Bab 7: Pilih Aku atau Dia?
“Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku.
“Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi.
Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis.
Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku.
“Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku.
Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis.
Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternyata sudah memenuhi ruangan ini. Mereka menatap ke arahku, seakan-akan aku ini monster buruk rupa, bahkan menaruh iba pada Desty karena kini pria-pria itu berbondong-bondong membantunya berdiri.
Desty terlihat begitu lemah, kedua lututnya seperti tidak punya tenaga, dan aku yakin benar semuanya hanya sandiwara. Dua karyawan pria yang memapah Desty memberi perintah agar segera menghubungi ambulans. Menurut mereka Desty terluka cukup parah hingga harus diberi pertolongan.
Bersamaan dengan Desty yang pergi, tersisa aku, Mas Janu dan Yulia di ruangan ini. Tidak ada satu karyawan pun yang menaruh iba padaku, mereka menilai jika Destylah yang benar dan aku yang salah. Meski marah pun, tidak seharusnya sampai semengerikan ini, begitulah dengungan lebah yang terus terdengar.
“Kamu kelewatan, Sar!” tambah Mas Janu. Luka di hatiku kian melebar, mungkin sebentar lagi akan bernanah lalu membusuk. Pria ini memihak Desty dibandingkan istrinya sendiri yang mengambil jalan pintas demi menyelamatkan rumah tangga.
Aku meneguk sakit itu, mengusap seluruh air mata di kedua belah pipi, “Terserah kamu, Mas! Pergi saja sana sama pria-pria itu, ngejar Desty!” serangku.
“Kenapa ngejawab, Sar? Kamu tahu, kamu itu melakukan kekerasan sama Desty!”
“Mas sama seperti mereka!” Gigiku gemeretak. Kesal melihat Mas Janu yang dibutakan matanya oleh wanita itu.
“Ini kantor, Sar! Kamu sadar enggak apa jadinya setelah hari ini, hah? Kamu mau dicap sebagai wanita mengerikan? Wanita kasar dan keras?” Mas Janu terus meneriakiku, menambah sayat-sayat baru di hatiku yang sudah berdarah.
Aku membuang pandangan, menatap sembarang arah demi menghindari mata Mas Janu. Pria itu masih tidak mau mengerti tentang apa yang kupikirkan hingga menuduh dan mengataiku macam-macam. Mengabaikan perjuanganku selama ini untuk membahagiakan dirinya dan lebih memilih memihak wanita yang sudah memberinya luka.
Ya ... tentu ini semua soal paras. Siapa yang tidak mengakui keindahan paras wanita itu? Saat kuliah dulu, dia adalah primadona kampus yang membuat pria mana pun bisa bertekuk lutut, termasuk Mas Janu. Setidaknya itulah yang dikisahkan Yulia padaku.
“Yul ... bawa Sari pulang!” Mas Janu menoleh ke arah Yulia.
“Aku tidak mau, Mas! Kamu mengusirku?”
“Kamu harus menenangkan dirimu di rumah. Pikirkan baik-baik apa yang sudah kamu lakukan barusan, dan jangan berani ke kantor kalau belum minta maaf sama Desty!” perintahnya.
“Aku enggak akan pernah minta maaf!”
“Sari!” Mas Janu kembali meneriakiku. Pria itu membuka kait kancing dari jasnya, lalu menekan keningnya sendiri.
“Kamu berubah, Sar ....”
“Aku berubah? Mas yang berubah!” tunjukku padanya. “Mas mulai mengabaikanku dan Nandya setelah bertemu dengan Desty di reuni dulu. Apa yang sebenarnya dia lakukan padamu, Mas ... sampai kamu jadi seperti ini!”
“Yul ... bawa Sari pulang!” Mas Janu kembali memerintah Yulia.
“Ya sudah, Sari ... kita pulang dulu, ya? Aku akan nemenin kamu di rumah,” ucap Yulia.
Wanita itu mendekatiku, lantas memapahku dengan kedua tangannya yang penuh kehangatan. Kutatap sekali lagi Mas Janu yang jahat itu dengan air mata yang kian berderai. Tidak kusangka, jika jatuh cinta padanya dulu membuat hatiku seterluka ini.
Dengan diantar dan ditemani Yulia, aku pulang ke rumah. Kurasakan wajah yang sembab dan panas, sedangkan air mataku masih menetes tanpa henti.
“Mbok ... buka pintu! Ini aku Yulia dan ibu!” teriak Yulia seraya mengetuk pintu dengan keras.
Aku masih bersandar padanya, menumpu diri karena kedua lutut ini tidak lagi bisa menolongku sama sekali. Perasaanku begitu terluka setelah diteriaki Mas Janu. Belum lagi sikapnya yang lebih mengutamakan Desty dibanding aku istrinya sendiri.
--
“Bu ... kenapa, Bu?” Mbok Sunem memelotot setelah membuka pintu. Aku pergi dalam keadaan yang rapi, lantas pulang dengan wajah sembab dan rambut acak-acakkan. Kemeja kantorku juga basah di bagian depan, serta sepatu dan rok yang lembab berkat menghajar Desty di kantor tadi.
“Mbok ... bantu aku dulu, ya?” pinta Yulia.
Mbok Sunem mengangguk, kemudian memapahku bersama Yulia hingga ke kamar. Meski sedikit terseok, aku berhasil sampai dan duduk di ranjang dekat dengan Nandyaku yang berharga. Gadis kecil itu sudah terlelap, mungkin lelah bermain bersama Mbok Sunem pagi tadi.
Segera, aku merebahkan tubuh di sisi Nandya, memeluk gadis kecilku seperti yang dilakukan Mas Janu dulu, kemudian menumpahkan segala rasa sakit di sana. Aku terisak hampir seperti meraung, memukuli dada karena terasa sesak. Di sisiku hanya ada Yulia, memberi beberapa kata-kata agar aku menjadi tenang.
“Desty benar-benar kelewatan! Aku akan bicara dengannya nanti, Sar.”
“Memangnya akan ada yang berubah?” ucapku di sela-sela tangis.
“Aku yang salah, Yul ... tidak seharusnya mencoba mendapatkan Mas Janu di saat hatinya sedang terluka parah karena Desty dulu.”
“Astaga, Sar ... kamu ngomongin apa, sih? Semua ini salahnya Desty, dia yang pergi ninggalin Mas Janu padahal mereka sudah tunangan. Sekarang, saat dia dibuang sama juragan emas itu, dia datang ke Mas Janu.”
“Tetap aku yang salah. Karena ini salahku, biar aku dan Nandya yang pergi dari sini. Mas Janu mungkin lebih senang, karena bisa bersama Desty,” sahutku seraya bangkit dari ranjang.
Aku mendekati almari, lalu menurunkan koper paling besar meski jalanku saja masih sempoyongan. Berkat itu, benda berat itu terjatuh menghantam lantai, menimbulkan bunyi berdebam yang mengagetkan Nandya. Kulihat salah satu rodanya menggelinding lalu menabrak dinding.
“Kamu mau ke mana, Sar?” tahan Yulia. “Jangan gila!”
“Aku harus mengusaikan semua ini, Yul. Mas Janu harus memilih, antara aku dan Nandya atau Desty!” pungkasku tanpa berhenti beraksi. Aku tidak akan membiarkan hal ini berlanjut dengan mudahnya. Luka yang akan terjalin di hati bisa saja menarikku ke jurang yang tidak bertepi. Nandya juga bisa terseret di dalamnya. Aku tidak ingin begini.
Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu
Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana
Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M
Bab 11: Hadiahkah Ini? Aku menatap dokter itu dengan sorot mata bingung. Telingaku mendengarnya dengan sangat jelas, tapi rasanya tetap seperti mimpi. Bagaimana bisa dokter itu memvonisku mengandung? Benarkah ini? Sejak kapan ada bayi mungil di dalam perutku yang sangat rata? “Saya sarankan Anda mengunjungi dokter obgyn. Mungkin, masih kehamilan awal, makanya Anda belum menyadarinya.” Dokter tersebut berterus terang. “Saya juga tidak tahu apa yang terjadi di dalam pernikahan Anda, tapi saya sarankan ada baiknya Anda membahas hal ini dengan suami Anda. Dalam beberapa kasus, kehamilan bisa menjadi pemikat kuat antara pasangan.” Aku terhenyak. Rasanya masih tidak bisa dipercaya. Bagaimana bisa aku mengandung kembali setelah sekian lama kosong? Bahkan, hubungan terakhirku dengan Mas Janu itu bulan lalu. Apa saat itu? Aku mengusap dada. Denyut jantung jadi lebih cepat dibanding sebelumnya. Bukankah harusnya aku bahagia karena akan
Bab 12: Panggilan yang Mencurigakan “Aku apa, Sari? Kenapa kamu jadi bingung begini, sih?” protesnya. Mas Janu lalu melirikku untuk kesekian kalinya. Dia pasti bingung melihat bagaimana gugupnya aku saat ini. Padahal, yang ingin kusampaikan padanya adalah berita besar yang tentu akan menggembirakan. “Apa pendapatmu soal kita ....” Lagi, lidahku kelu. Entah mengapa keraguan jauh lebih besar sampai aku tidak mampu mengungkapkannya pada Mas Janu. Benarkah ini pertanda akan ada hal buruk yang kami alami nantinya? Kuyakinkan lagi hati ini. Mas Janu berhak untuk tahu lebih dulu dibanding orang lain. Baru saja bibir ini hendak terbuka, Mas Janu berpaling ke arah gawainya yang dia simpan di dashboard mobil. Buru-buru Mas Janu mengambilnya, seolah khawatir jika aku merebutnya lebih dulu. Benda pipih yang mencurigakan itu berdering sangat pelan. Biasanya, Mas Janu selalu menyalakan dering lumayan keras agar dirinya bisa cepat me
Bab 13: Ketukan Pintu dan Panggilan Putus Asa Malam itu, aku mengambil keputusan sulit dengan mengunci pintu depan. Mas Janu yang pergi untuk Desty tidak akan kuberi kesempatan untuk masuk. Dia sudah memilih, dan kubiarkan dia pergi dengan pilihannya. Semua itu kuterima meski hati ini tersayat sakit. Sembari menemani Nandya bermain, aku termenung berulang kali. Pernikahan yang kukira akan abadi, kapal yang kusangka akan terus berlabuh sampai ke pelabuhan terakhir, nyatanya goyang diterpa badai di awal perjalanan. “Nandya dan aku bisa tanpa papa,” bisikku pada diri sendiri. Nandya tidak mengerti arti dari air mata serta tindakan tersebut. Dia hanya terus bermain dan bermain, seolah esok hari akan tetap sama seperti ini. Lalu, kudengar ketukan pintu dari luar. Aku melirik jam di dinding, tepat pukul dua belas malam. Untuk pertama kalinya aku membiarkan Nandya bermain hingga larut dan aku terjaga dengan mata membengkak. K
Bab 14: Mas Janu dan Desty“Biadap sekali kalian berdua!” seruku dengan jari yang mengacung ke arah mereka.Bagaimana bisa Mas Janu dan Desty terus bersama meski kami baru saja bertengkar. Di depanku saat ini, Mas Janu duduk di atas kursi putarnya yang sempat kucintai, sedangkan Desty berada di depan meja dengan posisi condong ke arah Mas Janu.Mereka berdua sangat dekat, posisi mereka juga bisa menimbulkan kesalahpahaman. Saat aku menerobos ke ruangan mereka, hanya Mas Janu yang terkejut, sedangkan Desty berbalik dengan sikap yang sangat anggun, seakan sudah menanti semua ini.“Sari?” Mas Janu berseru. Dia hendak meninggalkan kursinya sebelum aku meluncur cepat ke arah mereka berdua.“Tidak perlu bangun, kali ini aku yang datang!” balasku.Begitu tepat berada di depan mereka berdua, kuambil botol tinta yang ada di atas meja Mas Janu. Benda itu aku buka dan isinya segera melumuri tangan.
Bab 15: Melaporkan Mas JanuBolehkah begini? Aku mendadak ragu saat tiba di sebuah rumah yang sederhana.Pagi-pagi buta, aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Mas Janu dan Mbok Sunem. Aku memboyong Nandya dan melarikan diri jauh dari mereka.Kuhela napas, rasanya tidak adil jika kulakukan hal ini. Tapi, hanya di sinilah perlindungan yang bisa kudapatkan sekarang. Mereka pasti akan memihakku, setidaknya untuk sementara waktu.“Mari, Sayang?” lirihku pada Nandya.Bayi itu masih terlelap di atas kereta bayinya. Kulepas benda itu dan langsung memasang kaki untuk menumpu. Kami akan menginap di sini sampai permasalahan ini mencapai titik terang. Tidak masalah jika Mas Janu dan Desty akan tetap menikah, tapi setidaknya aku berhasil membuat mereka tahu kelakuan sebenarnya Mas Janu terhadap anak dan istri sahnya.Kami lantas berjalan masuk. Mobil terparkir di halaman luas yang bisa digunakan untuk bermain sepeda.
Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi
Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka
Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa
Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan
Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq
Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia
Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud
Bab 48: Kisah di Masa Lalu Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.