"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
Juliana masih terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak setelah mendengar kenyataan tentang Clarie. Anak kecil yang begitu menarik perhatiannya ternyata adalah putri Joseph dan Lena. Dunia memang kecil, tapi ia tidak pernah membayangkan akan kembali berhadapan dengan masa lalunya seperti ini.Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan perasaannya. Tidak ada gunanya memikirkan hal ini terlalu dalam. Lagipula, ia sudah memilih jalannya sendiri lima tahun lalu. Sekarang, yang terpenting adalah pekerjaannya dan kedua anaknya.Sepulang dari sekolah, Juliana langsung menuju rumah mungilnya yang nyaman di pinggiran kota Miami. Begitu membuka pintu, suara tawa riang anak-anak langsung menyambutnya."Mommy!"Dua sosok kecil berlari ke arahnya—Alya dengan rambut ikalnya yang tergerai dan Malcom dengan senyum khasnya yang begitu mirip dengan seseorang yang pernah ia kenal.Juliana langsung berjongkok dan merentangkan tangannya, menyambut mereka dengan pelukan erat. "Hai, Sayang! Mommy kang
Keesokan paginya, Juliana bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menikmati sedikit waktu sendiri sebelum hari yang panjang dimulai. Setelah memastikan Alya dan Malcom masih tertidur pulas, ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan.Saat aroma kopi memenuhi ruangan, Juliana duduk di meja makan dengan koran yang belum sempat ia baca selama beberapa hari terakhir. Namun, pikirannya masih belum lepas dari kejadian kemarin.Clarie.Juliana menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan. Ia tidak akan membiarkan hal ini mengusik hidupnya.Tak lama, langkah kaki kecil terdengar."Mommy!"Juliana menoleh dan mendapati Alya berdiri di ambang pintu dapur dengan mata yang masih sedikit mengantuk."Selamat pagi, Sayang!" ucap Juliana lembut, menarik Alya ke pangkuannya."Mommy, kenapa bangun pagi sekali?" tanya Alya sambil menyandarkan kepalanya di dada Juliana."Mommy hanya ingin menyiapkan sarapan untuk kalian."Tak lama, Malcom muncul dengan wajah meng
Joseph masih duduk di kursinya, menatap pemandangan kota yang terbentang luas dari balik dinding kaca kantornya. Pikirannya terusik, bukan oleh masalah bisnis, melainkan oleh kehidupan pribadinya yang terasa semakin kosong.Ia seharusnya bahagia. Ia memiliki segalanya. Perusahaan yang berkembang pesat, harta melimpah, dan kekuasaan yang diidamkan banyak orang. Namun, di balik kemegahan itu, ada perasaan hampa yang selalu menghantuinya.Pernikahannya dengan Lena sudah lama menjadi sekadar formalitas. Awalnya ia berpikir, mungkin waktu akan membuatnya terbiasa, tetapi ternyata tidak. Hubungan mereka tetap dingin, seperti dua orang asing yang hanya berbagi rumah.Sebuah ketukan di pintu mengalihkan pikirannya."Masuk!" ujarnya, kembali mengenakan ekspresi datarnya.Seorang pria bertubuh tegap masuk. William, kepala manajer divisi properti, membawa sebuah berkas tebal."Tuan, ini laporan terbaru mengenai proyek hotel bintang lima di Los Angeles," katanya, menyerahkan dokumen itu ke meja J
Matahari pagi menghangatkan halaman sekolah, sinarnya jatuh lembut di antara pohon-pohon rindang yang berjajar di sepanjang pagar. Anak-anak kecil berlarian riang menuju kelas masing-masing, sementara para guru berdiri di depan pintu menyambut mereka dengan senyum hangat. Juliana berdiri di depan kelasnya, memperhatikan murid-murid yang mulai masuk dan ia sudah menyiapkan banyak kegiatan menyenangkan. Namun, saat sepasang mata cokelat berbinar menatapnya dengan senyum ceria, Juliana merasa dunianya berputar sejenak. "Bu guru Juliana!" suara kecil itu menyapanya riang. Juliana tersenyum. "Selamat pagi, Clarie! Apa kabar?" "Aku baik. Aku nggak sabar belajar sama Bu guru," jawab Clarie sambil menepuk-nepuk tas kecilnya yang berwarna merah muda. Juliana mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut. Clarie adalah murid yang cerdas, penuh semangat, dan selalu membawa kehangatan ke dalam kelasnya. Awalnya, Juliana tidak pernah menyangka. Ia hanya menganggap Clarie sebagai salah satu
Ariana menutup ponselnya setelah membaca pesan dari sopir yang sedang menunggu di depan rumah. Hari ini, ia akan menjemput Clarie di sekolah—sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, tugas itu diserahkan kepada pengasuh atau asistennya. Namun, sejak Clarie tidak henti-hentinya membicarakan guru barunya, seorang wanita bernama Juliana."Aku suka Bu Guru Juliana!" ujar Clarie suatu hari dengan mata berbinar. "Dia baik sekali, dan dia suka cerita sama aku!"Ariana awalnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, Clarie memang selalu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, ketika Clarie menyebut nama Juliana, hatinya terasa sedikit tidak nyaman.Sekarang, sambil duduk di dalam mobil yang bergerak menuju sekolah Clarie, Ariana tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apakah mungkin guru yang disebutkan Clarie itu... Juliana yang dulu? Tidak mungkin, kan?Mobil berhenti di depan sekolah, dan Ariana turun dengan anggun. Para orang tua lain yang juga
Langit senja mulai meredup saat mobil Ariana berhenti di depan rumah megahnya. Clarie, yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh tentang sekolah, langsung berseru kegirangan begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Mama!"Lena, yang baru saja pulang, tersenyum tipis saat Clarie berlari menghampirinya. Ia berjongkok, membuka kedua lengannya, lalu memeluk putrinya erat."Kau sudah pulang, Sayang," ucap Lena sambil mengecup puncak kepala Clarie sekilas.Clarie mengangguk bersemangat. "Hari ini menyenangkan sekali! Aku belajar tentang harimau, aku menggambar, dan—"Lena mengelus rambut putrinya dengan lembut, tetapi matanya tidak benar-benar fokus. Ada ekspresi lelah di wajahnya, seolah pikirannya berada di tempat lain.Ariana mengamati pemandangan itu dalam diam. Clarie terlihat begitu bahagia, tetapi Lena, ia tampak jauh seperti seseorang yang hanya menjalankan perannya sebagai ibu tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.Ariana menghela napas pelan sebelum berkata, "Clarie,
Darah Joseph mendidih. Matanya berkilat marah saat jemarinya meremas surat itu. "Lena brengsek!" Juliana meraih surat itu dari tangannya, membacanya dengan mata yang membelalak marah. "Apa dia sudah gila?! Dia ingin melarikan diri dengan Clarie!" Ariana menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar menahan isak tangis. "Joseph, kita harus menemukannya! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Clarie! Dia pasti ketakutan!" Joseph mengepalkan tangannya. Hatinya berdenyut sakit membayangkan Clarie yang mungkin sedang menangis dalam perjalanan entah ke mana. Lena mungkin ibunya, tapi dia juga orang yang egois. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Clarie. Yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. "Kita harus berpikir," kata Joseph, berusaha menenangkan dirinya. "Ke mana Lena akan pergi?" Juliana berpikir cepat. "Dia pasti butuh tempat bersembunyi. Mungkin ke rumah kerabatnya?" Joseph menggeleng. "Dia tidak punya banyak keluarga di sini. Satu-satunya kemungkinan adalah tempat yang memil
Suasana hening dan nyaman yang menyelimuti Joseph dan Juliana pecah begitu saja saat suara getaran ponsel memenuhi ruangan.Joseph melirik layar ponselnya. Keningnya berkerut. Kenapa ibunya menelepon malam-malam begini? Ada sesuatu yang terasa aneh. Perasaan tidak enak langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan jantung berdegup lebih cepat, ia menjawab panggilan itu."Ibu?"Di ujung sana, suara Ariana terdengar terputus-putus, napasnya tersengal seakan ia habis berlari."Joseph!" Ada kepanikan dalam suaranya. "Clarie! Clarie dibawa pergi oleh Lena!"Pikirannya membeku. Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulutnya."Apa?"Juliana yang duduk di sebelahnya langsung menoleh, wajahnya berubah khawatir melihat ekspresi Joseph yang mendadak tegang."Aku baru saja akan mengantarkan susu untuk Clarie," suara Ariana gemetar, hampir menangis. "Lena dan Clarie tidak ada! Aku sudah mengecek rekaman CCTV! Lena membawa Clarie pergi dengan tergesa-gesa!"Jantung Joseph seolah diperas. Sebuah kem
Juliana buru-buru membuka pintu dan langsung terkejut melihat keadaannya.Pakaian pria itu berantakan, kemejanya tidak terkancing dengan rapi, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah, entah karena marah, sedih. "Joseph?" Juliana mengerutkan kening, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Apa yang terjadi?" Joseph menatapnya dalam diam selama beberapa detik sebelum tiba-tiba melangkah masuk, hampir membuat Juliana terhuyung ke belakang. "Joseph, kau kenapa?" Pria itu menggeleng pelan. "Aku hanya minum sedikit." Juliana bisa mencium bau alkohol yang kuat darinya. Joseph berjalan ke ruang tamu dan langsung menjatuhkan diri di sofa. Kepalanya menunduk, kedua tangannya meremas rambutnya dengan frustasi. Juliana menutup pintu dan mengikutinya. "Joseph, ada apa?" Butuh waktu beberapa saat sebelum Joseph akhirnya berbicara. "Lena berbohong padaku," suaranya serak, nyaris berbisik. Juliana mengernyit. "Apa maksudmu?" Joseph mengangkat kepalanya, dan untuk pertama kalinya, Juliana melihat t
Lena menatap punggung Joseph yang menjauh, rasa panik menyelimuti seluruh tubuhnya."Joseph!" ia berteriak, berlari dan menarik lengan pria itu sebelum ia benar-benar meninggalkan rumah. "Tolong, dengarkan aku dulu!"Joseph berhenti, tetapi tidak menoleh. Otot-otot rahangnya menegang, tangan yang digenggam Lena terasa kaku, seolah hanya menunggu detik berikutnya untuk menepisnya.Lena mencengkeramnya lebih erat, air matanya jatuh tanpa henti. "Aku tahu aku salah, aku tahu aku telah menipumu, tapi aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu!"Joseph menarik napas tajam sebelum akhirnya menoleh. Matanya yang dulu penuh kasih kini hanya memancarkan kebencian yang membakar."Cinta?" katanya dengan suara rendah, tetapi menusuk. "Jangan bicara tentang cinta padaku, Lena. Cinta bukan kebohongan. Cinta bukan manipulasi. Cinta bukan penghancuran."Lena menggeleng cepat, kepanikannya semakin memuncak. "Aku tidak ingin kehilanganmu! Aku takut kalau aku mengatakan yang sebenarnya, kau tidak ak
Suasana di ruang tamu terasa tegang. Lena duduk dengan gelisah di sofa, sementara Ariana berdiri di depannya dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya dipenuhi amarah."Jadi selama ini kau sudah membohongi Joseph dan aku?" Ariana membuka suara dengan nada tajam, matanya menatap Lena penuh kemarahan.Lena menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di atas pahanya. "Ariana, dengarkan aku dulu.""Tidak! Aku sudah cukup mendengarkan kebohonganmu, Lena!" Ariana memotong dengan suara bergetar. "Kau bilang Clarie adalah anak Joseph, kau membuat kami semua percaya selama ini! Bagaimana bisa kau melakukan ini?!"Lena menunduk, berusaha mengendalikan emosinya. "Aku tidak punya pilihan."Ariana mendengus marah. "Tidak punya pilihan? Kau bercanda?! Kau punya banyak pilihan, Lena! Tapi kau memilih untuk menipu Joseph dan membiarkannya berpikir bahwa Clarie adalah anaknya!"Lena mengangkat kepalanya, air mata menggenang di matanya. "Ariana, tolong Aku memohon padamu. Jangan beritahu Joseph!"Ari
Kafe yang mereka sepakati untuk bertemu berada di sudut kota, jauh dari pusat keramaian. Interiornya hangat dengan lampu temaram dan aroma kopi yang menguar di udara. Joseph tiba lebih dulu. Duduk di sudut ruangan dekat jendela besar, ia menyesap kopinya sambil menunggu Juliana datang.Pikirannya dipenuhi banyak hal tentang keputusan yang baru saja ia buat, tentang percakapannya dengan Lena dan tentang reaksi Juliana yang sebentar lagi akan ia hadapi.Beberapa menit kemudian, suara lonceng pintu berbunyi saat seseorang masuk. Juliana.Joseph menegakkan tubuhnya. Ia memperhatikan bagaimana wanita itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe sebelum akhirnya menemukan sosoknya.Juliana berjalan mendekat, langkahnya mantap, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya. Ia mengenakan mantel krem di atas gaun hitamnya, dengan rambut yang tergerai rapi.“Joseph,” sapanya pelan setelah ia duduk di kursi di hadapannya.Joseph menatapnya dalam. "Juliana."Pelayan datang untuk mencatat pesanan,
Di salah satu hotel mewah milik keluarganya, Joseph melangkah melewati lobi dengan langkah tegas dan penuh wibawa. Lantai marmer berkilau memantulkan sinar lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit, menciptakan atmosfer elegan yang memancarkan kelas tinggi. Aroma bunga segar dari rangkaian anggrek putih yang menghiasi meja resepsionis bercampur dengan wangi khas parfum mahal yang dipakai para tamu.Hotel berbintang lima ini adalah salah satu aset paling berharga keluarganya dan hari ini ia memutuskan untuk mengecek langsung bagaimana operasionalnya."Selamat siang, Tuan Joseph!" sapa seorang manajer hotel, pria berusia sekitar 40-an dengan setelan rapi dan sikap profesional. Namanya George, orang kepercayaannya dalam mengelola hotel ini."Pagi, George! Bagaimana situasi hotel?" tanya Joseph, matanya menyapu sekeliling, memperhatikan setiap detail.Lobi tampak sibuk namun tetap tertata. Seorang bellboy mendorong troli koper berisi barang-barang tamu yang baru datang, sementa
Setelah menutup telepon dari Reina, Juliana menatap langit malam yang gelap dari jendela apartemennya. Suara lalu lintas terdengar samar dari kejauhan, tetapi pikirannya terlalu kacau untuk benar-benar memperhatikannya. Reina benar. Joseph telah menyakitinya di masa lalu. Luka itu masih ada, meskipun waktu telah berlalu. Namun, melihat bagaimana Joseph berusaha untuk mengenal anak-anak mereka membuat pertahanannya perlahan runtuh. Ia berbalik dan berjalan ke ruang tamu, duduk di sofa sambil menggenggam ponselnya. Jarinya melayang di atas layar, ragu untuk mengirim pesan kepada Joseph. Juliana: Terima kasih sudah menemui Alya dan Malcom hari ini. Ia menatap pesan itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol kirim. Tak butuh waktu lama sebelum ponselnya bergetar. Joseph: Aku yang seharusnya berterima kasih. Mereka luar biasa. Aku beruntung bisa menjadi ayah mereka. Juliana menelan ludah, jantungnya berdebar lebih cepat. Ada sesuatu dalam kata-kata Joseph yang terasa b
Juliana duduk di ruang tamunya, menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Layar ponselnya masih menyala, menampilkan pesan terbaru dari Joseph.Joseph: Terima kasih sudah mengizinkanku bertemu mereka. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.Juliana menutup matanya, menghela napas panjang. Ia bisa merasakan ketulusan dalam pesan itu.Namun, ia masih takut.Takut berharap. Takut kecewa lagi. Takut membiarkan masa lalu kembali menyakitinya. Suara langkah kaki kecil terdengar mendekat."Mommy?"Juliana membuka matanya dan mendapati Alya berdiri di dekatnya, menatapnya dengan mata besarnya yang jernih."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut, berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya.Alya tersenyum kecil, menaiki sofa dan duduk di sampingnya. "Aku suka Joseph."Juliana terdiam.Gadis kecil itu mengayunkan kakinya pelan di tepi sofa. "Dia baik. Dia membawakan kami buku cerita."Juliana tersenyum tipis. "Benarkah?"Alya mengangguk penuh semangat. "Dia juga bilang dia akan selalu ada u