Para tetanggaku, ibuku, bahkan Amy, tak berkutik lagi saat Mas Abri mengatakan akan memboyongku dan putriku pindah ke rumah baru. Kami sudah melihat rumah yang didirikan Mas Abri pagi tadi di lokasi yang lumayan jauh dari rumah ibu. Beda kecamatan. Sangat luas, sangat besar pula. Seperti apa janjinya tiga tahun lalu, seperti itulah kenyataan yang kuterima.
Bukan hanya rumah saja yang membuatku semakin tercengang, keberadaan dua mobil mewah di garasi, juga satu unit motor bertuliskan namaku, ikut ambil peran dalam memberikan sebuah keterkejutan yang seolah tak sudah-sudah. Sungguh! Kekayaan Mas Abri sudah terbilang sangat cukup. Padahal hanya tiga tahun dia pergi, tapi sudah bisa memberikanku kemewahan yang tak pernah kubayangkan ini. Setelah pamit pada ibu, juga Amy tentunya, aku dan Aila pun resmi keluar dari rumah ibu. Aku tidak akan lagi jadi beban untuknya, dan yang paling terpenting, aku tidak akan lagi mendengar omelannya. Sepertinya makananku akan berganti mulai besok pagi. Disinilah kami sekarang. Di dalam rumah megah yang layaknya istana. Ada ac di setiap ruangan. Ada televisi di setiap kamar. Dapurnya bagus mirip dapur-dapur para artis terkenal. Juga lampu gantungnya persis yang ada di rumah Nagita Slavina. Aku tak percaya kalau aku akan menjadi pemilik rumah yang megah seperti ini. Masih terasa seperti mimpi. Kalau sampai ini hanya mimpi siang bolong, jangan sampai aku bangun lagi! Aku rela hidup di dalam mimpi ini selamanya, asalkan itu tetap berada disamping suamiku. "Mas, mau makan dulu apa mandi dulu?" tanyaku di sela dia merapikan kamar. Karena baru diisi, jadi masih terlihat berantakan. "Aku mau mandi saja dulu. Kamu makanlah. Sebentar lagi Aila pulang sekolah, kan? Aku jemput dia dulu baru makan siang sama-sama," jawabnya. Aku lantas berdecak, sebal. Bagaimana bisa dia tega mengatakan aku makan duluan?Kuhentakkan kakiku sambil berjalan mendekatinya. Kebetulan sekali dia sedang membelakangiku karena sibuk merapikan lemarinya. Gemas, aku pun langsung melayangkan pelukan yang tak dia sangka-sangka. "Eh." Dia kaget sampai langsung menjauh dariku. "Kamu ngapain?" Aku malah ikutan kaget. "Ya meluk suamiku lah. Ngapain lagi, Mas?" jawabku apa adanya dengan dahi yang mengerut. Habisnya! Sudah hampir seharian ini dia tidak mau menyentuhku. Sekadar basa-basi atau apa kek. Cium kening pun jadilah. Tapi ini? Dia malah sibuk sendiri. Istri mana yang tidak kesal? "A-aku kan udah bilang, aku belum mandi. Masih bau. Kotor pula. Jangan dekat-dekat. Nanti kamu kena bakteri. Mau?" jelasnya, terus saja itu alasannya. "Mau, sini!" Aku gegas melebarkan tanganku, kuterima dengan lapang dada alasannya yang nanti kena kumanlah apalah itu! "Eh, eh!" Alih-alih menyambutku, dia malah semakin memojokkan dirinya. Sampai sudut lemari bertemu dinding. "Nanti kamu sakit. Jangan! Nanti ya? Aku mandi dulu." "Apaan sih, Mas? Orang cuma peluk lho! Kita udah lama nggak ketemu, tau! Masa peluk doang kamu nggak kasih sih? Emangnya kamu nggak kangen aku ya? Atau jangan-jangan emang benar, kamu itu punya istri lain di tempat jauh sana?" Aku memelas sembari duduk kesal di pinggir kasur. Sebal pula lama-lama melihatnya yang terus menghindariku. Seolah-olah aku ini haram untuknya. "Jangan percaya gosip," bantahnya, tidak membenarkan hal itu. "Ya kalau gitu kenapa coba Mas nggak mau peluk aku? Apa kek. Pegang tangan aja kek. Nggak ada tuh! Malah kayak orang asing kelihatannya." Kulihat dia mulai berdiri tegak lagi, tidak seperti tadi yang menyudut ke tembok. Dia berjalan pelan ke arahku. "Kamu jangan seperti anak kecil begini. Aila saja nggak sampai segitunya." "Ya iyalah! Orang Aila Mas kasih peluk cium! Lah aku? Jangankan dikasih itu, dipegang tangannya aja nggak!" Kulihat dia tersenyum tipis. Sebenarnya apa rencananya? Apa jangan-jangan dia mau mengerjaiku? Mungkin ada alasan lain lagi makanya dia bersikap begini? Apa mungkin dia mau memberikanku kejutan dengan membuatku kesal dulu? Ah, kenapa aku tidak kepikiran sejak tadi? Bisa jadi begitu, bukan? Wajar saja pola pikirnya itu mulai lebih berubah, karena dia tinggal di kota yang lebih maju dan tentu gaya lingkungan juga. Pasti suamiku ini sudah terkontaminasi. Jadinya beginilah. Mau kasih kejutan saja harus dikerjai dulu. Kata mereka sih, 'prank'. "Kamu makanlah sana. Sebentar lagi aku pergi jemput Aila," katanya hendak menyudahi pertengkaran kecil ini. "Nggak! Aku mau makan sama kalian. Masa aku kayak diasingkan gitu sih, Mas? Harusnya Mas bilang tungguin gitu. Ini malah disuruh makan duluan," cebikku, menolak. "Ya sudah. Kalau gitu, keluar dulu kamu. Aku mau mandi," katanya, malah mengusirku. Aku kaget, langsung menatap ke arahnya dengan mata membola. "Lah, kenapa harus keluar? Emangnya kenapa kalau aku di sini?" "Ya ampun. Kamu ini cerewet sekali. Kenapa nggak menurut saja?" "Nggak mau!" Aku semakin emosi. "Kenapa emang aku harus keluar? Kamu malu, Mas? Kamu nggak mau aku lihat kamu lagi telan*jang?" "Eh!" tegurnya dengan mata membulat. "Apa? Ah, eh, ah, eh! Pokoknya aku nggak mau. Orang kangen sama suami sendiri kok. Masa disuruh keluar sih? Mana udah lama lagi nggak liat yang segar-segar. Selama tiga tahun ini aku terus tahan Mas. Aku cuma natap foto kita kalau lagi kangen. Nggak mau lah aku jauh-jauh dari suamiku. Rugi dong!" Aku kukuh tak mau keluar kamar. Toh, tidak ada salahnya juga. Lagi pula, kenapa tiba-tiba dia malu-malu di depanku. Apa efek lama tak bersua? Ah, gengsi benar suamiku ini. Apa itu malu? Aku rela jadi perempuan murahan di depannya. Habis, aku sudah rindu berat. Sudah layaknya air laut. Kedalamannya belum diketahui pasti sampai saat ini. Yang jelas, benar-benar dalam! "Ya sudah, kamu di situ saja," ucapnya, mengalah. Aku langsung kegirangan. Semakin kunyamankan pose dudukku. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas ranjang, siap menanti tubuh kekar suamiku yang nanti tidak akan berbungkus apa-apa. "Lho, lho, mau ngapain?" Aku tiba-tiba kaget saat dia malah membawa baju serta handuknya ke dalam kamar mandi. "Aku mau pakai baju di kamar mandi," jawabnya, santai. "Astaga, Mas! Ngapain coba ganti baju di kamar mandi? Ada-ada aja deh!" Gaya santai tadi hanya bertahan beberapa detik. Aku sudah kembali tegak lagi, gemas ingin sekali mendekatinya. Lagi-lagi dia menjauh dariku. "Tunggulah di luar. Aku nggak akan ke mana-mana," katanya. "Ya nggak akan ke mana-mana emang. Tapi, kan–" "Aku mandi dulu," potongnya, cepat. Tanpa basa-basi lagi dia langsung melengos masuk ke dalam kamar mandi. Aku jadi mengerang dalam dada, kesal juga lama-lama. Sudah cukup rasa rindu ini ditahan-tahan! Aku sudah tidak kuat. Aku mau memeluknya, menciumnya, kalau bisa aku mau langsung memberikannya jatah setelah tiga tahun! Aku yakin, dia tidak akan menolak! Iseng, dominan kesal, aku pun pelan-pelan merayap mendekati pintu kamar mandi. Kuperjelas lagi suara pancuran shower yang sudah menyala. Itu artinya suamiku sudah mandi. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung saja membuka pintu kamar mandi, dan ... "Huaaaa! Airin, ngapain kamu?""Wau!" Aku berdecak kagum memlihat segarnya tubuh suamiku. Aku bahkan sampai meneguk ludah, baru sadar kalau aku ternyata punya suami berbadan kekar layaknya bintara. "Airin, astaga!" pekik Mas Abri, tak sudah-sudah dia gelagapan sendiri. Sialnya, cepat sekali suamiku itu bergerak menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. Padahal rambutnya masih setengah bersabun. Gemas aku jadinya! "Ya elah. Kayak sama siapa aja kamu, Mas. Mana pake acara malu-malu lagi," ucapku, sambil menaik turunkan kedua alisku. Berusaha menggodanya. "Keluar dulu sana. Kamu kenapa sih masuk kamar mandi segala? Aneh banget!" ketusnya dengan wajah sebal. "Mas yang aneh, tau! Enak aja orang dibilang aneh." "Ya ampun, Airin. Tolong keluar dulu. Aku belum selesai mandi!" Dia terlihat memelas. Aku mengangkat bahu. "Ya udah sih, mandi aja. Anggap aja aku nggak ada Mas. Atau nggak, aku mandiin mau? Sekalian ...." "Jangan aneh-aneh kamu!" potongnya yang segera berjalan lebih dekat padaku. "Cepat keluar sana. Ja
Mas Abri langsung kaget mendapati aksiku tadi. Sejenak dia terdiam dengan bola mata yang membulat. Setelah itu dia langsung bangkit dari kursinya dan menatapku penuh dengan rasa tidak percaya. "A-apa yang kamu lakukan?" Dia jadi mendadak gugup. Aku mengangkat bahuku, santai. "Ya cium suami akulah. Apa lagi emang?" Dia mengerjap-erjap, tampak jadi sulit bicara. Perlahan dia mengusap pipinya bekas kecupanku tadi. "Jangan seperti ini, Airin. Nggak baik. Kamu nggak lihat ada anak kamu?" "Anak kamu, anak kamu, anak kamu!" omelku, tak suka dengan ucapannya yang ini. "Kamu ya, Mas. Ngomongin Aila itu udah kayak bukan anak kamu. Memangnya bisa ya aku buat Aila sendirian tanpa kamu? Heran deh!"Dia menghela napas, mungkin menyesal. "Maaf. Maksudnya ... itu ... apa, iya, anak kita." "Tuh kan! Ihhh, kamu makin aneh aja deh, Mas. Kenapa sih? Kenapa kamu kayaknya nggak terima gitu? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan kamu udah nggak anggap kami ini ada? Iya? Malu ngakuin kami
Tak mau kalah, aku lantas mengekori Mas Abri, masih penasaran sejauh apa dia bertahan. Dan, ada apa sih dengan pria itu? Kenapa mendadak sikapnya berubah? Seperti aku ini tidak halal dia sentuh. Padahal sudah jelas-jelas selama tiga tahun kami tidak berhubungan. Apa tidak ada terlintas dibenaknya tentang itu? Apa mungkin dia juga tidak menginginkannya? Ah, mustahil. Penelitian saja pernah bilang, kalau laki-laki paling kuat menahan diri cuma satu sampai dua pekan. Masa suamiku yang laki-laki tulen ini bisa tahan sampai tiga tahun? Itu gila namanya. Apa mungkin dia sudah jajan diluar? Karena asumsi itu, aku jadi meringis sendiri. Ngeri-ngeri sedap membayangkan hal itu. Tapi, bukankah semua itu tidak menutup kemungkinan? Karena memang pada dasarnya, manusia itu makhluk biologis. Mana bisa tahan kalau sudah begini. Dari ambang pintu kamar, kulihat Mas Abri sudah mulai menata sofa untuk dia tiduri. Lihatlah dia. Sangat gencar sekali menjauhiku. Bahkan sampai rela tidur di sofa segala
Karena kepikiran ke arah sana, aku jadi mendadak sakit kepala. Tiba-tiba aku jadi was-was jika memang benar apa yang ada didalam benakku adalah fakta. Logikanya pula, kenapa suamiku punya kartu nama orang penting begini? Lama aku diam dengan isi kepala yang mendadak berisik, Mas Abri pun kembali muncul setelah usai menjawab teleponnya. Dari caranya berjalan, terlihat sekali dia segan-segan buat menatapku. Aku jadi merasa aneh dibuatnya. Kalau kulihat lagi diriku, memangnya apa yang salah? Aku hanya memakai baju dinas dengan lengan kensi. Memang agak membayang sampai warna kulitku terekspos walau tanpa meyibak bajuku. Tapi, bukannya harusnya dia suka? Kenapa malah menjauh? "Aku mau tidur dulu. Sudah malam. Kamu tidurlah juga," katanya sembari melengos dari depanku. Aku berbalik, lalu bertanya, "Kamu nyewa pengacara, Mas? Buat apa?" Kulihat dia kaget, seperti reaksinya yang langsung berbalik menatapku. Dengan gerakan cepat pula dia menyita kartu nama ditanganku, setelah menyadarin
"Mas izin pergi ya, Dek. Jaga anak kita. Mas janji, Mas akan segera pulang. Ini juga demi kebahagiaan kita. Biar kamu nggak selamanya melarat." Sejak dua hari lalu aku sudah menahan diri untuk tidak menangisi kepergian Mas Abri untuk merantau. Tapi nyatanya aku tidak kuat melepas suamiku. Aku benar-benar sulit merelakan lelaki itu walau katanya ini demi kami. "Cepatlah pulang, Mas. Jangan lama-lama di rantau sana. Aku sama Aila benar-benar butuh kamu. Nggak perlu harus banyak uang, Mas. Secukupnya saja. Yang penting kamu pulang dengan selamat," ucapku ditengah-tengah dekap Mas Abri.Kurasakan puncak kepalaku dikecupnya hangat. Dia menarik diri upaya menatapku dengan penuh keyakinan. "Mas janji, Mas bakalan pulang bawa kebahagiaan buat kalian. Kalau nanti kerjaan Mas lancar, Mas bakalan buatin rumah buat kamu sama Aila. Mas juga nggak akan biarin kamu kerja lagi. Itu janji, Mas. Mas cuma berharap, kamu terus doain Mas. Juga, jaga pernikahan kita. Jaga anak kita. Hanya itu permintaan
Ibuku memang ada-ada saja. Demi mengelak dari yang namanya bisik-bisik tetangga, aku malah dipaksa menerima tawaran pernikahan dari pria lain. Padahal jelas-jelas aku ini masih sah jadi istrinya Mas Abri. Apa katanya jika sekiranya dia pulang dan melihatku sudah menikah lagi? Bagaimana bisa aku menatap matanya nanti? Sudah berjalan satu pekan setelah keputusan ibu waktu itu padaku. Dan selama itu pula, aku terus berdoa dan terus berharap ada kabar dari suamiku. Walau hanya sebatas surat, atau apalah itu, yang penting dia memberikan sebuah informasi kalau sebenarnya dia masih menganggapku istrinya dan akan pulang dengan janji-janjinya dulu. "Gimana, udah ada kabar dari Abri?" tukas ibu membuatku terkesiap dari lamunan. Dengan lemah aku menggeleng, menjawabnya. Mengatakan tidak ada. "Tuh, kan! Apa Ibuk bilang, Airin. Nggak akan ada kabar darinya!" semburnya kemudian. "Sudah, Ibu udah nggak bisa biarin kamu gini terus. Besok, kita terima lamaran Pak Agung itu. Ibuk bakalan bilang sa
Bola mataku langsung saja membesar sebesar-besarnya kala mendapati sosok jangkung yang berdiri menjulang di ambang pintu di depan sana. Tanpa pikir dua kali, aku langsung melompat, menghabur menghampirinya. Tunggu, bukan hanya aku, kan yang terkejut? Pasti semua orang di sini juga demikian sampai-sampai rumah yang tadinya berisik mendadak hening. "Mas Abri!" pekikku, tak sabar ingin segera melepaskan rindu. Dadaku bergemuruh ria, emosional seketika. Tetapi, alih-alih dia menyambut reaksi antusiasku untuk memeluknya, dia malah mengelak. Dia mundur dariku. Jelas saja diwajah ini tersirat keheranan, dan tentunya dengan cepat mengumpulkan tebakan demi tebakan jahat dikepala. "Mas," ucapku, agak lemah. Aku harap sikapnya ini tidaklah menunjukkan kalau kedatangannya hanya memberikan kabar duka padaku alih-alih bahagia. "Sa–maksudnya, aku baru pulang dari tempat jauh. Agak kotor. Takut kamu nanti kena bakteri atau kuman. Sebaiknya jangan sentuh aku dulu," katanya, menjelaskan. Alih-ali