Masih teringat jelas dalam ingatan Yolla bagaimana cara Clerin memberinya peringatan malam itu. Meskipun secara halus dan jauh dari kekerasan, tetap saja sangat membuat dirinya tersinggung setengah mati.
Untung saja saat itu kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah. “Memangnya ada hubungan khusus antara Callisto sama bosnya?” tanya Sisty ingin tahu. “Semacam balas budi,” jawab Yolla datar. “Tapi jelas kalau dia nggak punya istri ....” “Nah, terus ngapain kamu harus pusing-pusing?” tanya Sisty lagi. “Selama Callisto masih sendiri, siapapun bebas mendapatkannya. Termasuk kamu.” Yolla terdiam, bingung harus menjawab apa. Membicarakan Callisto membuat otaknya mendadak tidak bisa berpikir dengan jernih. Setelah mengakhiri percakapannya dengan Sisty, Yolla menghabiskan makan siangnya sampai licin tak bersisa. Setelah itu dia kembali ke kantor untuk memeriksa beberapa dokumen yang tadi d“Siapa?” ulang Yolla dengan nada angkuh, dia tahu kalau Callisto mulai merasa tersudut. “Tidak ada,” jawab Callisto enggan. “tapi masalahnya ponsel saya kemungkinan baru saja dibajak orang.” “Pintar sekali Anda bicara,” komentar Yolla sembari melipat kedua tangannya di dada. “Setelah tadi Anda mengatai saya sombong, sekarang mendadak bilang kalau ponsel Anda dibajak orang ....” “Silakan periksa sendiri,’ suruh Callisto datar sembari mengulurkan kedua ponsel itu ke tangan Yolla. “Jangan harap kalau saya akan percaya ...” Yolla berkata sembari memandang kedua ponsel bergantian dengan kening berkerut. Terlihat olehnya ada perbedaan tampilan pesan di ponsel Callisto dan ponsel miliknya. “Anda pasti sengaja menghapus pesan-pesan saya kan?:” tuduh Yolla sambil mengembalikan ponsel Callisto. “Tapi terlambat, saya tahu kalau Anda sudah membacanya tapi sengaja tidak mau membalas satupun pesan i
Clerin memandang Callisto tanpa ekspresi, tapi gestur tubuhnya kelihatan begitu tenang meskipun pria itu menatapnya begitu tajam dari garis matanya. “Maaf, kamu ini bicara apa?” tanya Clerin dengan nada biasa. “Kamu jangan pura-pura, Bu Clerin. Apa yang kamu lakukan dengan ponsel saya saat saya menggendong Vhea di luar?” tanya Callisto menyelidik. “Saya minta kamu jujur sama saya.” Clerin tidak ingin ambil pusing, sehingga dia tetap mempertahankan sikap anggunnya di hadapan Callisto yang tidak sabar menunggu jawabannya. ‘Saya minta maaf kalau ponsel kamu rusak gara-gara saya,” ucap Clerin, nadanya yang halus seharusnya bisa membuat hati yang sekeras baja seketika mencair. “Apa maksud kamu?” tanya Callisto tajam, dia tidak peduli meskipun sikapnya terhadap sang bos dinilai tidak sopan. “Ponsel kamu sempat berbunyi, jadi saya mengambilnya dan bermaksud untuk menyerahkannya sama kamu.” Clerin mengarang alasan yang pertama terl
“Saya pikir ucapan saya dulu bisa membuat Anda mengerti betapa pentingnya dia bagi putri saya.” Sebelum Yolla sempat menanggapi, Clerin kembali melanjutkan kata-katanya. “Saya tidak bermaksud ikut campur dalam urusan Anda dan Callisto sebenarnya,” ujar Clerin sembari memandang Yolla lurus-lurus. “Tapi demi kebahagiaan putri saya, saya terpaksa harus mengatakannya lagi kepada Anda.” Yolla mengernyit saat mendengar ucapan Clerin. “Maaf, izinkan saya bicara.” Dia menyela. “Kenapa Anda kelihatannya semakin merasa kalau saya akan menjadi pengganggu di antara putri Anda dan Callisto?” Clerin diam saja. “Apa selama ini saya menghambat Callisto berinteraksi sama putri Anda?” kejar Yolla lagi. “Padahal saya sejujurnya tidak tahu menahu soal seberapa dekatnya hubungan di antara kalian bertiga.” Clerin mengembangkan senyumnya dengan begitu anggun meskipun
“Saya ingin terus bersama Anda kalau itu mungkin,” ucap Callisto sembari memandang Yolla lekat-lekat.“Anda ...” Yolla jusru terpaku dengan ucapan Calliso barusan. “Apa Anda masih mengharapkan suami Anda kembali?” tanya Callisto lambat-lambat. “Kalau iya, saya akan ....” “Bukan begitu juga,” geleng Yolla. “Sudah kira-kira dua tahun yang lalu dia menghilang dan sampai sekarang tidak ada kabarnya sama sekali. “Papa saya bahkan sudah setuju kalau saya mencari pendamping lain.” Callisto mendengarkan ucapan Yolla dengan sangat tenang. “Lalu apakah sebaiknya kita ....” “Jangan terburu-buru,” geleng Yolla. “Saya minta Anda selesaikan dulu urusan Anda dengan Bu Clerin, saya tidak kalau saya dianggap sebagai pengganggu di antara hubungan kalian.” “Saya dan Bu Clerin tidak ada hubungan apa-apa selain utang budi,” sahut Callisto menegaskan. “dan anaknya telanjur menganggap saya sebagai papanya.” “Soal Vhea, saya ti
Pria itu terdiam sebentar sambil berpikir. “Shano,” katanya setelah beberapa saat berlalu.“Shano?” ulang Clerin sambil mengernyitkan dahi. “Nama macam apa itu?” “Setidaknya bukan nama mendiang suami kamu,” ujar Callisto sambil bersiap pergi. “Tolong kamu ingat hal ini.” Clerin sebenarnya bisa saja marah, tapi dia masih berusaha keras mempertahankan keanggunan sikapnya atau kemarahan hanya akan membuat Callisto berjalan semakin jauh darinya. “Bu Yolla ternyata sudah mempengaruhi kamu sampai seperti ini,” komentar Clerin saat Callisto berjalan beberapa langkah darinya. “Soal Bu Yolla ...” Callisto menoleh. “Tolong kamu jangan ganggu dia, atau hubungan kita akan jadi memburuk. Dan saya yakin kamu tidak ingin hal itu terjadi kan?” Clerin tidak bisa bersabar lebih dari ini, dia segera menyusul Callisto hingga tiba di hadapannya. “Kamu kenapa jadi berubah drastis seperti ini?” tanya Clerin dengan suara anggun
Sementara Callisto terus memandang Yolla dan menunggu jawabannya. "Tidak, saya rasa kita sudah tidak pantas untuk ... pacaran." Yolla tersenyum tidak enak. "Tapi ... apa Anda serius? Bu Clerin pasti akan tidak setuju ...." "Saya sama Bu Clerin tidak ada hubungan apa-apa selain utang jasa," sahut Callisto. "Dia cuma meminta saya jadi papa pura-puranya Vhea, dan itu masih bisa saya lakukan meskipun saya sudah menikah nantinya." Yolla terdiam lagi. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana dia menyaksikan sendiri cara Clerin memandangnya saat membicarakan soal Callisto. Ada sedikit nada posesif dalam setiap pilihan diksinya. "Anda ... masih ragu?" tanya Callisto tanpa basa-basi. "Oke, mungkin Anda bisa menyelesaikan masalah Bu Clerin. Tapi... soal papa saya, saya harus membicarakannya dulu..." Yolla beralasan. "Masalahnya adalah Anda sangat mirip dengan mantan suami saya yang hilang itu." "M
"Mita, ada telepon penting buat saya nggak?" tanya Yolla saat melewati meja sekretarisnya. "Pak Keva menanyakan stok yang Ibu janjikan mau kirim hari ini," jawab Mita memberi tahu. "Selain itu?" tanya Yolla lagi. "Belum ada Bu," jawab Mita sambil menggelengkan kepala. Yolla melenggang pergi sembari memegangi perutnya yang semakin melilit. Callisto memandang dirinya sendiri di cermin besar yang ada di kamarnya, sejauh ini dia belum juga bisa mengingat siapa sebenarnya pantulan wajah yang balik memandangnya itu. Namun, Callisto tidak peduli. Dia sendiri tidak mengerti apa yang ada dalam diri Yolla hingga dirinya yakin dan memutuskan untuk menikahinya dalam waktu dekat. Cinta? Callisto tidak tahu, yang pasti dia merasakan sesuatu yang tidak bisa dia rasakan saat bersama dengan Clerin. Saat merenung itulah, ponsel Callisto mendadak berdering nyaring dan men
Baik Yolla maupun Sisty sama-sama memekik karena terkejut. “Woy, gila ya tuh orang!” maki Yolla kesal. “Bisa bawa mobil nggak sih?” Sisty mengusap-usap dadanya yang berdebar kencang. “Udah Yol, udah ...” katanya lemas. “... yang penting kita nggak apa-apa ....” “Ya untung aja kita nggak apa-apa,” sahut Yolla gusar. “Aku bakalan tuntut dia kalau kita sampai kenapa-napa.” Sisty menyandarkan kepalanya karena masih shock dengan kejadian tadi. “Memangnya kamu kenal siapa pengemudi mobil yang menyerempet kita tadi?” tanya Sisty ingin tahu. “Enggak sih,” sahut Yolla sembari membelokkan kemudinya ke arah salon Sisty. “tapi kan ada kamera pengawas di beberapa titik.” Sisty diam saja sambil memijat pelipisnya hingga mobil Yolla menepi tepat di depan salon. “Yol, apa nggak sebaiknya kamu hubungi Callisto untuk mengawal kamu pulang?” tanya Sisty sebelum dia turun dari mobil Yolla. “Nggak perlu, sebentar lagi juga sampai rumah.” Yolla menggelengkan kepala. “Lagian malulah kalau
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it