"Juliana, Reina," seru Diego terkejut. "Halo Ayah!" sapa Reina dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa kalian bisa ada di sini? Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian akan datang? Di mana Joseph?" Diego mengedarkan pandangan ke belakang Juliana dan tidak menemukan Joseph. "Joseph tidak ikut bersama kami," jawab Juliana. "Ayah, boleh kami masuk?" Reina bertanya. "Ya tentu saja." Diego memberi jalan pada kedua putrinya dengan menyingkir ke samping, lalu menutup pintu. Mereka memdorong koper dan menghempaskan diri di sofa. Diego yang masih penasaran dengan kepulangan kedua putrinya duduk di hadapan mereka menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?" Juliana dan Reina saling pandang dan keadaan ini tidak disukai oleh mereka berdua dimana mereka harus memberitahu Diego tentang apa yang terjadi. Reina baru saja membuka mulut, tapi Juliana sudah lebih dulu berkata. "Kami diusir dari kediaman Joseph." Mata Diego melebar. "Diusir bagaimana?" "Begini Ayah. Ada beberapa hal yang
"Apa maksudmu?" "Ah tidak apa-apa, Pak. Lupakan saja!" Jennifer buru-buru pergi sebelum Joseph kembali bertanya, sedangkan pria itu masih penasaran apa maksud perkataan sekretarisnya yang tiba-tiba terlihat misterius. "Seharusnya tadi aku tidak berkata seperti itu," gumam Jennifer setelah berada di luar ruangan Joseph, lalu duduk di kursi sambil menyusun dokumen di meja. Berkali-kali Jennifer menghela napas dan berpikir andai saja bosnya tahu kalau Juliana sedang mengandung anaknya, entah apa reaksinya. Iya, Jennifer secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Ariana dan Lena sebelum dia pulang kemarin sore. "Jadi Juliana hamil? Apa Tante yakin?" Lena nampak syok. "Yakin. Tidak salah lagi." "Kalau itu memang benar, anak siapa yang dikandung Juliana?" "Entahlah. Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar itu anak Joseph." Lena memejamkan matanya. "Apa Joseph tahu?" "Dia tidak tahu." "Joseph tidak boleh tahu hal ini. Kalau dia tahu, dia tidak akan jadi mengusir Juliana dari sini."
Jennifer masuk ke ruangan Joseph membawakan secangkir kopi hitam. Dilihatnya pria itu sedang membereskan mejanya dan memakai jasnya. "Apa Anda akan pergi sekarang, Pak?" "Iya. Lena sudah menungguku di butik. Gaun pengantinnya sudah selesai." "Lalu bagaimana dengan kopinya, Pak?" Joseph berdecak. "Kopi itu untukmu saja." "Tapi saya tidak suka kopi hitam." "Buang saja!" "Tapi Pak, kopi ini sangat mahal. Saya tidak mau membuangnya." Joseph memandang kesal pada sekretarisnya. "Kenapa kamu sempat-sempatnya mempermasalahkan secangkir kopi saat ini? Kamu tahu kan sedang terburu-buru." "Saya tahu. Saya akan menyimpannya di meja. Terserah Anda mau meminumnya atau tidak setelah Anda kembali lagi ke kantor. Jangan suruh saya yang membuangnya!" "Astaga Jennifer!" Jospeh mengambil cangkir dari tangan Jennifer dan langsung meminumnya sampai habis. "Sekarang aku mau pergi." "Tunggu, Pak!""Ada apa lagi?" Joseph berbalik dengan mimik kesal. "Saya bukannya mau mencampuri urusan pribadi A
Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
Juliana masih terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak setelah mendengar kenyataan tentang Clarie. Anak kecil yang begitu menarik perhatiannya ternyata adalah putri Joseph dan Lena. Dunia memang kecil, tapi ia tidak pernah membayangkan akan kembali berhadapan dengan masa lalunya seperti ini.Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan perasaannya. Tidak ada gunanya memikirkan hal ini terlalu dalam. Lagipula, ia sudah memilih jalannya sendiri lima tahun lalu. Sekarang, yang terpenting adalah pekerjaannya dan kedua anaknya.Sepulang dari sekolah, Juliana langsung menuju rumah mungilnya yang nyaman di pinggiran kota Miami. Begitu membuka pintu, suara tawa riang anak-anak langsung menyambutnya."Mommy!"Dua sosok kecil berlari ke arahnya—Alya dengan rambut ikalnya yang tergerai dan Malcom dengan senyum khasnya yang begitu mirip dengan seseorang yang pernah ia kenal.Juliana langsung berjongkok dan merentangkan tangannya, menyambut mereka dengan pelukan erat. "Hai, Sayang! Mommy kang
Keesokan paginya, Juliana bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menikmati sedikit waktu sendiri sebelum hari yang panjang dimulai. Setelah memastikan Alya dan Malcom masih tertidur pulas, ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan.Saat aroma kopi memenuhi ruangan, Juliana duduk di meja makan dengan koran yang belum sempat ia baca selama beberapa hari terakhir. Namun, pikirannya masih belum lepas dari kejadian kemarin.Clarie.Juliana menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan. Ia tidak akan membiarkan hal ini mengusik hidupnya.Tak lama, langkah kaki kecil terdengar."Mommy!"Juliana menoleh dan mendapati Alya berdiri di ambang pintu dapur dengan mata yang masih sedikit mengantuk."Selamat pagi, Sayang!" ucap Juliana lembut, menarik Alya ke pangkuannya."Mommy, kenapa bangun pagi sekali?" tanya Alya sambil menyandarkan kepalanya di dada Juliana."Mommy hanya ingin menyiapkan sarapan untuk kalian."Tak lama, Malcom muncul dengan wajah meng
Lena berdiri di ambang pintu ruang keluarga dengan napas tertahan. Ia tidak sengaja mendengar percakapan Joseph dan Ariana dan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Juliana punya anak kembar. Itu berarti…. Lena menggigit bibirnya, merasa cemas. Ia melangkah cepat ke dalam ruangan, menghampiri Ariana yang masih terduduk dengan ekspresi kosong setelah kepergian Joseph. "Ariana," bisik Lena dengan nada mendesak. "Kau harus melakukan sesuatu!" Ariana mendongak, menatap Lena dengan mata yang sulit dibaca. Lena semakin gelisah. “Jika Joseph mulai mencari tahu lebih dalam, dia akan mengetahui semuanya. Dia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu. Kau tidak bisa membiarkan itu terjadi.” Ariana tetap diam. Ia hanya menatap Lena tanpa ekspresi sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. “Ariana?” panggil Lena, semakin cemas. Tanpa menjawab, Ariana berbalik dan berjalan pergi, menyusul Joseph. Lena hanya bisa menggigit bibirnya, jantungnya berdebar cemas. Joseph baru saj
Setelah jam sekolah, Juliana berjalan keluar dari gedung sekolah dengan langkah berat. Ia tahu Joseph menunggunya. Ia bisa melihatnya berdiri di dekat mobilnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Dengan napas tertahan, Juliana akhirnya melangkah mendekat. Begitu mereka berdiri berhadapan, keheningan kembali menyelimuti mereka. Joseph menatapnya lama, seolah mencoba mencari sesuatu dalam matanya. “Kenapa?” suara Joseph serak. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” Juliana menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Karena itu tidak lagi penting.” Joseph tertawa pahit. “Tidak penting? Kau menyembunyikan anak-anak dariku, dan kau bilang itu tidak penting?” Juliana menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya. “Aku melakukan apa yang harus aku lakukan.” “Apa yang harus kau lakukan?” suara Joseph naik satu oktaf. "Membesarkan mereka sendirian tanpa memberitahuku?” Juliana mengangkat dagunya. “Kalau aku memberitahumu saat itu, apakah kau akan melakukan sesuatu? K
Anak-anak yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun, ia baru menyadarinya. “Apa yang akan Anda lakukan sekarang?” Joseph mendongak, matanya penuh dengan tekad. “Saya akan menemui Juliana.” Jennifer menahan napas. “Pak, Anda harus hati-hati. Jika Anda terlalu memaksanya, dia mungkin akan semakin menjauh.” Joseph menggeleng. “Aku tidak peduli. Aku tidak bisa diam saja. Aku harus bertemu dengannya. Aku harus melihat anak-anakku.” Jennifer tahu ia tidak bisa menghentikan Joseph kali ini. Ia hanya bisa berharap bahwa pertemuan mereka tidak akan berakhir dengan lebih banyak luka. Joseph mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia bisa tidak mengetahui sesuatu yang begitu penting? "Berapa umur mereka?" tanyanya lagi. Jennifer terdiam sejenak sebelum menjawab, "5 tahun sama dengan Clarie." Keheningan memenuhi ruangan. Jennifer menunduk, merasa semakin bersalah, karena telah membuka rahasia yang seharusnya b
Sementara itu, di rumahnya, Juliana masih menatap layar ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Jennifer. "Aku tidak akan mengatakan apa pun. untuk sekarang, tapi kau harus memikirkan ini baik-baik, Juliana. Kau tidak bisa lari selamanya." Juliana menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin gelisah. Ia tahu Jennifer benar. Cepat atau lambat, Joseph akan menemukan mereka, tapi ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa anak-anaknya. Mereka adalah dunianya, satu-satunya alasan ia bertahan setelah semua yang terjadi di masa lalu. Ia berjalan ke kamar anak-anaknya dan melihat mereka sedang tidur nyenyak di tempat tidur kecil mereka. Alya meringkuk dengan boneka beruang kesayangannya, sementara adiknya tidur dengan damai di sampingnya. Juliana duduk di tepi tempat tidur dan mengusap rambut Alya dengan lembut. "Ibu akan selalu melindungi kalian," bisiknya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Joseph, mengambil mereka darinya. *** Keesokan harinya, Joseph kembali ke
Sinar matahari memantul di atas helm keselamatan yang dikenakan Joseph. Pria itu berdiri tegak di atas hamparan tanah luas yang sedang dipersiapkan untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru di Miami. Sekelilingnya, suara alat berat bergemuruh, para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan tim arsitek berdiri tak jauh darinya, membahas temuan terbaru mereka. Jennifer, asistennya yang selalu sigap, berdiri di sisinya dengan tablet di tangan, siap mencatat setiap instruksi yang diberikan Joseph. "Jadi, apa kendala yang kita hadapi sekarang?" tanya Joseph dengan nada tegas, menatap kepala tim arsitek yang tampak sedikit ragu. Seorang pria berkacamata, Michael Carter, melangkah maju dengan lembaran peta dan blueprint proyek. "Mr. Reign, setelah melakukan survei lebih lanjut, kami menemukan bahwa struktur tanah di beberapa titik tidak cukup stabil untuk menopang beban bangunan sesuai rencana awal. Jika dipaksakan, ada risiko pergeseran pondasi dalam beberapa tahun ke depan."
Keesokan paginya, Lena memastikan bahwa Joseph sibuk dengan urusan pekerjaannya sebelum ia berangkat ke sekolah Clarie. Ia mengenakan kacamata hitam dan mantel panjang, berusaha agar tidak menarik perhatian siapa pun.Setibanya di sekolah, ia tidak langsung masuk ke gedung utama, tetapi menunggu di tempat yang lebih sepi hingga bel istirahat berbunyi.Beberapa saat kemudian, ia melihat sosok yang dicarinya.Juliana.Wanita itu masih terlihat seperti dulu. Rambut panjangnya tergerai indah, dan wajahnya tetap lembut seperti yang Lena ingat. Namun, ada ekspresi ketenangan di wajahnya yang tidak ia miliki dulu.Lena menarik napas, lalu melangkah mendekat."Juliana," panggilnya pelan.Juliana yang sedang membaca sesuatu di tablet-nya langsung menoleh. Begitu ia melihat Lena, matanya membelalak. "Lena?"Ada keheningan di antara mereka selama beberapa detik. Juliana tampak terkejut sekaligus waspada."Apa yang kau lakukan di sini?" Juliana akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar tetapi t
Suasana di dalam kamar Clarie terasa begitu nyaman. Dindingnya dihiasi wallpaper berwarna pastel dengan motif bintang-bintang kecil. Di salah satu sudut ruangan, boneka-boneka tersusun rapi di rak kayu, sementara di atas tempat tidur, selimut merah muda dengan gambar kelinci menjadi favorit Clarie.Lena duduk di tepi tempat tidur, menatap putrinya yang sedang asyik menggambar dengan krayon warna-warni di sebuah buku gambar besar. Clarie terlihat begitu ceria, jemarinya lincah menggoreskan warna biru ke langit gambarnya."Apa yang Clarie gambar?" tanya Lena dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kelelahan yang menggantung di pikirannya sejak pertemuan dengan Ariana tadi.Clarie tersenyum lebar dan menunjukkan gambarnya. "Ini aku, Mama, dan Papa!" katanya riang, menunjuk tiga sosok sederhana yang digambarnya dengan kepala bundar dan tangan serta kaki seperti lidi.Lena tersenyum kecil. "Itu gambar yang bagus, Sayang."Tiba-tiba, Clarie menambahkan sesuatu di samping
Langit senja mulai meredup saat mobil Ariana berhenti di depan rumah megahnya. Clarie, yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh tentang sekolah, langsung berseru kegirangan begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Mama!"Lena, yang baru saja pulang, tersenyum tipis saat Clarie berlari menghampirinya. Ia berjongkok, membuka kedua lengannya, lalu memeluk putrinya erat."Kau sudah pulang, Sayang," ucap Lena sambil mengecup puncak kepala Clarie sekilas.Clarie mengangguk bersemangat. "Hari ini menyenangkan sekali! Aku belajar tentang harimau, aku menggambar, dan—"Lena mengelus rambut putrinya dengan lembut, tetapi matanya tidak benar-benar fokus. Ada ekspresi lelah di wajahnya, seolah pikirannya berada di tempat lain.Ariana mengamati pemandangan itu dalam diam. Clarie terlihat begitu bahagia, tetapi Lena, ia tampak jauh seperti seseorang yang hanya menjalankan perannya sebagai ibu tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.Ariana menghela napas pelan sebelum berkata, "Clarie,
Ariana menutup ponselnya setelah membaca pesan dari sopir yang sedang menunggu di depan rumah. Hari ini, ia akan menjemput Clarie di sekolah—sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, tugas itu diserahkan kepada pengasuh atau asistennya. Namun, sejak Clarie tidak henti-hentinya membicarakan guru barunya, seorang wanita bernama Juliana."Aku suka Bu Guru Juliana!" ujar Clarie suatu hari dengan mata berbinar. "Dia baik sekali, dan dia suka cerita sama aku!"Ariana awalnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, Clarie memang selalu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, ketika Clarie menyebut nama Juliana, hatinya terasa sedikit tidak nyaman.Sekarang, sambil duduk di dalam mobil yang bergerak menuju sekolah Clarie, Ariana tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apakah mungkin guru yang disebutkan Clarie itu... Juliana yang dulu? Tidak mungkin, kan?Mobil berhenti di depan sekolah, dan Ariana turun dengan anggun. Para orang tua lain yang juga