“Namanya juga orang susah Babyanz itu,” komentar Yolla sambil tertawa, pandangan matanya terarah ke seberang jalan dan dia terkesiap kaget.
“Kenapa kamu, Yol?” tanya Sisty sambil memperhatikan raut wajah Yolla. “Kok kayak habis melihat hantu?”Yolla terdiam, matanya tanpa berkedip mengawasai seberang jalan. Tepatnya ke arah Callisto yang sedang menggendong bocah perempuan itu lagi.Namun, kini dia tidak sendiri. Melainkan ada seorang wanita dewasa yang sedang berjalan di sampingnya.“Coba kamu lihat di sana,” tunjuk Yolla dengan pandangan matanya.Sisty menoleh ke arah yang ditunjuk Yolla, kedua matanya melebar sampai nyaris keluar dari tempatnya saat dia melihat Callisto sedang bersama seorang wanita.“Pantesan ...” komentar Sisty pendek, dia mengerti sekarang apa yang membuat Yolla seterkejut itu.“Sayang amat, ternyata incaran kamu sudah punya anak sama istri.” Yolla menimpali. “Mendingan kamu coba cari yang lain aja deh, Sis.”“Nggak salah, nih?”Selanjutnya Callisto terpaksa menunggui Vhea yang sedang makan disuapi asisten rumah tangga Clerin. Bukan dia tidak sayang pada bocah itu, tapi dia tidak tega saja jika dirinya terus berpura-pura menjadi ayahnya.Clerin tiba di rumah ketika Vhea baru saja tertidur di pangkuan Callisto.“Hari ini saya tidak masuk kerja lagi,” kata Callisto dingin sebagai ucapan selamat datangnya.“Maaf, ternyata berkasnya lebih banyak daripada yang saya kira.” Clerin beralasan. “Bagus sekali,” sahut Callisto dengan wajah muram. “akhirnya pertemuan saya dengan Pak Shanendra batal.”Clerin menunjukkan wajah bersalahnya saat dia menatap Callisto.“Kamu tenang saja, tadi Pak Shanendra juga berhalangan hadir.” Dia memberi tahu. “jadi yang datang adalah orang suruhannya.”“Kenapa beliau tidak datang?” selidik Callisto seakan tidak percaya.“Entahlah ... katanya putri tunggalnya sedang sakit, begitu yang saya dengar.” Clerin menjelaskan. “Saya mandi dulu ya, setelah itu kita gantian menunggui Vhea.”Callisto
“Mangkal?” potong Yolla galak sambil berkacak pinggang. “Kalau Anda cuma mau cari ribut sama saya, mendingan Anda segera pergi dari sini!”Callisto kembali tidak menggubris Yolla dan malah berjalan memutari mobilnya dengan saksama. Yolla terus berkacak pinggang sementara Callisto memeriksa satu per satu ban mobilnya.“Sudah deh, kalau Anda tidak paham mobil ... Anda tidak perlu sok baik di depan saya seperti ini,” kata Yolla pedas.Callisto mendongak.“Apa seperti ini sikap seorang putri milyuner yang terkenal itu, Pak Shanendra?” komentarnya dingin, kemudian dia mengalihkan wajahnya lagi.Yolla terperanjat ketika Callisto menyebut nama belakang ayahnya.“Apa maksudnya ... terkenal?” tanya Yolla tidak mengerti.“Maksud saya Pak Shanendra yang terkenal,” ralat Callisto tanpa menoleh. “Bukan Anda.”Yolla mendengus, dia tidak berharap bahwa Callisto akan menanggapi pertanyaannya dengan serius.“D
“Tidak perlu,” sahut Yolla ketus. “Terima kasih atas bantuan Anda.” Callisto memandang Yolla dengan ekspresi yang tidak terbaca. “Saya akan ganti seluruh biaya servisnya kalau mobil saya sudah diantar ke kantor,” kata Yolla lagi. “Sekarang silakan Anda pergi dari sini.” “Hari sudah mau gelap,” ujar Callisto. “Anda mau pulang pakai apa?” Yolla balas memandang Callisto dengan gerah. “Anda ini ... selalu mau tahu urusan orang!” hujatnya. “Pergi saja sana!” Callisto menajamkan matanya begitu Yolla mengusirnya dengan terang-terangan, setelah itu dia berbalik pergi menuju mobilnya sendiri. Yolla mencebikkan bibirnya ketika mobil sport warna putih bersih milik Callisto melaju meninggalkannya sendirian di tepi jalan. “Dasar nggak bertanggung jawab!” gerutu Yolla kesal sembari memandang bagian belakang mobil Callisto yang menjauh. “Dipaksa kek gimana caranya biar aku mau ikut! Pria macam apa dia, nggak peka sama sekali ....” Yolla sudah tidak dapat berpikir jernih lagi, meskip
Yolla cepat-cepat mengambil alih telepon dari ruangannya.“Pak Callisto, tolong mobil saya di antar ke salon kemarin saja!” pinta Yolla.Yolla berjalan mondar-mandir di ruangannya. Dia sudah berusaha keras meminta Callisto untuk mengantar mobilnya ke salon Sisty saja, tetapi dari suaranya pria itu tetap ngotot ingin mampir ke kantor.“Bisa gawat kalau papa bertemu sama Callisto,” gumam Yolla dengan wajah gelisah. “Apalagi kalau bertemu Ifan ... Callisto kan mirip banget sama Byanz.”Yolla cepat-cepat meraih gagang telepon dan menghubungi Callisto kembali, dia harus mencegah pria itu datang ke kantornya dengan cara apa pun.“Halo?” Suara datar Callisto menyambut ketika hubungan berhasil tersambung.“Pak Callisto, tolong jangan ke kantor saya!” pinta Yolla sungguh-sungguh. “Atau begini saja, biar saya ambil sendiri mobilnya. Anda tinggal bilang di mana alamat bengkelnya ....”“Kenapa begitu?” tanya Callisto dengan suara ya
Kini Yolla sudah tidak tahan lagi, segera didorongnya Callisto ke belakang dengan kasar. “Saya ditabrak orang, memangnya mata Anda ke mana?” sewotnya dengan emosi tinggi sampai ke ubun-ubun. Sebelum keributan semakin meluas dan menjadikannya bahan tontonan, Callisto buru-buru menarik tangan Yolla ke salah satu meja yang kosong. “Duduk,” suruhnya tegas, tapi Yolla tetap bergeming. “Siapa Anda, berani ngatur-ngatur saya?” tantang Yolla, dia tak gentar sedikitpun dengan tatapan tajam yang dilayangkan Callisto kepadanya. “Jangan bersikap seperti orang yang tidak berpendidikan,” kata Callisto sembari melepas tangan Yolla. “Kalau Anda tidak mau duduk, terserah. Berdiri saja terus sampai urusan kita selesai.” Yolla mengertakkan giginya, ini tidaklah berjalan sesuai harapannya. Dia pikir Callisto akan membujuknya sampai hatinya luluh dan mengalah, tapi ternyata tidak demikian. Pria
Clerin tercekat.“Sampai kapan saya harus berpura-pura menjadi ayah Vhea?” tanya Callisto. “Untuk sekadar memberinya perhatian, saya tidak keberatan. Tapi ini sudah terlalu jauh, Bu Clerin. Kalau ternyata ... saya ini sudah beristri, bagaimana?” Clerin diam sejenak sembari memikirkan kata-kata yang pas untuk mematahkan opini Callisto tentang masa lalunya. “Kalau kamu memang punya keluarga, atau istri, mereka pasti akan mencari kamu ke semua pelosok tempat.” Dia menarik napas. “Tapi sejak saya menemukan kamu sampai sekarang, saya belum mendengar berita tentang orang yang mencari anggota keluarganya yang hilang.” Kali ini giliran Callisto yang terdiam, kekerasan hatinya selalu bisa dilemahkan oleh fakta menyakitkan ini. Tentang dirinya yang seakan tidak diharapkan untuk kembali pulang oleh keluarga aslinya. “Saya mau mengajukan cuti setidaknya satu minggu,” pinta Callisto setelah terdiam selama be
“Cocok sekali,” komentar Yolla angkuh. “berenang sambil mancing kerusuhan.” Sisty nyengir tanpa suara ke arah sahabatnya. Sementara itu Yolla memandang Callisto dengan tatapan curiga. “Anda ini selalu mengikuti saya ke mana-mana, ya?” komentar Yolla penuh percaya diri. Callisto balas menatapnya datar. “Saya tidak punya waktu untuk hal-hal yang tidak penting semacam itu,” katanya tenang. “Jangankan membuntuti orang, memikirkannya saja saya tidak sempat.” Sisty bahkan sampai melongo saat mendengar perdebatan kecil di antara mereka. “Sombong amat,” desis Yolla. “Tidak lebih sombong dibandingkan yang bicara,” balas Callisto. “Eh, udah! Ayo, ketinggalan teman-teman nanti!” Sisty menengahi pertikaian kecil itu. “Yol, ayo!” Yolla melempar prandangan galak ke arah Callisto, kemudian
Di tempat lainnya, Yolla hampir saja membanting ponsel yang dipegangnya ke tanah. Belum juga sempat terbanting, ponselnya sudah berdering nyaring kembali.“Halo, Yol?” Suara Sisty langsung terdengar ketika Yolla menjawab panggilannya. “Gimana, kamu bisa nyusul aku, kan?” “Nggak tahu Sis,” jawab Yolla. “Si Callisto itu biang masalahnya, dia salah ambil koper aku ....” “Ya terus gimana dong Yol?” tanya Sisty dengan nada tidak bersemangat. “Kamu masih lama? Ini kita sebentar lagi pesawatnya.” “Nggak apa-apa, kamu sama yang lain berangkat aja tanpa aku.” Yolla mencoba mengikhlaskan. “Ini si Callisto malah seenaknya nutup telepon aku.” “Apa aku suruh pesawatnya buat ngetem sebentar lagi ya, Yol?” tanya Sisty, mencoba memberikan solusi. “Ngawur kamu, memangnya angkot? Udah deh Sis, kamu sama yang lain senang-senang aja.” Yolla menarik napas. “Palingan aku nitip oleh-oleh kayak biasa.” “Ya udahlah, terus urusan kamu sama