“Mangkal?” potong Yolla galak sambil berkacak pinggang. “Kalau Anda cuma mau cari ribut sama saya, mendingan Anda segera pergi dari sini!”Callisto kembali tidak menggubris Yolla dan malah berjalan memutari mobilnya dengan saksama. Yolla terus berkacak pinggang sementara Callisto memeriksa satu per satu ban mobilnya.“Sudah deh, kalau Anda tidak paham mobil ... Anda tidak perlu sok baik di depan saya seperti ini,” kata Yolla pedas.Callisto mendongak.“Apa seperti ini sikap seorang putri milyuner yang terkenal itu, Pak Shanendra?” komentarnya dingin, kemudian dia mengalihkan wajahnya lagi.Yolla terperanjat ketika Callisto menyebut nama belakang ayahnya.“Apa maksudnya ... terkenal?” tanya Yolla tidak mengerti.“Maksud saya Pak Shanendra yang terkenal,” ralat Callisto tanpa menoleh. “Bukan Anda.”Yolla mendengus, dia tidak berharap bahwa Callisto akan menanggapi pertanyaannya dengan serius.“D
“Tidak perlu,” sahut Yolla ketus. “Terima kasih atas bantuan Anda.” Callisto memandang Yolla dengan ekspresi yang tidak terbaca. “Saya akan ganti seluruh biaya servisnya kalau mobil saya sudah diantar ke kantor,” kata Yolla lagi. “Sekarang silakan Anda pergi dari sini.” “Hari sudah mau gelap,” ujar Callisto. “Anda mau pulang pakai apa?” Yolla balas memandang Callisto dengan gerah. “Anda ini ... selalu mau tahu urusan orang!” hujatnya. “Pergi saja sana!” Callisto menajamkan matanya begitu Yolla mengusirnya dengan terang-terangan, setelah itu dia berbalik pergi menuju mobilnya sendiri. Yolla mencebikkan bibirnya ketika mobil sport warna putih bersih milik Callisto melaju meninggalkannya sendirian di tepi jalan. “Dasar nggak bertanggung jawab!” gerutu Yolla kesal sembari memandang bagian belakang mobil Callisto yang menjauh. “Dipaksa kek gimana caranya biar aku mau ikut! Pria macam apa dia, nggak peka sama sekali ....” Yolla sudah tidak dapat berpikir jernih lagi, meskip
Yolla cepat-cepat mengambil alih telepon dari ruangannya.“Pak Callisto, tolong mobil saya di antar ke salon kemarin saja!” pinta Yolla.Yolla berjalan mondar-mandir di ruangannya. Dia sudah berusaha keras meminta Callisto untuk mengantar mobilnya ke salon Sisty saja, tetapi dari suaranya pria itu tetap ngotot ingin mampir ke kantor.“Bisa gawat kalau papa bertemu sama Callisto,” gumam Yolla dengan wajah gelisah. “Apalagi kalau bertemu Ifan ... Callisto kan mirip banget sama Byanz.”Yolla cepat-cepat meraih gagang telepon dan menghubungi Callisto kembali, dia harus mencegah pria itu datang ke kantornya dengan cara apa pun.“Halo?” Suara datar Callisto menyambut ketika hubungan berhasil tersambung.“Pak Callisto, tolong jangan ke kantor saya!” pinta Yolla sungguh-sungguh. “Atau begini saja, biar saya ambil sendiri mobilnya. Anda tinggal bilang di mana alamat bengkelnya ....”“Kenapa begitu?” tanya Callisto dengan suara ya
Kini Yolla sudah tidak tahan lagi, segera didorongnya Callisto ke belakang dengan kasar. “Saya ditabrak orang, memangnya mata Anda ke mana?” sewotnya dengan emosi tinggi sampai ke ubun-ubun. Sebelum keributan semakin meluas dan menjadikannya bahan tontonan, Callisto buru-buru menarik tangan Yolla ke salah satu meja yang kosong. “Duduk,” suruhnya tegas, tapi Yolla tetap bergeming. “Siapa Anda, berani ngatur-ngatur saya?” tantang Yolla, dia tak gentar sedikitpun dengan tatapan tajam yang dilayangkan Callisto kepadanya. “Jangan bersikap seperti orang yang tidak berpendidikan,” kata Callisto sembari melepas tangan Yolla. “Kalau Anda tidak mau duduk, terserah. Berdiri saja terus sampai urusan kita selesai.” Yolla mengertakkan giginya, ini tidaklah berjalan sesuai harapannya. Dia pikir Callisto akan membujuknya sampai hatinya luluh dan mengalah, tapi ternyata tidak demikian. Pria
Clerin tercekat.“Sampai kapan saya harus berpura-pura menjadi ayah Vhea?” tanya Callisto. “Untuk sekadar memberinya perhatian, saya tidak keberatan. Tapi ini sudah terlalu jauh, Bu Clerin. Kalau ternyata ... saya ini sudah beristri, bagaimana?” Clerin diam sejenak sembari memikirkan kata-kata yang pas untuk mematahkan opini Callisto tentang masa lalunya. “Kalau kamu memang punya keluarga, atau istri, mereka pasti akan mencari kamu ke semua pelosok tempat.” Dia menarik napas. “Tapi sejak saya menemukan kamu sampai sekarang, saya belum mendengar berita tentang orang yang mencari anggota keluarganya yang hilang.” Kali ini giliran Callisto yang terdiam, kekerasan hatinya selalu bisa dilemahkan oleh fakta menyakitkan ini. Tentang dirinya yang seakan tidak diharapkan untuk kembali pulang oleh keluarga aslinya. “Saya mau mengajukan cuti setidaknya satu minggu,” pinta Callisto setelah terdiam selama be
“Cocok sekali,” komentar Yolla angkuh. “berenang sambil mancing kerusuhan.” Sisty nyengir tanpa suara ke arah sahabatnya. Sementara itu Yolla memandang Callisto dengan tatapan curiga. “Anda ini selalu mengikuti saya ke mana-mana, ya?” komentar Yolla penuh percaya diri. Callisto balas menatapnya datar. “Saya tidak punya waktu untuk hal-hal yang tidak penting semacam itu,” katanya tenang. “Jangankan membuntuti orang, memikirkannya saja saya tidak sempat.” Sisty bahkan sampai melongo saat mendengar perdebatan kecil di antara mereka. “Sombong amat,” desis Yolla. “Tidak lebih sombong dibandingkan yang bicara,” balas Callisto. “Eh, udah! Ayo, ketinggalan teman-teman nanti!” Sisty menengahi pertikaian kecil itu. “Yol, ayo!” Yolla melempar prandangan galak ke arah Callisto, kemudian
Di tempat lainnya, Yolla hampir saja membanting ponsel yang dipegangnya ke tanah. Belum juga sempat terbanting, ponselnya sudah berdering nyaring kembali.“Halo, Yol?” Suara Sisty langsung terdengar ketika Yolla menjawab panggilannya. “Gimana, kamu bisa nyusul aku, kan?” “Nggak tahu Sis,” jawab Yolla. “Si Callisto itu biang masalahnya, dia salah ambil koper aku ....” “Ya terus gimana dong Yol?” tanya Sisty dengan nada tidak bersemangat. “Kamu masih lama? Ini kita sebentar lagi pesawatnya.” “Nggak apa-apa, kamu sama yang lain berangkat aja tanpa aku.” Yolla mencoba mengikhlaskan. “Ini si Callisto malah seenaknya nutup telepon aku.” “Apa aku suruh pesawatnya buat ngetem sebentar lagi ya, Yol?” tanya Sisty, mencoba memberikan solusi. “Ngawur kamu, memangnya angkot? Udah deh Sis, kamu sama yang lain senang-senang aja.” Yolla menarik napas. “Palingan aku nitip oleh-oleh kayak biasa.” “Ya udahlah, terus urusan kamu sama
Mendengar jawaban jujur dari sopir taksi yang mereka perebutkan, Yolla dan Callisto sontak terpaku. Hingga Yolla dan Callisto mencapai kesepakatan tak tertulis untuk mengakhiri sengketa mereka. “Jadi, Anda berdua mau ke mana?” tanya sopir taksi itu ramah. “biar saya antar secara bergiliran.” Yolla melirik ke arah Callisto yang duduk sambil melipat kedua tangannya di dada. “Ladies first,” ucap Callisto tanpa menoleh. Di saat pria itu mempersilakannya, Yolla justru kebingungan mau pergi ke mana. Tidak mungkin kan dia pulang ke rumah seawal ini? Apalagi izin dari Sony sudah susah payah dia dapatkan. “Ke rumah sakit saja, Pak.” Yolla menyebutkan tempat tujuannya, sementara Callisto diam dengan wajah heran. “Sudah saya duga,” komentarnya setelah terdiam selama beberapa saat. “kalau ternyata Anda memang sakit.” Yolla menoleh dengan garang. “Saya tidak sakit ....” “Sakit pikirannya,” poton
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it