Bab 48: Kisah di Masa Lalu
Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.
Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.
Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.
“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.
Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.
“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.
Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud
Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq
Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa
Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan
Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa
Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka
Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi
Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi
Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka
Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa
Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan
Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq
Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia
Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud
Bab 48: Kisah di Masa Lalu Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.