Share

Bab 10

Penulis: C_heline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah lama menahan kesakitan ini, aku lantas memaksa diri untuk kembali tegar. Aku ingat tentang banyaknya kata pepatah. 'Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya'.

Mungkin inilah yang sedang terjadi padaku. Aku menunggu orang yang sudah bukan lagi ada dimasaku. Aku mendambakan orang yang bukan lagi mendamba diriku. Aku hanya terpaku pada hayalan yang mana jelas-jelas aku bukanlah harapannya.

Walau sakit, kupaksa menelan kepahitan ini. Tenggorokanku rasanya sakit. Bahkan untuk menangis sekuat tenaga pun aku tak kuasa lagi. Ini sudah terlalu menyakitkan sampai aku tidak sanggup lagi melepaskan napas yang biasa.

Dengan sekuat tenaga, aku pun kembali bangun. Kurapikan koper miliknya, lantas menarik koper milikku yang ada diatas lemari. Buat apa lagi aku bertahan di rumah ini kalau kenyataannya suamiku berniat membuangku? Lebih baik aku sadar diri, dan pergi dengan sendirinya dari pada harus diusir.

Bibirku terus bergetar menahan tangis sembari merapikan barang-barang
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 11

    Logikaku mengatakan kalau itu hanyalah ucapan manis Mas Abri saja. Tapi hati kecil ini tampak goyah, menginginkan pembuktian atas ucapannya tadi. Kulepaskan pelan pelukannya lalu menatap matanya penuh dengan pengharapan. "Jujurlah, Mas. Kalau emang benar kamu punya wanita lain, pergilah. Aku akan berikan jalan yang lurus buatmu. Kalau pun harus dipaksa, hubungan kita ini hanyalah jadi sebatas status aja. Nggak ada lagi kehangatan kayak dulu. Lebih baik dari sekarang dari pada semakin lama kita berdua semakin terluka," ucapku, memberikan sebuah keikhlasan padanya. Walau mungkin hanya aku yang bisa merasakan bagaimana sakitnya menahan setiap helaan napas yang keluar dari bibirku. Sakit! Sangat sakit sampai rasanya lebih baik mati. "Apalagi yang kamu mau? Aku sudah menjelaskan semuanya, Airin. Nggak ada wanita lain. Aku cuma punya kamu," tegasnya, kukuh mengatakan hal itu. "Mau sampai kapan sih Mas kamu bohong? Bukannya semuanya udah jelas? Kamu punya kartu nama seorang pengacara. K

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 12

    Kudapati Mas Abri yang kaget ketika bola matanya membulat seketika. Entah sekitar beberapa detik, barulah tangannya mau memegang pipiku.Ya Tuhan! Kenapa tangannya jadi begitu dingin? Apa dia gugup? Apa dia sebenarnya meragu melakukan hal ini? Jika memang begitu adanya, siap-siaplah dirimu Mas Abri! Aku akan mengunci rapat-rapat langkahmu sampai tidak akan bisa lepas dari jeratku. Enak saja wanita itu! Walau katanya tiada hubungan apa-apa, tetap saja aku tidak terima. Aku yang bersamanya sejak dia masih diposisi minus, masa wanita lain yang kebagian enaknya ketika dia sudah di posisi plus. Yang benar saja! Mau bagaimana pun ceritanya, istri sah tetaplah pemenangnya! Entah itu kalah cantik, kalah seksi, kalah dari segala-galanya, yang namanya sah secara hukum dan agama, tetaplah menjadi yang utama dan satu-satunya. Menyingkirlah kalian para wanita tidak tahu malu! Sampai kapan pun, suamiku ini akan tetap menjadi milikku. Akan kubuat lagi dia tunduk, seperti pertama kali kami bertemu

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 13

    Aku termangu seketika, kembali diajak berprasangka buruk pada suamiku. Siapa yang tidak akan berpikir demikian, kalau sudah berada di posisiku? Kala kudengar suara pintu kamar mandi akan dibuka, aku cepat-cepat berbaring tak mau membuat Mas Abri menyadari apa yang kusadari. Aku gegas menutup diri dengan selimut, menyisakan kepalaku saja. Aku juga membalikkan tubuh, kini memunggungi nakas tempat ponselnya yang masih terus berdering. Kupejamkam mata rapat-rapat sambil terus mendengarkan pergerakan Mas Abri. Aku tidak tahu ada di mana dia saat ini. Kurasa dia sudah meraih ponselnya atau apa, karena kini nada dering itu sudah tidak lagi berbunyi. Beberapa kali masih kudengar suara kakinya, tapi setelah beberapa lama tak ada lagi suara apa pun. Apa mungkin dia sudah pergi? Pelan-pelan aku membuka mata sembari melihat isi kamar. Ternyata benar, dia sudah tidak ada. Ponselnya pun sudah hilang dari sana. Itu artinya dia sudah pergi dengan ponsel yang terus berdering dengan kontak bernama,

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 14

    Saking banyaknya isi pikiranku, aku sampai tidak fokus menyantap makan siang yang baru saja daibelikan Mas Abri. Semua keanehan tentang suamiku itu semakin banyak saja bertambah.Mulai dari sikapnya, wanita lain itu, nama pengacara itu, dan yang terakhir insiden yang cukup menyeramkan siang ini. Semua itu tak bisa lagi kuanggap sesuatu yang kebetulan atau sekadar asumsi belaka seperti apa kata Mas Abri. "Airin, kenapa ngelamun?" tegur Mas Abri, sadar aku yang hanya diam saja. "Uh?" Aku langsung menatapnya lantas tersenyum kecil. "Nggak kok, Mas. Cuma kepikiran aja sama insiden tadi. Agak seram kalau diingat-ingat. Untung nggak ada Aila tadi." Dia diam sebentar, lalu kembali menjawabku, "Jangan khawatir. Aku udah urus semuanya. Kejadian kayak gini nggak akan terulang lagi. Kalian aman bersamaku. Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya."Giliranku yang hanya diam mendengarkannya. Bukan aneh jika dia mengatakan begitu. Karena dia memang seorang kepala rumah tangga, jelaslah yang har

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 15

    "Ya udah, kalau gitu bilang sama suami Mbak buat diam aja. Nggak usah ikut campur!" balas Amy, masih tak terima. Dia mencebik marah, mungkin memang tak terlalu suka dengan saran yang dikatakan Mas Abri tadi. Padahal suamiku hanya mencoba memberi saran, tapi malah dipandang sebelah mata. Inilah sebenarnya salah satu alasan Mas Abri gencar mau pergi merantau. Agar kami bisa mengubah sudut pandang orang-orang terhadap kami. Karena fakta mengatakan, kalau si miskin tidak boleh angkat bicara karena hanya terdengar kosong isinya. Berbanding terbalik dengan manusia kaya punya harta berlimpah. Omong kosongnya saja pun dibalas tepuk tangan. "Sudahlah, Mas," tegurku pelan ketika kusadari Mas Abri hendak angkat bicara lagi. "Biarkan saja. Toh bukan hal baru lagi, kan yang kayak gini? Udah nggak usah diladeni." Aku menenangkan suamiku yang mungkin saat ini tersinggung karena perkataan adikku. Bukan hanya dia saja, aku pun sering tersinggung oleh kata-kata keluargaku sendiri. "Nggak usah dide

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 16

    Andai mungkin aku sedang hidup di dunia kartun, mungkin saat ini rahangku sudah jatuh ke bawah saking tercengangnya. Bagaimana tidak? Ucapan Mas Abri barusan terlalu melipir dari kehidupan aslinya. Dari mana dia bisa mengetahui segala hal yang terbilang rumit untuk kami yang berlatarbelakang orang kecil ini. Aku tidak tahu bagaimana reaksi keluargaku saat mendengarkan penuturan Mas Abri tadi. Yang kulakukan saat ini hanyalah fokus padanya yang tetap memasang wajah tenang walau di depannya Raka sudah misuh-misuh. Suara tawa sumbang Raka menjadi akhir tatapanku pada Mas Abri. Aku menoleh pada kekasih adikku itu yang tampaknya yang terpengaruh atas apa yang sudah dilontarkan suamiku. "Udah merasa sombong banget ya karena tahu kata-kata bijak seperti itu? Kamu kira mempan? Kamu cuma jago ngomong tapi minim aksi. Makanya, belajar itu bukan cuma sebatas ngoceh doang. Tapi lebih dari itu! Biar nggak malu-maluin," cibir Raka sekenanya."Benar itu!" celetuk Ibu. "Ngomong aja masih belibet u

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 17

    Bersamaan dia mengentikan laju mobilnya, aku pun merampas ponselnya walau mungkin nanti dia akan marah. Bodo amat tentang itu. Sudah sejak kemarin aku menahan untuk yang ini. Mungkin inilah saatnya Tuhan menunjukkan hal yang sebenarnya. Jika dia memang menyembunyikan wanita lain dibelakangku, maka tak akan kupikir dua kali lagi untuk meminta dilepaskan dari pernikahan ini. "Eh, Airin, jangan! Kenapa kamu ini?" tekannya seraya berupaya merebut ponselnya dari tanganku. Kubalas pergerakkannya dengan menyeludupkan ponsel kebelakang badan. Kutatap dia lekat-lekat walau dada ini mulai bergemuruh ricuh. "Jawab aku, Mas. Siapa dia? Kenapa kamu mamain kontaknya dengan sebutan Sayang?""Bukan siapa-siapa," jawabnya, masih saja mengelak. Dia masih terus berusaha merebut ponselnya. "Berikan hpnya. Kamu nggak sopan begitu, Airin!" "Nggak sopan?" cebikku. "Mas bilang aku nggak sopan sementara Mas menyembunyikan wanita lain dibelakangku? Mas pikir perbuatan Mas ini bisa dikategorikan sopan?"Dia

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 18

    Enteng sekali mulutnya mengatakan itu. Dengan tatap berapi-api kupandangi Mas Abri. Jika dia paham, saat ini aku sedang mengatainya di dalam hatiku dengan sejuta kalimat paling menyebalkan yang tak pernah dia bayangkan. Entah karena melihat tatapanku atau apa, dia malah tertawa kecil. Dia terus memindai pandangannya dariku lalu jalanan. "Kenapa kamu? Capek ngoceh?" ejeknya. Gegas kubuang wajah. "Apa pun yang mau kamu jelasin, Mas. Aku akan tetap minta pisah! Itu keputusanku!" tuturku tak mau menanggapi basa-basinya. "Silakan. Aku nggak takut ladeni kamu, Airin. Kamu bisanya cuma ngancem. Paling juga ujung-ujungnya kamu minta yang aneh-aneh. Maaf ya. Tapi rencana kamu udah ketebak," sahutnya dengan nada kelakar sama sekali tak terintimidasi oleh perkataanku tadi. Jangankan begitu. Dia malah merasa aku ini sedang bercanda. Apa dia pikir aku akan tetap berpikiran yang sama seperti waktu itu? Tentu tidak lagi! Karena sekarang aku tahu apa maunya. Dia itu cuma mau enaknya saja tanpa me

Bab terbaru

  • Suamiku Sudah Wafat    END

    Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 52

    POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 51

    "Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 50

    Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 49

    Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 48

    "Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 47

    Keningku semakin berkerut, tak suka dengan pernyataannya. Lagi-lagi aku mundur tatkala dia mendekat."Lepaskan tanganmu itu, Brengsek!"Suara teguran itu membuatku mendelik yang refleks menoleh ke sumber suara. Bola mataku membulat ketika menyadari yang baru saja berujar tak lain adalah dia. Laki-laki yang sudah merebut hak suamiku!Pria bajingan yang tak tahu malu itu!Dia berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Yang pasti saat ini aku hanya menatapnya dengan kobaran api amarah yang benar-benar besar padanya."Di mana penjaganya? Kenapa nggak ada orang di rumah ini, Airin?" tanyanya sembari melepaskan jasnya lalu menutupi tubuhku yang hanya berbalut dres rumahan.Gegas kutepis perlakukannya yang seolah menggambarkan suami yang siaga dan tak suka melihatku begini. Padahal nyatanya dia lebih bejad dan lebih membuatku tak ada harganya lagi!"Jangan pura-pura di depanku lagi! Sudah kukatakan itu padamu!" tekanku memperingatinya.Dia mendesah berat, lalu mengu

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 46

    Sepasang suami istri itu langsung tukar pandang begitu mendengar habis kata-kataku. Mungkin mereka kurang percaya aku mengatakan hal ini. Biarkanlah begitu. Yang terpenting saat ini, aku bisa membantu orang-orang yang kesulitan karena pria itu sama sepertiku."Kalau memang begitu, di mana dia, Buk? Apa kami bisa bertemu dengannya?" tanyanya kemudian."Dia ... dia nggak ada di sini. Baru saja dia pergi entah ke mana. Aku harap dia lagi nggak ngerencaniin melarikan diri dari semua ini. Sudah cukup semua akal bulusnya!" Aku jadi emosi sendiri menjabarkan apa yang terjadi."Benarkah begitu, Buk?"Aku mengangguk. Kulihat dia mengusap dadanya, seakan hilang harapan. Kudapati lagi keduanya saling menguatkan diri yang membuat hati kecilku kembali bersimpati. Tak tega melihatnya begitu. Jika aku sakit begini, lantas apa kabar dengan mereka?Tanpa punya kesalahan, mereka harus kehilangan anak tercinta. Siapa yang tidak akan hancur jika sudah berada di posisi suami istri ini? Apalagi dengan fak

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 45

    "Nggak ada yang seperti itu, Airin. Tolong–"Lagi-lagi dering ponselnya menginterupsi. Dia menatap layar handphone-nya yang menyala lantas melanjutkan, "Aku nggak punya waktu lagi. Maafkan aku." Aku sempat bingung apa maksudnya, tapi ketika dia berjalan menjauh ke ambang pintu kamar, aku langsung mendelik. Gegas kedua kakiku melangkah cepat menyusulnya, berharap bisa menggagalkan aksinya yang menutupi pintu. "Libra! Buka pintunya! Buka pintunya!" pekikku. Aku tak sempat menghentikan aksinya yang sigap mengunci pintu kamar. Tak ada kudengar lagi suaranya. Itu artinya dia benar-benar pergi. Walau pun begitu, aku tetap berusaha berontak, memukul kayu pipih itu sambil terus memutar-mutar handle pintu. Tetap saja nihil! Pria bajingan itu telah mengunciku dari luar sana. Sebenarnya apa yang hendak dia lakukan? Apa lagi rencana busuk yang coba dia berikan padaku?Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mendadak linglung. Kepalaku seperti diam tak berkutik. Sampai aku sebal sendiri. Alih-a

DMCA.com Protection Status