"Wau!" Aku berdecak kagum memlihat segarnya tubuh suamiku. Aku bahkan sampai meneguk ludah, baru sadar kalau aku ternyata punya suami berbadan kekar layaknya bintara.
"Airin, astaga!" pekik Mas Abri, tak sudah-sudah dia gelagapan sendiri. Sialnya, cepat sekali suamiku itu bergerak menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. Padahal rambutnya masih setengah bersabun. Gemas aku jadinya! "Ya elah. Kayak sama siapa aja kamu, Mas. Mana pake acara malu-malu lagi," ucapku, sambil menaik turunkan kedua alisku. Berusaha menggodanya. "Keluar dulu sana. Kamu kenapa sih masuk kamar mandi segala? Aneh banget!" ketusnya dengan wajah sebal. "Mas yang aneh, tau! Enak aja orang dibilang aneh." "Ya ampun, Airin. Tolong keluar dulu. Aku belum selesai mandi!" Dia terlihat memelas. Aku mengangkat bahu. "Ya udah sih, mandi aja. Anggap aja aku nggak ada Mas. Atau nggak, aku mandiin mau? Sekalian ...." "Jangan aneh-aneh kamu!" potongnya yang segera berjalan lebih dekat padaku. "Cepat keluar sana. Jadi perempuan kok gatel banget," lanjutnya mencibirku. Alih-alih tersinggung, aku malah kegirangan. "Biarkan! Gatel sama suami sendiri mah nggak apa-apa. Asal jangan gatel sama suami orang aja." Mas Abri terdiam sejenak sambil menatapku penuh arti. Jangan-jangan dia mulai tergoda. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Gegas aku lepas jedai yang menahan rambutku hingga terurai. Kukibas-kibas sebentar, upaya memberikan aura lebih menggoda. Terakhir, mulai kudekati dia dengan tatapan yang kubuat sebisa mungkin terlihat meminta. "Mas, kamu nggak–aw, Mas Abri!" Astaga naga! Bukannya menyambutku, dia malah menyemprotku dengan shower tanpa rasa bersalah. "Mas, udah ... Mas!" Aku nyaris gelagapan karenanya. "Keluar nggak?" ancamnya. "Ihh, apaan sih?" Aku terus menahan air dengan kedua tanganku. "Keluar, Airin! Kamu mau basah kuyup? Mau mandi lagi emang?" Ck! Tak tahan lagi, aku terpaksa keluar dan menjauh darinya. Keadaanku sudah hampir basah kuyup. Belum juga keluar dengan sempurna, Mas Abri sudah menutup pintu hingga aku terdorong kecil keluar dari sana. "Mas Abri! Awas ya! Liat aja nanti!" pekikku, emosi. Laki-laki itu memang keterlaluan. Lihatlah aku? Tadi aku sudah cantik, sudah wangi, sudah memakai skincare pula, tapi malah disemprot habis-habisan. Awas saja! Aku tidak akan tinggal diam. Kalau Mas Abri bisa melakukan ini padaku, aku bisa bisa melakukan lebih. Mari kita lihat, siapa yang lebih tahan? *** Sekitar setengah jam aku sudah menunggu di meja makan, siap menyambut dua orang terkasih dalam hidupku. Siapa lagi kalau bukan Mas Abri dan putriku, Aila. Anakku baru saja masuk TK. Sebelum Mas Abri pulang, tadinya Aila sekolah di sekolah negeri. Tapi berbeda setelah suamiku kembali. Anaknya segera dipindahkan ke sekolah elite yang fasilitas serta gaya pembelajaran berbeda. Tak lama, suara mesin mobil pun terdengar. Itu pasti Mas Abri dan Aila. Buru-buru aku berlari ke luar, siap menyambut kepulangan keduanya. Dari ambang pintu, aku bisa melihat dengan jelas interaksi antara ayah dan anak itu. Benar-benar hangat. Terlihat bahagia sekali putriku yang terus mendapatkan kecupan dari ayahnya. Lama-lama aku jadi cemburu. Putriku dapat begitu banyak cinta, tapi aku malah seperti pengemis cinta pada suami sendiri. Ck! "Assalamualaikum, Mama," ucap Aila tak lupa menyalim tanganku. "Wa'alaikumsalam," sahutku sembari mengecup puncak kepalanya. "Gimana sekolahnya? Lancar? Enak nggak?" "Enak, Ma. Teman-temannya baik-baik semua," jawab putriku lantas gegas masuk ke dalam rumah. Sementara itu, kulihat Mas Abri masih ada di dalam mobilnya. Dari kaca yang terbuka, aku bisa melihat kalau dia sedang menghubungi seseorang. Kalau aku tidak salah juga, mungkin dia sedang gusar. Berulang kali dia memukul setir mobilnya, benar-benar persis orang yang murka. Tapi kenapa? Apa dia ada masalah? Mungkin dia sadar aku yang terus menatapnya setelah dia menoleh tiba-tiba ke arahku. Kenapa aku jadinya gugup? Seolah mendapati diri akan dihakimi? Memilih tak ingin ikut campur, aku lantas berjalan lebih dulu setelah terlihat dia turun dari mobil. Kala jarak kami sudah tak terlalu jauh, aku lantas memberanikan diri bertanya padanya, "Ada apa, Mas? Apa ada masalah?" Dia langsung menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Makan yuk? Aku laper." Dia melengos begitu saja padahal tanganku sudah siap untuk menyambut tangannya agar disalim. Aku jadi terdiam sejenak, merasa bingung dengan sikap Mas Abri ini. Entah kenapa instingku mengatakan kalau dia sedang punya banyak masalah. Aku jadi mendadak khawatir. Aku takut terjadi apa-apa padanya setelah pulang dari tanah rantau. Mendadak perasaanku jadi kalut sendiri. Sebenarnya, aku masih belum tahu persis, apa yang dikerjakannya di tanah orang sana? Seberapa berat itu? Dan berkecimpung di dunia yang seperti apa? Sedikit pun aku tidak pernah diberitahu tentang pekerjaannya. Apa jangan-jangan selama ini Mas Abri sudah melakukan pekerjaan yang tidak baik? Atau mungkin juga dia jadi bos mafia? Astaga! Sudah sejauh apa aku berpikir? Dari pada mati penasaran, lebih baik aku bertanya saja. "Mas, sebenarnya di mana Mas kerja? Dan bagian apa?" tanyaku setelah aku duduk di kursi meja makan seperti mereka. "E ... itu. Aku kerja di luar negeri," jawabnya, seketika saja membuatku tercengang. "Hah? Di luar negeri? Bukannya kemarin Mas bilang mau ke luar kota aja ya? Kok malah keluar negeri? Terus, kok bisa? Bukannya Mas nggak jago ya bahasa asing?" Jelas aku kaget mendengar jawabannya. Tiba-tiba dia tersedak yang langsung menenggak air putih. Setelah itu, dia langsung menjelaskan, "Iya emang. Tapi rencananya berubah setelah aku datang ke kota itu. Makanya aku jarang kasih kamu kabar, selain karna sibuk, itu juga karena kita cukup jauh. Belum lagi aku nggak hapal nomor hp kamu waktu aku kena musibah. Aku kecopetan waktu itu." "Astaghfirullah, Mas. Kok bisa sampai kecopetan? Tapi Mas nggak apa-apa, kan?" Aku mendadak risau. Lagi-lagi dia diam sejenak hanya untuk menatapku. Lantas dia menggeleng pelan, mungkin mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Refleks aku langsung berdiri dari kursi, lantas berjalan ke arahnya yang duduk di depanku. Sudah tidak asing bagiku wajah takut-takutnya itu. Sekarang sudah tidak ada alasan dia tidak mau memelukku. Dia sudah bersih, bahkan sudah sangat rapi. "Pelukkk," ucapku, manja. Tak lupa aku melebarkan kedua tangan siap menyambut tubuh gagahnya. "Hei, ada Aila. Nggak baik," ucapnya, pintar sekali cari alasan. Tak tahan lagi, dengan cepat aku lantas melayangkan kecupan pada pipinya, tak peduli jika dia kesurupan sekali pun! "Sehat-sehat ya, Suamiku. Sekarang kamu udah pulang kok."Mas Abri langsung kaget mendapati aksiku tadi. Sejenak dia terdiam dengan bola mata yang membulat. Setelah itu dia langsung bangkit dari kursinya dan menatapku penuh dengan rasa tidak percaya. "A-apa yang kamu lakukan?" Dia jadi mendadak gugup. Aku mengangkat bahuku, santai. "Ya cium suami akulah. Apa lagi emang?" Dia mengerjap-erjap, tampak jadi sulit bicara. Perlahan dia mengusap pipinya bekas kecupanku tadi. "Jangan seperti ini, Airin. Nggak baik. Kamu nggak lihat ada anak kamu?" "Anak kamu, anak kamu, anak kamu!" omelku, tak suka dengan ucapannya yang ini. "Kamu ya, Mas. Ngomongin Aila itu udah kayak bukan anak kamu. Memangnya bisa ya aku buat Aila sendirian tanpa kamu? Heran deh!"Dia menghela napas, mungkin menyesal. "Maaf. Maksudnya ... itu ... apa, iya, anak kita." "Tuh kan! Ihhh, kamu makin aneh aja deh, Mas. Kenapa sih? Kenapa kamu kayaknya nggak terima gitu? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan kamu udah nggak anggap kami ini ada? Iya? Malu ngakuin kami
Tak mau kalah, aku lantas mengekori Mas Abri, masih penasaran sejauh apa dia bertahan. Dan, ada apa sih dengan pria itu? Kenapa mendadak sikapnya berubah? Seperti aku ini tidak halal dia sentuh. Padahal sudah jelas-jelas selama tiga tahun kami tidak berhubungan. Apa tidak ada terlintas dibenaknya tentang itu? Apa mungkin dia juga tidak menginginkannya? Ah, mustahil. Penelitian saja pernah bilang, kalau laki-laki paling kuat menahan diri cuma satu sampai dua pekan. Masa suamiku yang laki-laki tulen ini bisa tahan sampai tiga tahun? Itu gila namanya. Apa mungkin dia sudah jajan diluar? Karena asumsi itu, aku jadi meringis sendiri. Ngeri-ngeri sedap membayangkan hal itu. Tapi, bukankah semua itu tidak menutup kemungkinan? Karena memang pada dasarnya, manusia itu makhluk biologis. Mana bisa tahan kalau sudah begini. Dari ambang pintu kamar, kulihat Mas Abri sudah mulai menata sofa untuk dia tiduri. Lihatlah dia. Sangat gencar sekali menjauhiku. Bahkan sampai rela tidur di sofa segala
Karena kepikiran ke arah sana, aku jadi mendadak sakit kepala. Tiba-tiba aku jadi was-was jika memang benar apa yang ada didalam benakku adalah fakta. Logikanya pula, kenapa suamiku punya kartu nama orang penting begini? Lama aku diam dengan isi kepala yang mendadak berisik, Mas Abri pun kembali muncul setelah usai menjawab teleponnya. Dari caranya berjalan, terlihat sekali dia segan-segan buat menatapku. Aku jadi merasa aneh dibuatnya. Kalau kulihat lagi diriku, memangnya apa yang salah? Aku hanya memakai baju dinas dengan lengan kensi. Memang agak membayang sampai warna kulitku terekspos walau tanpa meyibak bajuku. Tapi, bukannya harusnya dia suka? Kenapa malah menjauh? "Aku mau tidur dulu. Sudah malam. Kamu tidurlah juga," katanya sembari melengos dari depanku. Aku berbalik, lalu bertanya, "Kamu nyewa pengacara, Mas? Buat apa?" Kulihat dia kaget, seperti reaksinya yang langsung berbalik menatapku. Dengan gerakan cepat pula dia menyita kartu nama ditanganku, setelah menyadarin
"Mas izin pergi ya, Dek. Jaga anak kita. Mas janji, Mas akan segera pulang. Ini juga demi kebahagiaan kita. Biar kamu nggak selamanya melarat." Sejak dua hari lalu aku sudah menahan diri untuk tidak menangisi kepergian Mas Abri untuk merantau. Tapi nyatanya aku tidak kuat melepas suamiku. Aku benar-benar sulit merelakan lelaki itu walau katanya ini demi kami. "Cepatlah pulang, Mas. Jangan lama-lama di rantau sana. Aku sama Aila benar-benar butuh kamu. Nggak perlu harus banyak uang, Mas. Secukupnya saja. Yang penting kamu pulang dengan selamat," ucapku ditengah-tengah dekap Mas Abri.Kurasakan puncak kepalaku dikecupnya hangat. Dia menarik diri upaya menatapku dengan penuh keyakinan. "Mas janji, Mas bakalan pulang bawa kebahagiaan buat kalian. Kalau nanti kerjaan Mas lancar, Mas bakalan buatin rumah buat kamu sama Aila. Mas juga nggak akan biarin kamu kerja lagi. Itu janji, Mas. Mas cuma berharap, kamu terus doain Mas. Juga, jaga pernikahan kita. Jaga anak kita. Hanya itu permintaan
Ibuku memang ada-ada saja. Demi mengelak dari yang namanya bisik-bisik tetangga, aku malah dipaksa menerima tawaran pernikahan dari pria lain. Padahal jelas-jelas aku ini masih sah jadi istrinya Mas Abri. Apa katanya jika sekiranya dia pulang dan melihatku sudah menikah lagi? Bagaimana bisa aku menatap matanya nanti? Sudah berjalan satu pekan setelah keputusan ibu waktu itu padaku. Dan selama itu pula, aku terus berdoa dan terus berharap ada kabar dari suamiku. Walau hanya sebatas surat, atau apalah itu, yang penting dia memberikan sebuah informasi kalau sebenarnya dia masih menganggapku istrinya dan akan pulang dengan janji-janjinya dulu. "Gimana, udah ada kabar dari Abri?" tukas ibu membuatku terkesiap dari lamunan. Dengan lemah aku menggeleng, menjawabnya. Mengatakan tidak ada. "Tuh, kan! Apa Ibuk bilang, Airin. Nggak akan ada kabar darinya!" semburnya kemudian. "Sudah, Ibu udah nggak bisa biarin kamu gini terus. Besok, kita terima lamaran Pak Agung itu. Ibuk bakalan bilang sa
Bola mataku langsung saja membesar sebesar-besarnya kala mendapati sosok jangkung yang berdiri menjulang di ambang pintu di depan sana. Tanpa pikir dua kali, aku langsung melompat, menghabur menghampirinya. Tunggu, bukan hanya aku, kan yang terkejut? Pasti semua orang di sini juga demikian sampai-sampai rumah yang tadinya berisik mendadak hening. "Mas Abri!" pekikku, tak sabar ingin segera melepaskan rindu. Dadaku bergemuruh ria, emosional seketika. Tetapi, alih-alih dia menyambut reaksi antusiasku untuk memeluknya, dia malah mengelak. Dia mundur dariku. Jelas saja diwajah ini tersirat keheranan, dan tentunya dengan cepat mengumpulkan tebakan demi tebakan jahat dikepala. "Mas," ucapku, agak lemah. Aku harap sikapnya ini tidaklah menunjukkan kalau kedatangannya hanya memberikan kabar duka padaku alih-alih bahagia. "Sa–maksudnya, aku baru pulang dari tempat jauh. Agak kotor. Takut kamu nanti kena bakteri atau kuman. Sebaiknya jangan sentuh aku dulu," katanya, menjelaskan. Alih-ali
Para tetanggaku, ibuku, bahkan Amy, tak berkutik lagi saat Mas Abri mengatakan akan memboyongku dan putriku pindah ke rumah baru. Kami sudah melihat rumah yang didirikan Mas Abri pagi tadi di lokasi yang lumayan jauh dari rumah ibu. Beda kecamatan. Sangat luas, sangat besar pula. Seperti apa janjinya tiga tahun lalu, seperti itulah kenyataan yang kuterima. Bukan hanya rumah saja yang membuatku semakin tercengang, keberadaan dua mobil mewah di garasi, juga satu unit motor bertuliskan namaku, ikut ambil peran dalam memberikan sebuah keterkejutan yang seolah tak sudah-sudah. Sungguh! Kekayaan Mas Abri sudah terbilang sangat cukup. Padahal hanya tiga tahun dia pergi, tapi sudah bisa memberikanku kemewahan yang tak pernah kubayangkan ini. Setelah pamit pada ibu, juga Amy tentunya, aku dan Aila pun resmi keluar dari rumah ibu. Aku tidak akan lagi jadi beban untuknya, dan yang paling terpenting, aku tidak akan lagi mendengar omelannya. Sepertinya makananku akan berganti mulai besok pagi.