Bab 12: Panggilan yang Mencurigakan
“Aku apa, Sari? Kenapa kamu jadi bingung begini, sih?” protesnya.
Mas Janu lalu melirikku untuk kesekian kalinya. Dia pasti bingung melihat bagaimana gugupnya aku saat ini. Padahal, yang ingin kusampaikan padanya adalah berita besar yang tentu akan menggembirakan.
“Apa pendapatmu soal kita ....” Lagi, lidahku kelu. Entah mengapa keraguan jauh lebih besar sampai aku tidak mampu mengungkapkannya pada Mas Janu. Benarkah ini pertanda akan ada hal buruk yang kami alami nantinya?
Kuyakinkan lagi hati ini. Mas Janu berhak untuk tahu lebih dulu dibanding orang lain.
Baru saja bibir ini hendak terbuka, Mas Janu berpaling ke arah gawainya yang dia simpan di dashboard mobil. Buru-buru Mas Janu mengambilnya, seolah khawatir jika aku merebutnya lebih dulu.
Benda pipih yang mencurigakan itu berdering sangat pelan. Biasanya, Mas Janu selalu menyalakan dering lumayan keras agar dirinya bisa cepat me
Bab 13: Ketukan Pintu dan Panggilan Putus Asa Malam itu, aku mengambil keputusan sulit dengan mengunci pintu depan. Mas Janu yang pergi untuk Desty tidak akan kuberi kesempatan untuk masuk. Dia sudah memilih, dan kubiarkan dia pergi dengan pilihannya. Semua itu kuterima meski hati ini tersayat sakit. Sembari menemani Nandya bermain, aku termenung berulang kali. Pernikahan yang kukira akan abadi, kapal yang kusangka akan terus berlabuh sampai ke pelabuhan terakhir, nyatanya goyang diterpa badai di awal perjalanan. “Nandya dan aku bisa tanpa papa,” bisikku pada diri sendiri. Nandya tidak mengerti arti dari air mata serta tindakan tersebut. Dia hanya terus bermain dan bermain, seolah esok hari akan tetap sama seperti ini. Lalu, kudengar ketukan pintu dari luar. Aku melirik jam di dinding, tepat pukul dua belas malam. Untuk pertama kalinya aku membiarkan Nandya bermain hingga larut dan aku terjaga dengan mata membengkak. K
Bab 14: Mas Janu dan Desty“Biadap sekali kalian berdua!” seruku dengan jari yang mengacung ke arah mereka.Bagaimana bisa Mas Janu dan Desty terus bersama meski kami baru saja bertengkar. Di depanku saat ini, Mas Janu duduk di atas kursi putarnya yang sempat kucintai, sedangkan Desty berada di depan meja dengan posisi condong ke arah Mas Janu.Mereka berdua sangat dekat, posisi mereka juga bisa menimbulkan kesalahpahaman. Saat aku menerobos ke ruangan mereka, hanya Mas Janu yang terkejut, sedangkan Desty berbalik dengan sikap yang sangat anggun, seakan sudah menanti semua ini.“Sari?” Mas Janu berseru. Dia hendak meninggalkan kursinya sebelum aku meluncur cepat ke arah mereka berdua.“Tidak perlu bangun, kali ini aku yang datang!” balasku.Begitu tepat berada di depan mereka berdua, kuambil botol tinta yang ada di atas meja Mas Janu. Benda itu aku buka dan isinya segera melumuri tangan.
Bab 15: Melaporkan Mas JanuBolehkah begini? Aku mendadak ragu saat tiba di sebuah rumah yang sederhana.Pagi-pagi buta, aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Mas Janu dan Mbok Sunem. Aku memboyong Nandya dan melarikan diri jauh dari mereka.Kuhela napas, rasanya tidak adil jika kulakukan hal ini. Tapi, hanya di sinilah perlindungan yang bisa kudapatkan sekarang. Mereka pasti akan memihakku, setidaknya untuk sementara waktu.“Mari, Sayang?” lirihku pada Nandya.Bayi itu masih terlelap di atas kereta bayinya. Kulepas benda itu dan langsung memasang kaki untuk menumpu. Kami akan menginap di sini sampai permasalahan ini mencapai titik terang. Tidak masalah jika Mas Janu dan Desty akan tetap menikah, tapi setidaknya aku berhasil membuat mereka tahu kelakuan sebenarnya Mas Janu terhadap anak dan istri sahnya.Kami lantas berjalan masuk. Mobil terparkir di halaman luas yang bisa digunakan untuk bermain sepeda.
Bab 16: Kebenaran dari Bibir Mas Surya Kulihat pria bernama Surya itu ragu untuk jujur dan berterus terang soal ucapannya barusan. Bagaimana bisa dia tiba-tiba menyebutkan soal peringatannya terhadap Mas Janu lalu terdiam seperti kebingungan setelahnya? Jika sekarang dia mengelak, maka baik aku, ibu dan bapak mertua tentu tahu kalau Mas Surya sedang berdusta. “Jawab Mbak, Surya?” tuntut ibu mertua dengan intonasi yang tinggi. Wanita itu tidak menyangka jika adiknya yang berusia jauh di bawahnya itu bisa mengatakan sesuatu yang begitu mengejutkan. Tidak ingin tinggal diam dan hanya menonton, aku lekas bersuara setelah ibu mertua, “Apa maksudnya, Mas Surya? Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku selama ini?” Aku hendak berdiri, namun ibu mertua meminta agar dia saja yang menghadapi Mas Surya. Memang benar, jika pria itu tidak akan mudah membuka mulut, apa lagi menurut pada permintaan orang lain. Hanya ibu Mas Surya saja yang didengar
Bab 17: Fakta yang MenyesakkanSudah jam lima sore dan Mas Surya serta bapak dan ibu mertua belum terlihat batang hidungnya. Tidak ada yang memberiku kabar, atau sekadar pesan singkat soal kondisi bapak di rumah sakit.Mas Surya juga tidak menghubungi, wajar saja mungkin dia memang tidak memiliki nomorku. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi dan bapak mertua kembali sehat. Setidaknya, berdoa adalah cara yang kulakukan untuk menebus dosa pada mereka.Lama duduk di sana, aku mulai merasa lapar. Bapak dan ibu serta Mas Janu pasti tidak akan pulang dengan banyak makanan. Mereka sedang di rumah sakit dan bukannya bersenang-senang.Kuputuskan untuk memasak. Dapur ibu mertua selalu dipenuhi oleh berbagai bahan makanan. Hampir tidak perlu ke pasar, kecuali saat di awal dan pertengahan bulan untuk mengisi stok yang menipis. Sisanya dihasilkan oleh kebun bapak.Butuh waktu hampir satu jam untuk memasakkan mereka teri sambal dan tumis
Bab 18: Mendung di Rumah MertuaAku terhenyak melihat kehadiran sebuah ambulans di belakang Mas Surya. Dia ternyata kembali lebih dulu memimpin jalan dengan mobilku, kemudian di susul oleh mobil yang terus mengeluarkan bunyi sirene.Kehadiran mobil itu mengundang rasa penasaran para tetangga kiri dan kanan. Mereka bergegas keluar dan tampak panik mendengar bunyi yang menandakan kesedihan itu.Mas Janu yang awalnya tidak mengerti perkataan pamannya lekas berdiri. Dia menatap dengan dua matanya yang jernih mobil berwarna putih tersebut. Kemudian, dia menghambur keluar tanpa peduli padaku atau Desty yang dia puja.“Bapak? Bapak ....” Mas Janu berteriak. Pintu belakang mobil ambulans terbuka dan dua perawat yang mengantar melompat turun. Mereka juga menurunkan brankar yang membawa jasad bapak dan membantu ibu mertua.Tampak wajah ibu mertua merah, pipinya basah bersimbah kesedihan, merenggut semua senyum yang selama ini ter
Bab 19: Selamat Jalan Bapak Mertua Alangkah terkejutnya aku mendengar itu semua. Dibandingkan menyebut namaku untuk menenangkan warga dan kerabat, Mas Janu lebih memilih menyebut nama Desty. Pelaku yang menghancurkan kedamaian di dalam keluarga kami itu, haruskah dia membelanya di saat begini? Tidak cukupkah tinju Mas Surya hingga Mas Janu masih mencoba berulah?Akibatnya, warga terdiam. Mereka saling berpandangan dan mulai berbisik lebih tajam. Di depan wajah almarhum bapak mertua Mas Janu menyebutkan nama Desty dan mengakui wanita itu.“Cukup, Mas!” Aku berseru. “Apa kamu tidak bisa melihat kondisi saat ini?”“Diam, Sar! Kamu penyebab bapak pergi. Ulahmu yang merusak kedamaian di rumahku. Apa yang kamu lakukan di sini tanpa seizinku, hah?” Mas Janu berteriak.Terungkaplah sudah pertikaian di dalam rumah tanggaku dan Mas Janu. Semua orang yang ada di sana pada akhirnya mengetahui perihal persel
Bab 20: Benarkah itu? “Mbak, tolong jangan asal bicara!” ujarku padanya. Wanita itu kuminta menjaga jarak dengan kode dua tangan. Benar kata Mas Janu dahulu, sebaiknya kuhindari dia agar tidak menambah masalah saja. Wanita di depanku ini sangat mudah bicara meski tidak memiliki bukti sekalipun. “Ya Mbak Sari, saya ini serius, loh! Mbak harus percaya sama saya karena memang ini informasi yang saya dapat secara langsung!” ucapnya. Kututup kedua telinga dengan telunjuk. Aku menunjukkan secara langsung padanya jika sikapnya barusan tidak patut untuk ditiru sama sekali. “Ih, Mbak ... jangan begitu. Kita kan sebagai perempuan yang dikhianati suami harus saling mendukung!” ucapnya lagi yang tentu saja aku respons dengan spontan. Dia sangat tidak sopan padaku. Padahal, kami baru bertemu lagi setelah sekian lama. Bibirnya yang tebal langsung menghujat pemilik rumah yang berduka karena kehilangan keluarga. Hal itu dilakukannya d
Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi
Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka
Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa
Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan
Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq
Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia
Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud
Bab 48: Kisah di Masa Lalu Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.