danu. Hatinya sakit usai mendengar ucapan Danu tadi. Jika Nadia menanggapinya, ujung-ujungnya dia akan bad mood dan tentu saja ini berpengaruh pada aktivitasnya hari ini.Nadia menghela napas panjang sambil menyeka buliran bening yang siap luruh perlahan dari sudut matanya. Ia membalikkan badan dan berjalan lebih dulu. Di belakang, sang Asisten mengikuti sambil setengah berlari.Pukul enam sore, saat Danu meninggalkan kantornya. Danu sengaja mengemudi mobil sendiri kali ini menuju rumah mode Arum. Sebelumnya Danu sudah mengirim pesan ke Lisa agar menunda kepulangan Arum lebih awal. Sepertinya asisten Arum itu sengaja bekerja sama dengan Danu hari ini.“Lisa, aku mau pulang dulu, ya?”Arum sudah mematikan laptop dan sibuk merapikan pekerjaannya. Lisa bergegas masuk ke ruangan Arum sambil membawakan beberapa
“APA!!?” seru Arum.Ia sangat terkejut saat Danu tiba-tiba mengutarakan perasaannya. Ini adalah pernyataan yang ia tunggu sejak lama saat lima tahun lalu, saat mereka masih berstatus suami istri. Namun, saat Danu mengatakannya sekarang, Arum tidak tahu harus menjawab apa.Dengan gerak cepat, Arum langsung menarik tangannya dari cekalan Danu. Lalu tanpa pamit, dia bangkit dan berlalu pergi meninggalkan Danu.Danu hanya diam tertegun melihat punggung Arum yang menjauh. Memang film pendek itu sudah selesai diputar dan ini saatnya memberi sambutan. Itu sebabnya Danu tidak bisa meninggalkan studio bioskop itu begitu saja untuk mengejar Arum.“Pak, silakan maju ke depan!!” ujar Firman membuyarkan lamunannya.Danu tidak bersuara hanya menganggukkan kepala. Sementara itu mata Firman tampak beredar seakan sedang mencari seseorang. Danu melihat reaksi Firman.“Arum sedang ke toilet, Firman.” Danu kali ini terpaksa m
“HEH!!!” seru Arum.Ia terkejut setengah mati saat Danu berkata seperti itu. Belum habis rasa terkejutnya atas pernyataan Danu tadi, kini ditambah dengan sikap konyol Danu. Arum tercenung sambil menatap Danu dengan bingung. Ia merasa baru tahu sisi lain Danu. Sisi lain pria yang pernah menjadi suaminya yang tidak pernah dia tahu sebelumnya.“Kok malah bengong. Buruan!!!” Danu menginterupsi lamunan Arum.Arum menggelengkan kepala menatap Danu dengan tajam kemudian tanpa pikir panjang langsung melayangkan tangannya dan mencubit pipi Danu dengan keras.“Awww … sakit, Arum!!!” Danu bersuara sambil mengelus pipinya.Arum terkekeh melihat Danu kesakitan. Entah mengapa dia merasa senang kali ini. Ada rasa dan suasana baru yang ia temukan. Sangat berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Pria dingin dan pendiam itu sudah hilang berganti pria konyol yang penuh kejutan.Mereka masih tertawa untuk beberapa saat
“Bud, bisa minta tolong pesankan tempat di resto langgananku yang di puncak untuk akhir pekan!!” pinta Danu.Pagi itu begitu tiba di kantor, Danu langsung memanggil Budi ke ruangannya. Budi hanya manggut-manggut sambil sibuk mencatat.“Untuk berapa orang, Tuan? Lalu jam berapa reservasinya?”Danu terdiam sejenak, tampak mengetukkan jari ke dagu sambil mengulum senyum.“Tentu hanya untuk dua orang, Bud. Kalau bisa sore menjelang malam saja. Aku ingin menikmati sunset di sana. Pilih view yang bagus, ya!!”Budi menganggukkan kepala sambil mengulum senyum. Danu melihat reaksi asistennya kemudian menoleh ke arah Budi.“Kenapa kamu tersenyum? Kamu tahu aku akan mengajak siapa?”Budi kini menggelengkan kepala. “Tidak, Tuan. Saya … saya hanya menebak saja.”“Lantas siapa tebakanmu?”Budi terdiam sesaat sambil mendongakkan kepala. “Apa Nyonya Aru
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak