Share

Bab 3

Author: C_heline
last update Last Updated: 2024-09-23 22:09:20

Para tetanggaku, ibuku, bahkan Amy, tak berkutik lagi saat Mas Abri mengatakan akan memboyongku dan putriku pindah ke rumah baru. Kami sudah melihat rumah yang didirikan Mas Abri pagi tadi di lokasi yang lumayan jauh dari rumah ibu. Beda kecamatan. Sangat luas, sangat besar pula. Seperti apa janjinya tiga tahun lalu, seperti itulah kenyataan yang kuterima. 

Bukan hanya rumah saja yang membuatku semakin tercengang, keberadaan dua mobil mewah di garasi, juga satu unit motor bertuliskan namaku, ikut ambil peran dalam memberikan sebuah keterkejutan yang seolah tak sudah-sudah. 

Sungguh! Kekayaan Mas Abri sudah terbilang sangat cukup. Padahal hanya tiga tahun dia pergi, tapi sudah bisa memberikanku kemewahan yang tak pernah kubayangkan ini. 

Setelah pamit pada ibu, juga Amy tentunya, aku dan Aila pun resmi keluar dari rumah ibu. Aku tidak akan lagi jadi beban untuknya, dan yang paling terpenting, aku tidak akan lagi mendengar omelannya. Sepertinya makananku akan berganti mulai besok pagi. 

Disinilah kami sekarang. Di dalam rumah megah yang layaknya istana. Ada ac di setiap ruangan. Ada televisi di setiap kamar. Dapurnya bagus mirip dapur-dapur para artis terkenal. Juga lampu gantungnya persis yang ada di rumah Nagita Slavina. 

Aku tak percaya kalau aku akan menjadi pemilik rumah yang megah seperti ini. Masih terasa seperti mimpi. Kalau sampai ini hanya mimpi siang bolong, jangan sampai aku bangun lagi! Aku rela hidup di dalam mimpi ini selamanya, asalkan itu tetap berada disamping suamiku. 

"Mas, mau makan dulu apa mandi dulu?" tanyaku di sela dia merapikan kamar. Karena baru diisi, jadi masih terlihat berantakan. 

"Aku mau mandi saja dulu. Kamu makanlah. Sebentar lagi Aila pulang sekolah, kan? Aku jemput dia dulu baru makan siang sama-sama," jawabnya. 

Aku lantas berdecak, sebal. Bagaimana bisa dia tega mengatakan aku makan duluan?Kuhentakkan kakiku sambil berjalan mendekatinya. Kebetulan sekali dia sedang membelakangiku karena sibuk merapikan lemarinya. Gemas, aku pun langsung melayangkan pelukan yang tak dia sangka-sangka.

"Eh." Dia kaget sampai langsung menjauh dariku. "Kamu ngapain?" 

Aku malah ikutan kaget. "Ya meluk suamiku lah.  Ngapain lagi, Mas?" jawabku apa adanya dengan dahi yang mengerut. 

Habisnya! Sudah hampir seharian ini dia tidak mau menyentuhku. Sekadar basa-basi atau apa kek. Cium kening pun jadilah. Tapi ini? Dia malah sibuk sendiri. Istri mana yang tidak kesal? 

"A-aku kan udah bilang, aku belum mandi. Masih bau. Kotor pula. Jangan dekat-dekat. Nanti kamu kena bakteri. Mau?" jelasnya, terus saja itu alasannya. 

"Mau, sini!" Aku gegas melebarkan tanganku, kuterima dengan lapang dada alasannya yang nanti kena kumanlah apalah itu!

"Eh, eh!"  Alih-alih menyambutku, dia malah semakin memojokkan dirinya. Sampai sudut lemari bertemu dinding. "Nanti kamu sakit. Jangan! Nanti ya? Aku mandi dulu." 

"Apaan sih, Mas? Orang cuma peluk lho! Kita udah lama nggak ketemu, tau! Masa peluk doang kamu nggak kasih sih? Emangnya kamu nggak kangen aku ya? Atau jangan-jangan emang benar, kamu itu punya istri lain di tempat jauh sana?" Aku memelas sembari duduk kesal di pinggir kasur. 

Sebal pula lama-lama melihatnya yang terus menghindariku. Seolah-olah aku ini haram untuknya.

"Jangan percaya gosip," bantahnya, tidak membenarkan hal itu. 

"Ya kalau gitu kenapa coba Mas nggak mau peluk aku? Apa kek. Pegang tangan aja kek. Nggak ada tuh! Malah kayak orang asing kelihatannya." 

Kulihat dia mulai berdiri tegak lagi, tidak seperti tadi yang menyudut ke tembok. Dia berjalan pelan ke arahku. "Kamu jangan seperti anak kecil begini. Aila saja nggak sampai segitunya." 

"Ya iyalah! Orang Aila Mas kasih peluk cium! Lah aku? Jangankan dikasih itu, dipegang tangannya aja nggak!" 

Kulihat dia tersenyum tipis. Sebenarnya apa rencananya? Apa jangan-jangan dia mau mengerjaiku? Mungkin ada alasan lain lagi makanya dia bersikap begini? Apa mungkin dia mau memberikanku kejutan dengan membuatku kesal dulu? 

Ah, kenapa aku tidak kepikiran sejak tadi? Bisa jadi begitu, bukan? Wajar saja pola pikirnya itu mulai lebih berubah, karena dia tinggal di kota yang lebih maju dan tentu gaya lingkungan juga. Pasti suamiku ini sudah terkontaminasi. Jadinya beginilah. Mau kasih kejutan saja harus dikerjai dulu. Kata mereka sih, 'prank'. 

"Kamu makanlah sana. Sebentar lagi aku pergi jemput Aila," katanya hendak menyudahi pertengkaran kecil ini. 

"Nggak! Aku mau makan sama kalian. Masa aku kayak diasingkan gitu sih, Mas? Harusnya Mas bilang tungguin gitu. Ini malah disuruh makan duluan," cebikku, menolak. 

"Ya sudah. Kalau gitu, keluar dulu kamu. Aku mau mandi," katanya, malah mengusirku. 

Aku kaget, langsung menatap ke arahnya dengan mata membola. "Lah, kenapa harus keluar? Emangnya kenapa kalau aku di sini?"

"Ya ampun. Kamu ini cerewet sekali. Kenapa nggak menurut saja?" 

"Nggak mau!" Aku semakin emosi. "Kenapa emang aku harus keluar? Kamu malu, Mas? Kamu nggak mau aku lihat kamu lagi telan*jang?" 

"Eh!" tegurnya dengan mata membulat.

"Apa? Ah, eh, ah, eh! Pokoknya aku nggak mau. Orang kangen sama suami sendiri kok. Masa disuruh keluar sih? Mana udah lama lagi nggak liat yang segar-segar. Selama tiga tahun ini aku terus tahan Mas. Aku cuma natap foto kita kalau lagi kangen. Nggak mau lah aku jauh-jauh dari suamiku. Rugi dong!" Aku kukuh tak mau keluar kamar. 

Toh, tidak ada salahnya juga. Lagi pula, kenapa tiba-tiba dia malu-malu di depanku. Apa efek lama tak bersua? Ah, gengsi benar suamiku ini. Apa itu malu? Aku rela jadi perempuan murahan di depannya. Habis, aku sudah rindu berat. Sudah layaknya air laut. Kedalamannya belum diketahui pasti sampai saat ini. Yang jelas, benar-benar dalam! 

"Ya sudah, kamu di situ saja," ucapnya, mengalah. 

Aku langsung kegirangan. Semakin kunyamankan pose dudukku. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas ranjang, siap menanti tubuh kekar suamiku yang nanti tidak akan berbungkus apa-apa. 

"Lho, lho, mau ngapain?" Aku tiba-tiba kaget saat dia malah membawa baju serta handuknya ke dalam kamar mandi. 

"Aku mau pakai baju di kamar mandi," jawabnya, santai. 

"Astaga, Mas! Ngapain coba ganti baju di kamar mandi? Ada-ada aja deh!" Gaya santai tadi hanya bertahan beberapa detik. Aku sudah kembali tegak lagi, gemas ingin sekali mendekatinya. 

Lagi-lagi dia menjauh dariku. "Tunggulah di luar. Aku nggak akan ke mana-mana," katanya. 

"Ya nggak akan ke mana-mana emang. Tapi, kan–"

"Aku mandi dulu," potongnya, cepat. Tanpa basa-basi lagi dia langsung melengos masuk ke dalam kamar mandi. 

Aku jadi mengerang dalam dada, kesal juga lama-lama. Sudah cukup rasa rindu ini ditahan-tahan! Aku sudah tidak kuat. Aku mau memeluknya, menciumnya, kalau bisa aku mau langsung memberikannya jatah setelah tiga tahun! 

Aku yakin, dia tidak akan menolak! 

Iseng, dominan kesal, aku pun pelan-pelan merayap mendekati pintu kamar mandi. Kuperjelas lagi suara pancuran shower yang sudah menyala. Itu artinya suamiku sudah mandi. 

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung saja membuka pintu kamar mandi, dan ...

"Huaaaa! Airin, ngapain kamu?" 

Related chapters

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 4

    "Wau!" Aku berdecak kagum memlihat segarnya tubuh suamiku. Aku bahkan sampai meneguk ludah, baru sadar kalau aku ternyata punya suami berbadan kekar layaknya bintara. "Airin, astaga!" pekik Mas Abri, tak sudah-sudah dia gelagapan sendiri. Sialnya, cepat sekali suamiku itu bergerak menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. Padahal rambutnya masih setengah bersabun. Gemas aku jadinya! "Ya elah. Kayak sama siapa aja kamu, Mas. Mana pake acara malu-malu lagi," ucapku, sambil menaik turunkan kedua alisku. Berusaha menggodanya. "Keluar dulu sana. Kamu kenapa sih masuk kamar mandi segala? Aneh banget!" ketusnya dengan wajah sebal. "Mas yang aneh, tau! Enak aja orang dibilang aneh." "Ya ampun, Airin. Tolong keluar dulu. Aku belum selesai mandi!" Dia terlihat memelas. Aku mengangkat bahu. "Ya udah sih, mandi aja. Anggap aja aku nggak ada Mas. Atau nggak, aku mandiin mau? Sekalian ...." "Jangan aneh-aneh kamu!" potongnya yang segera berjalan lebih dekat padaku. "Cepat keluar sana. Ja

    Last Updated : 2024-09-23
  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 5

    Mas Abri langsung kaget mendapati aksiku tadi. Sejenak dia terdiam dengan bola mata yang membulat. Setelah itu dia langsung bangkit dari kursinya dan menatapku penuh dengan rasa tidak percaya. "A-apa yang kamu lakukan?" Dia jadi mendadak gugup. Aku mengangkat bahuku, santai. "Ya cium suami akulah. Apa lagi emang?" Dia mengerjap-erjap, tampak jadi sulit bicara. Perlahan dia mengusap pipinya bekas kecupanku tadi. "Jangan seperti ini, Airin. Nggak baik. Kamu nggak lihat ada anak kamu?" "Anak kamu, anak kamu, anak kamu!" omelku, tak suka dengan ucapannya yang ini. "Kamu ya, Mas. Ngomongin Aila itu udah kayak bukan anak kamu. Memangnya bisa ya aku buat Aila sendirian tanpa kamu? Heran deh!"Dia menghela napas, mungkin menyesal. "Maaf. Maksudnya ... itu ... apa, iya, anak kita." "Tuh kan! Ihhh, kamu makin aneh aja deh, Mas. Kenapa sih? Kenapa kamu kayaknya nggak terima gitu? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan kamu udah nggak anggap kami ini ada? Iya? Malu ngakuin kami

    Last Updated : 2024-10-05
  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 6

    Tak mau kalah, aku lantas mengekori Mas Abri, masih penasaran sejauh apa dia bertahan. Dan, ada apa sih dengan pria itu? Kenapa mendadak sikapnya berubah? Seperti aku ini tidak halal dia sentuh. Padahal sudah jelas-jelas selama tiga tahun kami tidak berhubungan. Apa tidak ada terlintas dibenaknya tentang itu? Apa mungkin dia juga tidak menginginkannya? Ah, mustahil. Penelitian saja pernah bilang, kalau laki-laki paling kuat menahan diri cuma satu sampai dua pekan. Masa suamiku yang laki-laki tulen ini bisa tahan sampai tiga tahun? Itu gila namanya. Apa mungkin dia sudah jajan diluar? Karena asumsi itu, aku jadi meringis sendiri. Ngeri-ngeri sedap membayangkan hal itu. Tapi, bukankah semua itu tidak menutup kemungkinan? Karena memang pada dasarnya, manusia itu makhluk biologis. Mana bisa tahan kalau sudah begini. Dari ambang pintu kamar, kulihat Mas Abri sudah mulai menata sofa untuk dia tiduri. Lihatlah dia. Sangat gencar sekali menjauhiku. Bahkan sampai rela tidur di sofa segala

    Last Updated : 2024-10-05
  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 7

    Karena kepikiran ke arah sana, aku jadi mendadak sakit kepala. Tiba-tiba aku jadi was-was jika memang benar apa yang ada didalam benakku adalah fakta. Logikanya pula, kenapa suamiku punya kartu nama orang penting begini? Lama aku diam dengan isi kepala yang mendadak berisik, Mas Abri pun kembali muncul setelah usai menjawab teleponnya. Dari caranya berjalan, terlihat sekali dia segan-segan buat menatapku. Aku jadi merasa aneh dibuatnya. Kalau kulihat lagi diriku, memangnya apa yang salah? Aku hanya memakai baju dinas dengan lengan kensi. Memang agak membayang sampai warna kulitku terekspos walau tanpa meyibak bajuku. Tapi, bukannya harusnya dia suka? Kenapa malah menjauh? "Aku mau tidur dulu. Sudah malam. Kamu tidurlah juga," katanya sembari melengos dari depanku. Aku berbalik, lalu bertanya, "Kamu nyewa pengacara, Mas? Buat apa?" Kulihat dia kaget, seperti reaksinya yang langsung berbalik menatapku. Dengan gerakan cepat pula dia menyita kartu nama ditanganku, setelah menyadarin

    Last Updated : 2024-10-05
  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 8

    Larut dalam isi kepala yang tak sudah-sudah, aku pun mulai diantar oleh lelap yang menyusup masuk menyerang pertahanan. Mungkin sebentar lagi aku akan terlelap, dan siap menghilang sebentar dari muka bumi ini. Namun, kelopak mata yang tadinya sudah sangat berat, mendadak terbuka lagi manakala suara ponsel mengudara begitu saja. Aku terkesiap, cepat-cepat membuka mata dan memeriksa sumber suara. Aku berusaha bergerak ditengah tangan Mas Abri berada di bahuku, takut kalau dia terusik. Jika begini saja aku bisa menyentuhnya dengan bebas. Kalau dia terbangun, takut dia nanti cosplay jadi orang kesurupan. Anehnya, saat aku sudah banyak gerak bahkan sudah mengambil ponselnya yang ada di nakas di sebelahnya, laki-laki ini tetap saja tertidur tanpa terusik sama sekali. Padahal suara ponselnya cukup berisik. Tapi tak juga bisa membuatnya terusik atau minimal merasa terganggu. Kenapa bisa begitu? Padahal Mas Abri itu paling anti suara berisik bahkan senyenyak apa pun dia terlelap. Kejadian w

    Last Updated : 2024-10-06
  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 9

    Apa katanya tadi? Aku tahu itu memang hanya mengigau, tapi kenapa terdengar asing? Seperti ada suatu permasalahan yang membuat Mas Abri sampai membahas tentang sidang.Tapi, sidang apa? Apa yang coba dia selesaikan dipersidangan? Atau jangan-jangan masih tentang asumsiku yang kemarin? Kalau dia memang pulang untuk berniat berpisah denganku?"Mas Abri!" panggilku kuat, sengaja. Sontak saja dia terkesiap, lantas buru-buru bangun. Dia mengerjap-erjap cepat, menoleh sana-sini. Setelahnya, dia langsung meringis seperti ada rasa sesal di sana. "Eh, kalian. Ada apa?" tanyanya."Pa, ayo berangkat sekolah," jawab Aila, mewakiliku. "Lho, memangnya sudah pukul berapa ini?""Jam delapan! Udah siang kali, Mas!" semburku, setengah sebal. "Ayo, bangun. Kok masih diam aja sih? Aila udah mau telat itu!" Aku mengomelinya sembari menurunkan semua bantal dari atas kasur serta selimut yang melilit tubuh padat Mas Abri. Dia jadi tergeser sedikit karena aku menarik paksa. "Sabar dong," ucapnya, lembut

    Last Updated : 2024-10-06
  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 10

    Setelah lama menahan kesakitan ini, aku lantas memaksa diri untuk kembali tegar. Aku ingat tentang banyaknya kata pepatah. 'Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya'. Mungkin inilah yang sedang terjadi padaku. Aku menunggu orang yang sudah bukan lagi ada dimasaku. Aku mendambakan orang yang bukan lagi mendamba diriku. Aku hanya terpaku pada hayalan yang mana jelas-jelas aku bukanlah harapannya. Walau sakit, kupaksa menelan kepahitan ini. Tenggorokanku rasanya sakit. Bahkan untuk menangis sekuat tenaga pun aku tak kuasa lagi. Ini sudah terlalu menyakitkan sampai aku tidak sanggup lagi melepaskan napas yang biasa. Dengan sekuat tenaga, aku pun kembali bangun. Kurapikan koper miliknya, lantas menarik koper milikku yang ada diatas lemari. Buat apa lagi aku bertahan di rumah ini kalau kenyataannya suamiku berniat membuangku? Lebih baik aku sadar diri, dan pergi dengan sendirinya dari pada harus diusir. Bibirku terus bergetar menahan tangis sembari merapikan barang-barang

    Last Updated : 2024-10-06
  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 11

    Logikaku mengatakan kalau itu hanyalah ucapan manis Mas Abri saja. Tapi hati kecil ini tampak goyah, menginginkan pembuktian atas ucapannya tadi. Kulepaskan pelan pelukannya lalu menatap matanya penuh dengan pengharapan. "Jujurlah, Mas. Kalau emang benar kamu punya wanita lain, pergilah. Aku akan berikan jalan yang lurus buatmu. Kalau pun harus dipaksa, hubungan kita ini hanyalah jadi sebatas status aja. Nggak ada lagi kehangatan kayak dulu. Lebih baik dari sekarang dari pada semakin lama kita berdua semakin terluka," ucapku, memberikan sebuah keikhlasan padanya. Walau mungkin hanya aku yang bisa merasakan bagaimana sakitnya menahan setiap helaan napas yang keluar dari bibirku. Sakit! Sangat sakit sampai rasanya lebih baik mati. "Apalagi yang kamu mau? Aku sudah menjelaskan semuanya, Airin. Nggak ada wanita lain. Aku cuma punya kamu," tegasnya, kukuh mengatakan hal itu. "Mau sampai kapan sih Mas kamu bohong? Bukannya semuanya udah jelas? Kamu punya kartu nama seorang pengacara. K

    Last Updated : 2024-10-09

Latest chapter

  • Suamiku Sudah Wafat    END

    Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 52

    POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 51

    "Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 50

    Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 49

    Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 48

    "Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 47

    Keningku semakin berkerut, tak suka dengan pernyataannya. Lagi-lagi aku mundur tatkala dia mendekat."Lepaskan tanganmu itu, Brengsek!"Suara teguran itu membuatku mendelik yang refleks menoleh ke sumber suara. Bola mataku membulat ketika menyadari yang baru saja berujar tak lain adalah dia. Laki-laki yang sudah merebut hak suamiku!Pria bajingan yang tak tahu malu itu!Dia berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Yang pasti saat ini aku hanya menatapnya dengan kobaran api amarah yang benar-benar besar padanya."Di mana penjaganya? Kenapa nggak ada orang di rumah ini, Airin?" tanyanya sembari melepaskan jasnya lalu menutupi tubuhku yang hanya berbalut dres rumahan.Gegas kutepis perlakukannya yang seolah menggambarkan suami yang siaga dan tak suka melihatku begini. Padahal nyatanya dia lebih bejad dan lebih membuatku tak ada harganya lagi!"Jangan pura-pura di depanku lagi! Sudah kukatakan itu padamu!" tekanku memperingatinya.Dia mendesah berat, lalu mengu

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 46

    Sepasang suami istri itu langsung tukar pandang begitu mendengar habis kata-kataku. Mungkin mereka kurang percaya aku mengatakan hal ini. Biarkanlah begitu. Yang terpenting saat ini, aku bisa membantu orang-orang yang kesulitan karena pria itu sama sepertiku."Kalau memang begitu, di mana dia, Buk? Apa kami bisa bertemu dengannya?" tanyanya kemudian."Dia ... dia nggak ada di sini. Baru saja dia pergi entah ke mana. Aku harap dia lagi nggak ngerencaniin melarikan diri dari semua ini. Sudah cukup semua akal bulusnya!" Aku jadi emosi sendiri menjabarkan apa yang terjadi."Benarkah begitu, Buk?"Aku mengangguk. Kulihat dia mengusap dadanya, seakan hilang harapan. Kudapati lagi keduanya saling menguatkan diri yang membuat hati kecilku kembali bersimpati. Tak tega melihatnya begitu. Jika aku sakit begini, lantas apa kabar dengan mereka?Tanpa punya kesalahan, mereka harus kehilangan anak tercinta. Siapa yang tidak akan hancur jika sudah berada di posisi suami istri ini? Apalagi dengan fak

  • Suamiku Sudah Wafat    Bab 45

    "Nggak ada yang seperti itu, Airin. Tolong–"Lagi-lagi dering ponselnya menginterupsi. Dia menatap layar handphone-nya yang menyala lantas melanjutkan, "Aku nggak punya waktu lagi. Maafkan aku." Aku sempat bingung apa maksudnya, tapi ketika dia berjalan menjauh ke ambang pintu kamar, aku langsung mendelik. Gegas kedua kakiku melangkah cepat menyusulnya, berharap bisa menggagalkan aksinya yang menutupi pintu. "Libra! Buka pintunya! Buka pintunya!" pekikku. Aku tak sempat menghentikan aksinya yang sigap mengunci pintu kamar. Tak ada kudengar lagi suaranya. Itu artinya dia benar-benar pergi. Walau pun begitu, aku tetap berusaha berontak, memukul kayu pipih itu sambil terus memutar-mutar handle pintu. Tetap saja nihil! Pria bajingan itu telah mengunciku dari luar sana. Sebenarnya apa yang hendak dia lakukan? Apa lagi rencana busuk yang coba dia berikan padaku?Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mendadak linglung. Kepalaku seperti diam tak berkutik. Sampai aku sebal sendiri. Alih-a

DMCA.com Protection Status