Share

Bab 5

Mas Abri langsung kaget mendapati aksiku tadi. Sejenak dia terdiam dengan bola mata yang membulat. Setelah itu dia langsung bangkit dari kursinya dan menatapku penuh dengan rasa tidak percaya. 

"A-apa yang kamu lakukan?" Dia jadi mendadak gugup. 

Aku mengangkat bahuku, santai. "Ya cium suami akulah. Apa lagi emang?" 

Dia mengerjap-erjap, tampak jadi sulit bicara. Perlahan dia mengusap pipinya bekas kecupanku tadi. "Jangan seperti ini, Airin. Nggak baik. Kamu nggak lihat ada anak kamu?" 

"Anak kamu, anak kamu, anak kamu!" omelku, tak suka dengan ucapannya yang ini. "Kamu ya, Mas. Ngomongin Aila itu udah kayak bukan anak kamu. Memangnya bisa ya aku buat Aila sendirian tanpa kamu? Heran deh!"

Dia menghela napas, mungkin menyesal. "Maaf. Maksudnya ... itu ... apa, iya, anak kita." 

"Tuh kan! Ihhh, kamu makin aneh aja deh, Mas. Kenapa sih? Kenapa kamu kayaknya nggak terima gitu? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan kamu udah nggak anggap kami ini ada? Iya? Malu ngakuin kami sebagai anak dan istrimu?" Kekesalanku semakin menjadi-jadi. 

Habisnya, Mas Abri banyak sekali berubahnya. Setiap ucapannya selalu saja mengundang emosiku. Siapa coba yang tidak curiga kalau sudah begini? 

"Kan aku sudah bilang, jangan berpikir yang buruk-buruk. Kenapa kamu suka sekali buat asumsi yang nggak-nggak? Hobi banget kayaknya nyakitin diri?" bujuknya, paling bisa! 

Aku memutar bola mata, jengah. "Ya kalau gitu buktikan, dong! Jangan malah buat orang makin curiga. Logikanya, suami mana yang nggak langsung peluk cium istrinya sehabis pulang merantau? Cuma Mas doang kali. Karena Mas emang udah nggak sayang sama kami. Mas juga nggak anggap kami ada lagi. Atau jangan-jangan Mas bakalan ninggalin kami buat orang lain!"

Kulihat dia meringis mendengar ocehanku. Dia mengusap tengkuknya, seolah menangkan diri dari segala omelan istrinya ini. 

Tapi jujur, seru juga kalau sudah menceramahi suamiku. Karena sudah lama tak bertemu, aku jadi menyukai adegan-adegan seperti ini. Untungnya suamiku tidak balas marah-marah. Untuk sifatnya yang ini, memang tidak berubah.

"Nggak ada, Airin. Abri itu orangnya setia. Nggak ada yang macam-macam," ucapnya kemudian yang seketika itu saja membuatku mengernyit heran. 

"Lho, kok kayak Mas lagi ceritain orang lain sih?" tanyaku, memang agak bingung dengan gaya bicaranya. 

"Bu-bukan begitu. Maksudnya, aku. Iya, aku nggak macam-macam di luaran sana. Aku juga nggak akan lupa sama kalian. Kalian tetap jadi prioritasku," jelasnya, mengklarifikasi. 

Aku semakin menyipitkan mata menatapnya. "Beneran? Nggak bohong kan?" 

Dia menggeleng, mengatakan kalau dia tidak berbohong. 

"Kalau gitu, peluk dulu." Gegas aku melebarkan dua tanganku.

"Makan dulu. Kamu ini cerewet banget. Nggak kenal tempat pula kalayh urusan kayak gini. Nggak ada harga dirinya banget," ucapnya, malah duduk lagi. Tak lupa juga dia sekarang hobi sekali mengataiku. 

"Biarin aja! Nggak punya harga diri kek, gatel kek, apa kek, bodo amat! Yang penting aku lakuin itu semua sama suami aku. Jelas-jelas nggak ada halangan sama semua itu," tukasku sekiranya dia terus menganggapku murah. 

Dia sudah menyantap makanannya, sambil terus menatapku. Kadang tatapannya ini seperti tatapan pria lain. Seperti sedang membaca isi kepalaku. Berbeda dengan Mas Abri yang jelas saja terlihat cinta di sana. Tapi sesekali entah kenapa aku merasa kalau yang di depanku ini benar-benar bukan suamiku. 

"Boleh aku tanya sesuatu?" tanyanya kemudian. 

"Nggak! Harus bayar! Satu pertanyaan, satu kecupan!" balasku, sengit. Tak mau aku mengalah. 

"Ya sudah, nggak jadi." 

"Ihh, apaan sih! Benar-benar kamu ya, Mas!" 

Dia mengangkat bahunya, lanjut makan dengan santai. 

"Ya udah, apa. Jangan pula aku dikatakan istri durhaka. Tanya cepat. Mumpung aku masih baik." 

"Selama ini kamu hidupnya bagaimana? Apa banyak mendapatkan masalah?" 

Layaknya disiram air es, hatiku langsung saja terasa adem mendengar pertanyaan itu. Akhirnya suamiku bertanya tentangku. Setelah dia datang pagi itu, tak ada satu kalimat pun yang dia layangkan hanya untuk bertanya tentang ini. 

Ternyata memang benar, aku hanya menunggu waktu saja. Semuanya akan kembali seperti semula. Suamiku juga akan kembali seperti Mas Abri yang dulu. 

"Banyak sakitnya, Mas. Mas tahu kan, kita nggak punya rumah. Aku sama Aila tinggal di rumah ibu. Mana selalu kena ceramah pula. Dan yang terakhir, aku malah mau dinikahkan sama laki-laki lain. Untungnya Mas datang tepat waktu. Kalau tadi nggak, gimana coba sama nasibku?" aduku, benar-benar merasa bersyukur bisa melewati semuanya. 

Dia hanya diam. Seperti mencerna segala kisah yang kujabarkan. Mungkin merasa kasihan padaku. Tentulah. Siapa yang tidak kasihan coba? Anak dan istrinya hidup melarat selama tiga tahun bahkan tanpa kabar darinya apalagi nafkah. 

"Maaf. Aku datangnya agak terlambat," sesalnya kemudian. 

"Nggak kok, Mas. Aku bersyukur malah Mas datang lagi. Tadinya aku udah mau nyerah. Aku mikirnya Mas nggak akan pulang lagi." 

"Sekiranya itu terjadi, apa yang akan kamu lakukan?"

Seketika saja aku menatapnya dengan penuh tanya. "Maksudnnya?"

"Sekiranya aku nggak pulang lagi. Apa yang akan kamu buat?" Mau bagaimana pun dia menjabarkan tanyanya, tetap itulah yang kudengar. 

"Ya aku kayaknya bakalan gila deh, Mas. Aku nggak sanggup kehilangan kamu. Aku udah nungguin kamu selama tiga tahun. Aku mau nagih janji kamu yang katanya akan pulang. Kalau semua itu nyatanya bohong, hati mana yang sanggup menerimanya?" 

Aku jujur tentang ini. Mana mungkin aku tahan jika sekiranya memang suamiku tidak pernah kembali. Mengingat bagaimana perjuangan kami saat masa-masa jadi pengantin baru dulu, akan sulit rasanya jika harus merelakannya secepat itu. Apalagi dalam konteks dia menjadi milik orang lain. Aku tidak akan pernah ikhlas dan ridho. 

Mas Abri berdehem kecil, lalu melegakan tenggorokan dengan air putih. Sepertinya dia agak resah. Tapi kenapa? 

***

Uh! Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu tiba juga. Waktu di mana manusia istirahat dan para aktivitas di bumi rehat sejenak.

Di dalam kamarku, aku sudah siap menghadapi hal apa yang akan terjadi. Aku sudah sangat cantik membalut diri dengan pakaian yang minim bahan. Kata orang, 'baju dinas'. 

Tak lama, kudengar suara pintu kamar terbuka. Dengan hati yang berdebar aku menanti kehadiran manusia paling kurindukan selama bertahun-tahun ini. 

Alih-alih tercengang atau merasa takjub, Mas Abri malah tersedak ludahnya sendiri begitu melihatku. Tadinya dia sudah menghadapku, tapi malah kembali berbalik badan. "Ka-kamu kenapa pakai baju kurang bahan begitu, Airin? Nggak kedinginan kamu?"

Aku lantas mengerutkan kening, tak suka dengan responsnya ini. Gegas aku bangkit dari tempatku, siap mendekatinya bila perlu menggodanya sampai bertekuk lutut di depanku. 

"Kok malah balik badan sih, Mas? Nggak suka apa? Atau kurang seksi? Atau aku buka semuanya aja deh," ucapku setelah berada di dekatnya, tepatnya di balik badannya. 

"Ngawur itu namanya, Airin! Jangan aneh-aneh!" tegurnya. 

"Ini nggak aneh, Mas!" 

"Airin!" Mas Abri langsung memekik sambil berbalik ketika aku dengan lembut mengusap punggungnya. "Tidur sana! Ke-kenapa kamu ini?"

Dia mendongak kuat sambil menutup matanya rapat-rapat. Benar-benar tidak berniat melihatku yang dengan kerja keras memoles diri jadi lebih cantik. 

"Ini kan emang mau tidur. Makanya aku nunggu–"

"Kamu di sini saja. Aku tidur di luar!" ujarnya seketika itu langsung melengos pergi dan tak lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. 

Astaga! Kenapa dia? Sudah seperti ini pun aku tetap ditolak? Mustahil rasanya dia tidak menginginkan hal ini! Apa ada manusia, apalagi seorang pria, tahan tak berhubungan sampai tiga tahun?

Aku jadi curiga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status