Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu
“Loh, kok marah-marah, Sari? Kita rekan kerja loh sekarang,” ujarnya dengan wajah polos bak bidadari.
Aku sudah berdiri tepat di sebelah kursinya, mencengkeram benda itu sebagai ganti surai Desty. “Marah? Kamu sudah gila, Desty? Telingamu budek? Kamu tuli sampai enggak dengar peringatanku tadi malam?”
“Denger, sih ... ya gimana, ya? Mas Janu yang minta aku bekerja di sini, bukan mauku loh. Maaf, aku juga terpaksa datang ke sini, Sari,” jelasnya dengan ekspresi yang semakin membuat mual.
“Apa benar, Mas?” tanyaku pada Mas Janu. Pria itu menjadi pucat pasi, beberapakali dia mengerling agar tatapan kami tidak bertemu.
“Kamu kelewatan, Mas! Kamu enggak nganggap aku dan Nandya lagi, hah?” seruku tinggi.
“Sar ... tunggu dulu, jangan luapkan di sini. Kamu bisa jadi bahan gosip seisi kantor,” tahan Yulia. Wanita itu mencoba merangkulku agar segera menjauh dari Desty. Memintaku bersikap lebih bijaksana dan tidak mengutamakan emosi.
“Nah, kan ... makanya Sar jadi perempuan ja ....”
Tapi aku, tidak mampu menahan kekecewaanku pada Mas Janu dan Desty. Tanganku yang sedari tadi menempeli kursi, berpindah ke surai Desty yang tercepol rapi. Seketika, wajah wanita itu tertengadah dan jerit kesakitan darinya menggema.
“Apa-apaan kamu, Sari!” Desty terus meliuk-liuk, mencoba melepaskan diri. Rasa perih yang merongrong kulit kepalanya semakin menjadi-jadi setiap kali tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku tidak perduli sama sekali, semua rasa sakit kutumpahkan dalam tarikan panjang nan keras.
“Gila! Mas ... Mas Janu! Istrimu sudah gila!” umpatnya tanpa henti.
Yulia ikut menahan tanganku, mencoba melerai pembalasan yang kulakukan pada wanita tanpa malu itu. Tetapi sia-sia saja, tenagaku jauh lebih besar dari Yulia. Wanita itu kudorong menjauh dari Desty dengan tangan kiri, lalu menjambak Desty lebih keras lagi.
Kini, jerit kesakitan berubah menjadi lolongan panjang tanpa ujung. Desty mengemis bantuan dari Mas Janu yang bagaikan patung, serta Yulia yang masih terkejut dengan kekuatanku.
“Kamu mau merusak rumah tanggaku? Mau rambutmu botak, hah?” ancamku. Desty meraung lagi, tubuhnya yang lebih tinggi ternyata tidak sepadan dengan kekuatannya. Wanita itu tidak punya tenaga untuk meloloskan diri dari jerat jambakanku.
“Aku memberimu peringatan, bukan mengajakmu main rumah-rumahan! Tapi jika kamu masih mau, aku akan membangunkanmu sebuah rumah ... rumah hantu!” tegasku seraya menghempas Desty.
Wanita itu terjengkang, hampir saja terjatuh jika tidak sempat berpegangan pada lengan kursi.
“Sar ... kamu kelewatan, kamu melakukan kekerasan!” seloroh Mas Janu, namun dia tidak beranjak dari posisinya untuk membantu Desty.
Aku mengurai senyum, merasa muak dengan pria ini, juga Desty. “Aku kelewatan? Kalian berdua memang perlu dibelikan kaca biar sadar diri!”
“Sari ... kamu tidak seharusnya bersikap jahat sama aku dan Karnelia. Aku kerja cuma buat ngebiayain dia dirawat di rumah sakit, Sar,” elak Desty dengan mata berkaca.
Aku mencebik lagi, bibir Desty sudah bergitu fasih memanggil namaku, tanpa menambahkan embel-embel mba di belakangnya seperti semalam. Dan, begitu lihai dalam berdusta.
“Desty ... kamu yang harusnya sadar diri.” Yulia angkat bicara, mungkin geram dengan sandiwara dari gadis yang begitu dekat dengannya di masa lalu.
Yulia berjalan mendekati kami, ditatapnya terus paras Desty yang memerah akibat rasa sakit di kulit kepalanya. Wanita itu menggeleng, lantas melanjutkan kalimatnya, “Kamu sendiri yang ninggalin Mas Janu dulu, kenapa sekarang kamu datang lagi, sih? Kamu butuh uang ... aku bisa ngasih kamu uang. Jangan jadi wanita murahan seperti ini.”
“Kamu ngatain aku murahan? Dia yang murahan!” Desty menunjukku.
“Eh ... apa-apaan ini?”
“Gara-gara dia, Yul ... aku enggak bisa jadi istri Mas Janu.”
“Tobat kamu, Des! Jelas-jelas kamu yang duluan pergi ninggalin Mas Janu karena dulu dia masih karyawan biasa. Sekarang kamu tahu jabatannya tinggi, kamu datang lagi. Dimana rasa malumu, hah? Bahkan aku malu punya teman seperti kamu!” sergah Yulia berapi-api. Keduanya terlibat adu mulut dalam jangka waktu yang cukup lama. Syukurnya, kantor Mas Janu sudah dipasangi pengedap suara, hingga tidak akan terlalu kentara jika kami sedang bersilat kata.
“Sar ... kita bicara nanti di rumah, ya?” Mas Janu menengahi.
“Sekarang, kalian silahkan keluar dari kantorku!” lanjutnya lagi.
Mendorong perlahan, Mas Janu memaksa kami bertiga angkat kaki dari ruangannya yang luas dan nyaman. Aku dan Yulia menurut meski masih kesal, sedangkan Desty mulai merengek-rengek pada suamiku.
“Keluar, Des! Nganjen juga harus ada batasnya!” sambar Yulia seraya menarik Desty menjauh dari Mas Janu.
Terakhir kalinya, sebelum menutup rapat pintu kantor Mas Janu, sempat kulihat parasnya yang lelah dan bingung. Suamiku mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian membuang pandangannya melalui jendela lebar di belakangnya.
--
Saat jam makan siang tiba, aku dan Yulia memutuskan untuk delivery dibanding harus keluar ke rumah makan terdekat dengan kantor. Fokusku yang terpecah akibat kejadian pagi tadi serta kehadiran Desty di kubikel di belakang kami membuat seluruh pekerjaanku berantakan, tidak ada yang beres sama sekali.
Belum lagi, setiap ada karyawan lelaki yang lewat di unit kami, Desty dengan ringannya menyapa mereka satu per satu seraya tersenyum. Tidak jarang, mengobrol barang beberapa kata sebelum akhirnya bertukar nomor telepon.
Aku yang melihat semua itu, sempat merekam pembicaraan Desty dan karyawan lain, untuk kutunjukkan pada Mas Janu sepulang nanti. Membuktikan pada pria itu, jika Desty tidak sebaik yang dikiranya selama ini, dan memastikan ini terakhir kalinya Mas Janu berada dalam lingkaran setan yang dibangun Desty.
“Saved?” Yulia berbisik.
“Done!” balasku hampir tidak terdengar.
Aku menyimpan rekaman salinan itu dan menduplikasinya di folder yang berbeda. Takut-takut ada kejadian tidak terduga hingga mengakibatkan bukti berharga ini menghilang.
Seraya tersenyum penuh arti pada Yulia, aku mengecek lagi aplikasi pengiriman makanan yang sedang mengantarkan pesanan kami. Meski rasanya mencekik bekerja di bawah atap yang sama dengan wanita berhati jahat itu, tetap saja aku akan makan enak dan kenyang, demi mengumpulkan tenaga melawan setiap perilaku busuk yang dia tunjukkan di masa depan.
“Makan apa, Sari?” Mas Janu menyapa, dia sudah berdiri di dekat mejaku.
Aku menengadah malas, menatap pria yang memberiku bidadari -- Nandya. Jika bukan karena gadis kecil yang tinggal bersama Mbok Sunem di rumah, maka melihat Mas Janu sudah tidak akan pernah lagi kulakukan sebelum dia menghentikan kegilaannya bersama Desty.
“Mas Janu, kita makan bareng, yuk?”
Aku belum menjawab, tapi Desty sudah lebih dulu menyambar. Benar-benar rasa sakitnya tadi telah hilang, mungkin wanita itu ingin merasakannya lagi di bagian yang lain.
Bab 5: Bukti Rekaman“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.“Loh, bukannya
Bab 6: Pelajaran untuk Desty Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya. Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit. Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini. “Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbis
Bab 7: Pilih Aku atau Dia? “Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku. “Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi. Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis. Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku. “Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku. Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis. Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternya
Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana
Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M
Bab 11: Hadiahkah Ini? Aku menatap dokter itu dengan sorot mata bingung. Telingaku mendengarnya dengan sangat jelas, tapi rasanya tetap seperti mimpi. Bagaimana bisa dokter itu memvonisku mengandung? Benarkah ini? Sejak kapan ada bayi mungil di dalam perutku yang sangat rata? “Saya sarankan Anda mengunjungi dokter obgyn. Mungkin, masih kehamilan awal, makanya Anda belum menyadarinya.” Dokter tersebut berterus terang. “Saya juga tidak tahu apa yang terjadi di dalam pernikahan Anda, tapi saya sarankan ada baiknya Anda membahas hal ini dengan suami Anda. Dalam beberapa kasus, kehamilan bisa menjadi pemikat kuat antara pasangan.” Aku terhenyak. Rasanya masih tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa aku mengandung kembali setelah sekian lama kosong? Bahkan, hubungan terakhirku dengan Mas Janu itu bulan lalu. Apa saat itu? Aku mengusap dada. Denyut jantung jadi lebih cepat dibanding sebelumnya. Bukankah harusnya aku bahagia karena akan
Bab 12: Panggilan yang Mencurigakan “Aku apa, Sari? Kenapa kamu jadi bingung begini, sih?” protesnya. Mas Janu lalu melirikku untuk kesekian kalinya. Dia pasti bingung melihat bagaimana gugupnya aku saat ini. Padahal, yang ingin kusampaikan padanya adalah berita besar yang tentu akan menggembirakan. “Apa pendapatmu soal kita ....” Lagi, lidahku kelu. Entah mengapa keraguan jauh lebih besar sampai aku tidak mampu mengungkapkannya pada Mas Janu. Benarkah ini pertanda akan ada hal buruk yang kami alami nantinya? Kuyakinkan lagi hati ini. Mas Janu berhak untuk tahu lebih dulu dibanding orang lain. Baru saja bibir ini hendak terbuka, Mas Janu berpaling ke arah gawainya yang dia simpan di dashboard mobil. Buru-buru Mas Janu mengambilnya, seolah khawatir jika aku merebutnya lebih dulu. Benda pipih yang mencurigakan itu berdering sangat pelan. Biasanya, Mas Janu selalu menyalakan dering lumayan keras agar dirinya bisa cepat me
Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi
Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka
Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa
Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan
Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq
Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia
Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud
Bab 48: Kisah di Masa Lalu Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.