Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
Juliana masih terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak setelah mendengar kenyataan tentang Clarie. Anak kecil yang begitu menarik perhatiannya ternyata adalah putri Joseph dan Lena. Dunia memang kecil, tapi ia tidak pernah membayangkan akan kembali berhadapan dengan masa lalunya seperti ini.Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan perasaannya. Tidak ada gunanya memikirkan hal ini terlalu dalam. Lagipula, ia sudah memilih jalannya sendiri lima tahun lalu. Sekarang, yang terpenting adalah pekerjaannya dan kedua anaknya.Sepulang dari sekolah, Juliana langsung menuju rumah mungilnya yang nyaman di pinggiran kota Miami. Begitu membuka pintu, suara tawa riang anak-anak langsung menyambutnya."Mommy!"Dua sosok kecil berlari ke arahnya—Alya dengan rambut ikalnya yang tergerai dan Malcom dengan senyum khasnya yang begitu mirip dengan seseorang yang pernah ia kenal.Juliana langsung berjongkok dan merentangkan tangannya, menyambut mereka dengan pelukan erat. "Hai, Sayang! Mommy kang
Keesokan paginya, Juliana bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menikmati sedikit waktu sendiri sebelum hari yang panjang dimulai. Setelah memastikan Alya dan Malcom masih tertidur pulas, ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan.Saat aroma kopi memenuhi ruangan, Juliana duduk di meja makan dengan koran yang belum sempat ia baca selama beberapa hari terakhir. Namun, pikirannya masih belum lepas dari kejadian kemarin.Clarie.Juliana menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan. Ia tidak akan membiarkan hal ini mengusik hidupnya.Tak lama, langkah kaki kecil terdengar."Mommy!"Juliana menoleh dan mendapati Alya berdiri di ambang pintu dapur dengan mata yang masih sedikit mengantuk."Selamat pagi, Sayang!" ucap Juliana lembut, menarik Alya ke pangkuannya."Mommy, kenapa bangun pagi sekali?" tanya Alya sambil menyandarkan kepalanya di dada Juliana."Mommy hanya ingin menyiapkan sarapan untuk kalian."Tak lama, Malcom muncul dengan wajah meng
Joseph masih duduk di kursinya, menatap pemandangan kota yang terbentang luas dari balik dinding kaca kantornya. Pikirannya terusik, bukan oleh masalah bisnis, melainkan oleh kehidupan pribadinya yang terasa semakin kosong.Ia seharusnya bahagia. Ia memiliki segalanya. Perusahaan yang berkembang pesat, harta melimpah, dan kekuasaan yang diidamkan banyak orang. Namun, di balik kemegahan itu, ada perasaan hampa yang selalu menghantuinya.Pernikahannya dengan Lena sudah lama menjadi sekadar formalitas. Awalnya ia berpikir, mungkin waktu akan membuatnya terbiasa, tetapi ternyata tidak. Hubungan mereka tetap dingin, seperti dua orang asing yang hanya berbagi rumah.Sebuah ketukan di pintu mengalihkan pikirannya."Masuk!" ujarnya, kembali mengenakan ekspresi datarnya.Seorang pria bertubuh tegap masuk. William, kepala manajer divisi properti, membawa sebuah berkas tebal."Tuan, ini laporan terbaru mengenai proyek hotel bintang lima di Los Angeles," katanya, menyerahkan dokumen itu ke meja J
Matahari pagi menghangatkan halaman sekolah, sinarnya jatuh lembut di antara pohon-pohon rindang yang berjajar di sepanjang pagar. Anak-anak kecil berlarian riang menuju kelas masing-masing, sementara para guru berdiri di depan pintu menyambut mereka dengan senyum hangat. Juliana berdiri di depan kelasnya, memperhatikan murid-murid yang mulai masuk dan ia sudah menyiapkan banyak kegiatan menyenangkan. Namun, saat sepasang mata cokelat berbinar menatapnya dengan senyum ceria, Juliana merasa dunianya berputar sejenak. "Bu guru Juliana!" suara kecil itu menyapanya riang. Juliana tersenyum. "Selamat pagi, Clarie! Apa kabar?" "Aku baik. Aku nggak sabar belajar sama Bu guru," jawab Clarie sambil menepuk-nepuk tas kecilnya yang berwarna merah muda. Juliana mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut. Clarie adalah murid yang cerdas, penuh semangat, dan selalu membawa kehangatan ke dalam kelasnya. Awalnya, Juliana tidak pernah menyangka. Ia hanya menganggap Clarie sebagai salah satu
Ariana menutup ponselnya setelah membaca pesan dari sopir yang sedang menunggu di depan rumah. Hari ini, ia akan menjemput Clarie di sekolah—sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, tugas itu diserahkan kepada pengasuh atau asistennya. Namun, sejak Clarie tidak henti-hentinya membicarakan guru barunya, seorang wanita bernama Juliana."Aku suka Bu Guru Juliana!" ujar Clarie suatu hari dengan mata berbinar. "Dia baik sekali, dan dia suka cerita sama aku!"Ariana awalnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, Clarie memang selalu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, ketika Clarie menyebut nama Juliana, hatinya terasa sedikit tidak nyaman.Sekarang, sambil duduk di dalam mobil yang bergerak menuju sekolah Clarie, Ariana tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apakah mungkin guru yang disebutkan Clarie itu... Juliana yang dulu? Tidak mungkin, kan?Mobil berhenti di depan sekolah, dan Ariana turun dengan anggun. Para orang tua lain yang juga
Setahun telah berlalu sejak kepergian Lena, tetapi kenangannya masih melekat di hati mereka, tersimpan dalam setiap sudut rumah dan dalam setiap langkah kecil Clarie. Meskipun duka itu tidak benar-benar hilang, waktu telah mengajarkan mereka bahwa cinta dan kebahagiaan bisa kembali ditemukan, bahkan setelah kehilangan yang menyakitkan.Joseph dan Juliana tidak terburu-buru. Mereka membangun kembali hubungan mereka dengan penuh kesabaran, memberi ruang bagi luka-luka lama untuk benar-benar pulih. Tidak ada janji yang diucapkan dengan tergesa-gesa, tidak ada keputusan yang diambil tanpa pertimbangan. Mereka memilih untuk saling mengenal kembali bukan sebagai dua orang yang memiliki masa lalu yang pahit, tetapi sebagai dua hati yang akhirnya mengerti betapa berartinya satu sama lain.Clarie tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, meskipun masih sering menatap ke luar jendela, seolah menunggu ibunya kembali. Namun, dalam pelukan hangat Joseph dan Juliana, ia menemukan tempat yang aman, tem
Mobil Joseph melaju kencang menuju lokasi. Lena, Ariana, dan Juliana duduk dengan tegang di dalam mobil, perasaan mereka bercampur antara cemas, marah, dan takut. Begitu mereka tiba, pemandangan di depan mereka membuat jantung mereka berdegup lebih kencang.Sebuah rumah tua berdiri di pinggiran kota, tampak gelap dan sepi. Catnya sudah mengelupas, jendelanya tertutup rapat, dan pagar kayunya sudah lapuk dimakan usia. Rumah itu tampak seperti sudah lama tidak dihuni, tetapi semua orang tahu bahwa di sanalah Damian bersembunyi bersama Clarie.Di sekitar rumah, polisi sudah bersiap dengan senjata terangkat, mengenakan rompi anti-peluru. Lampu-lampu kendaraan polisi menyala, menerangi malam yang mencekam.Seorang petugas mendekati Joseph dan berbicara dengan suara rendah."Kami sudah mengepung rumah ini dari semua sisi. Tim kami sudah memastikan bahwa tidak ada jalan keluar bagi Damian. Kami hanya menunggu perintah untuk masuk."Joseph mengepalkan tangannya. "Lakukan!"Kapten polisi menga
Suasana di dalam mobil terasa berat. Lena duduk di kursi penumpang, jemarinya mencengkeram erat ponselnya, matanya kosong menatap jalanan malam yang sepi.Di belakang kemudi, Joseph mengendarai mobil dengan rahang mengatup. Napasnya berat, tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang bisa menjaga amarahnya tetap terkendali.Ariana dan Juliana duduk di kursi belakang, sama tegangnya. Semua orang tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu.Saat itulah ponsel Lena berdering. Nada deringnya memecah keheningan, membuat semua orang tersentak. Lena langsung meraih ponsel, melihat nama di layar.Damian.Darah Lena berdesir. Ia menekan tombol jawab dan langsung menempelkan ponsel ke telinganya."Damian! Di mana Clarie?!" serunya panik.Suara tawa rendah terdengar dari seberang sana, mengirimkan getaran tak nyaman ke dalam tulang belakang Lena."Tenanglah, Sayang," kata Damian dengan nada mengejek. "Clarie baik-baik saja. Untuk saat ini."Tangan Lena mengepal, matanya berkil
Suasana di dalam mobil terasa berat. Lena duduk di kursi penumpang, jemarinya mencengkeram erat ponselnya, matanya kosong menatap jalanan malam yang sepi. Di belakang kemudi, Joseph mengendarai mobil dengan rahang mengatup. Napasnya berat, tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang bisa menjaga amarahnya tetap terkendali. Ariana dan Juliana duduk di kursi belakang, sama tegangnya. Semua orang tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu. Saat itulah ponsel Lena berdering. Nada deringnya memecah keheningan, membuat semua orang tersentak. Lena langsung meraih ponsel, melihat nama di layar. Damian. Darah Lena berdesir. Ia menekan tombol jawab dan langsung menempelkan ponsel ke telinganya. "Damian! Di mana Clarie?!" serunya panik. Suara tawa rendah terdengar dari seberang sana, mengirimkan getaran tak nyaman ke dalam tulang belakang Lena. "Tenanglah, Sayang!" kata Damian dengan nada mengejek. "Clarie baik-baik saja untuk saat ini." Tangan Lena mengepal, matan
Telepon dari Juliana masih menggema di kepala Joseph saat ia menekan pedal gas lebih dalam. Mobilnya melaju dengan kecepatan gila, membelah jalanan kota yang mulai diselimuti gelapnya malam. Tangannya mencengkeram setir erat, rahangnya mengatup keras menahan gejolak emosi yang siap meledak.Clarie diculik.Pikiran itu terus menggerogoti benaknya.Putrinya, gadis kecil yang begitu ia cintai, kini berada di tangan seseorang yang entah siapa dan dengan niat apa.Siapa pun yang berani menyentuh Clarie tidak akan dibiarkan hidup dengan tenang.Joseph hampir tidak bisa berpikir jernih. Bayangan Clarie menangis, ketakutan, mungkin memanggil namanya dalam keputusasaan, membuat dadanya seperti terbakar.Sial!Tangannya gemetar saat ia menekan panggilan ke Lena. Nada sambung berbunyi. Sekali. Dua kali.“Halo?”Suara Lena terdengar malas, seolah tidak ingin berbicara dengannya.Joseph tidak peduli.“Clarie diculik.”Hening.“Apa?” Suara Lena nyaris tidak terdengar, penuh keterkejutan dan ketidak
Keesokan paginya, mentari bersinar terang, menerangi halaman sekolah Clarie dengan cahaya hangat. Anak-anak berlarian riang, beberapa duduk di bangku taman, dan yang lain bercengkerama dengan teman-teman mereka. Suasana tampak begitu biasa, begitu normal tidak ada yang menyangka bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi hari itu.Di sudut area parkir, seorang pria berdiri dengan kacamata hitam dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya. Damian.Matanya tajam mengamati gerak-gerik Clarie dari kejauhan. Gadis kecil itu tampak ceria, berbincang dengan teman-temannya sebelum masuk ke dalam kelas."Jadi, dia anakku," gumam Damian pelan, nyaris tanpa emosi.Tapi di balik kata-katanya yang datar, ada ambisi besar dalam hatinya. Ia tak peduli siapa yang membesarkan Clarie selama ini. Yang jelas, ia adalah ayah biologisnya, dan itu berarti Clarie seharusnya menjadi miliknya.Damian mengencangkan jaketnya, menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguar. Ini bukan sekadar soal ingin mendapatkan C
Suaranya nyaris tak terdengar, tetapi beratnya emosi yang tersimpan dalam kalimat itu menusuk ke dalam hatinya sendiri.Clarie tidak merespons. Ia tetap tertidur, damai, tidak menyadari gejolak yang sedang berkecamuk di hati pria yang baru saja mengikrarkan janjinya.Joseph menelan ludah, lalu membungkuk, mengecup kening Clarie dengan penuh kelembutan, meninggalkan jejak cinta dan perlindungan yang tak terucapkan. Baru setelah itu, dengan berat hati, ia berdiri dan berjalan keluar kamar.Saat menutup pintu, ia menarik napas panjang. Mungkin, untuk malam ini, Clarie bisa tidur dengan tenang. Tapi untuknya? Ia tahu, malam ini akan menjadi malam panjang yang dipenuhi pikiran yang tak kunjung reda.**Sementara itu, di ruang tamu, Ariana dan Juliana duduk di sofa, masih terbungkus dalam kebisuan yang agak canggung.Ariana menatap Juliana dengan ragu, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan berkata, "Juliana, aku ingin meminta maaf padamu."Juliana mengangkat alisnya, sedikit terkejut.
Joseph mengusap punggung Clarie lembut, mencoba menyalurkan kehangatan yang bisa meredakan kepanikannya. Ia menunduk, mengecup puncak kepala anak itu. "Kau tidak apa-apa, Sayang?" bisiknya. Clarie mengangguk kecil, tapi matanya masih basah oleh air mata. Juliana menatap mereka dengan ekspresi penuh kelegaan bercampur kesedihan. Ariana berjalan mendekati Lena, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Lena...," suaranya pelan tetapi penuh emosi. "Apa yang kau pikirkan? Kau benar-benar ingin melarikan Clarie dari kami semua?" Lena tidak menjawab. Ia berdiri di sudut ruangan dengan bahu menegang, wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi kelelahan. "Aku tidak tahu...," gumamnya akhirnya. Suaranya bergetar. "Aku hanya tidak ingin kehilangan dia." Joseph menatap Lena dengan mata tajam. "Kau tidak akan kehilangan Clarie. Aku juga tidak akan mengambilnya darimu hanya saja caramu salah." Lena mendongak, ekspresinya berubah. Ada kemarahan di sana, tetapi juga
Darah Joseph mendidih. Matanya berkilat marah saat jemarinya meremas surat itu. "Lena brengsek!" Juliana meraih surat itu dari tangannya, membacanya dengan mata yang membelalak marah. "Apa dia sudah gila?! Dia ingin melarikan diri dengan Clarie!" Ariana menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar menahan isak tangis. "Joseph, kita harus menemukannya! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Clarie! Dia pasti ketakutan!" Joseph mengepalkan tangannya. Hatinya berdenyut sakit membayangkan Clarie yang mungkin sedang menangis dalam perjalanan entah ke mana. Lena mungkin ibunya, tapi dia juga orang yang egois. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Clarie. Yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. "Kita harus berpikir," kata Joseph, berusaha menenangkan dirinya. "Ke mana Lena akan pergi?" Juliana berpikir cepat. "Dia pasti butuh tempat bersembunyi. Mungkin ke rumah kerabatnya?" Joseph menggeleng. "Dia tidak punya banyak keluarga di sini. Satu-satunya kemungkinan adalah tempat yang memil