Bola mataku langsung saja membesar sebesar-besarnya kala mendapati sosok jangkung yang berdiri menjulang di ambang pintu di depan sana. Tanpa pikir dua kali, aku langsung melompat, menghabur menghampirinya.
Tunggu, bukan hanya aku, kan yang terkejut? Pasti semua orang di sini juga demikian sampai-sampai rumah yang tadinya berisik mendadak hening. "Mas Abri!" pekikku, tak sabar ingin segera melepaskan rindu. Dadaku bergemuruh ria, emosional seketika. Tetapi, alih-alih dia menyambut reaksi antusiasku untuk memeluknya, dia malah mengelak. Dia mundur dariku. Jelas saja diwajah ini tersirat keheranan, dan tentunya dengan cepat mengumpulkan tebakan demi tebakan jahat dikepala. "Mas," ucapku, agak lemah. Aku harap sikapnya ini tidaklah menunjukkan kalau kedatangannya hanya memberikan kabar duka padaku alih-alih bahagia. "Sa–maksudnya, aku baru pulang dari tempat jauh. Agak kotor. Takut kamu nanti kena bakteri atau kuman. Sebaiknya jangan sentuh aku dulu," katanya, menjelaskan. Alih-alih memahami maksudnya, aku justru salah fokus pada nada bicaranya. Apa perasaanku saja kalau dia terdengar formal sekali padaku? Apa karena efek merantau ya? Seperti terbawa arus lingkungannya makanya dia jadi punya nada bicara yang demikian? Kuenyahkan semua perasaan buruk itu. Tidak penting lagi semuanya. Bagiku yang terpenting saat ini adalah kepulangan suamiku. Ternyata dia masih menjadi milikku. Dia masih ingat janjinya yang akan pulang segera. Aku menyeka air mata, jadi terharu. "Kenapa Mas nggak ada kabar selama ini? Aku takut Mas kenapa-kenapa di rantau sana," aduku, kini sudah punya tempat pulang. Dia tersenyum agak tipis. "Maaf. Aku terlalu sibuk di tanah orang sana. Jadi lupa mengabarimu." "Nggak apa-apa, Mas. Yang penting saat ini Mas udah pulang." Lagi-lagi dia hanya memberikan senyumannya. Aneh sekali. Setelah lama tak bersua, harusnya dia pun antusias sama sepertiku. Tapi kenapa aku merasa kalau sikap Mas Abri jadi agak dingin? Apa dia tidak merindukan istrinya ini? Dan ... apa perasaanku saja ya, kalau dia tampak berbeda? Tapi kalau dilihat lagi, yang berbeda darinya hanyalah potongan rambut. Gaya busana. Juga kulit yang agak lebih cerah dan segar. Lebih dari itu, suamiku tetap seperti suamiku yang dulu. Tidak berubah. Walau sekarang agak berisi. "Abri? Udah pulang kamu? Dari mana aja selama ini? Tiga tahun bukannya ngabarin orang, malah hilang nggak jelas kamu," cecar Ibu sambil berdiri menghampiri. "Maafkan saya, Bu. Saya benar-benar merasa bersalah. Tapi saya akan coba menebus kesalahan saya pada kalian semua," sahut Mas Abri, sopan sekali. Ralat! Bukan sopan lagi, tapi sangat sopan dan sangat formal. Sikapnya ini bukanlah sikap suamiku yang lebih suka gaya bicara yang bebas. Apalagi kalau dengan Ibu. Mas Abri cenderung suka bercanda walau Ibu tidak suka. Semua itu dia lakukan hanya untuk mencairkan hati Ibu karena gagal menepati janji untuk membawaku hidup lebih enak. Tapi hari ini sangat jauh berbeda. Dia seperti bukan dia yang dulu. Malah terlihat seperti orang asing yang memakai wajah suamiku. "Halah! Kamu mulut aja yang manis. Tingkah kamu busuk," cebik Ibu kembali. "Saya nggak berniat begitu, Bu. Tolong maafkan saya." "Mas, udahlah. Nggak usah terlalu diladeni apa kata Ibuk. Kayak nggak tahu aja," ucapku, mencoba menenangkannya. Lagi-lagi aku seperti tak diinginkan, ketika aku hendak memegangi lengannya dia malah menjauhkannya dariku. Kerutan dahiku semakin tercetak sempurna, benar-benar aneh dengan sikapnya ini. "Karena saya sudah pulang, tolong hentikan acara ini, Bu. Airin nggak bisa dijodohkan begini. Biarkan saya bawa dia lagi. Saya janji akan menjaganya," tambah Mas Abri lagi, yang membuat hati kecilku langsung tersentuh. "Hei, hei! Jangan seenaknya ya kamu! Aku dan Airin akan bertunangan hari ini. Siapa kamu bisa membatalkan seenaknya?" sembur Pak Agung, marah-marah tak terima. Jujur saja, melihat wajahnya sudah membuatku muak. Pun, apa haknya melarang suamiku membawaku pergi? Jelas-jelas aku ini hanya dipaksa mau menerimanya. Kalau dari hati yang paling kecil mah, idih-idih amit-amit deh punya suami kayak kacang rebus itu. Sudahlah bantet, gosong pula! Ihhh. "Maaf, tapi Airin ini istri saya. Saya berhak membatalkan acara ini!" tegas Mas Abri kembali. "Enak saja! Aku sudah lama menunggunya. Lagi pula, kamu itu sudah lama nggak ada kabarnya. Siapa yang tahu niatmu datang ke sini itu baik atau buruk. Atau jangan-jangan kamu berniat membawa Airin ke tanah rantau sana dan menjualnya di sana. Kan sekarang banyak kasus semacam itu," tuding Pak Agung, tak tanggung-tanggung. "Ibu setuju!" timpa ibu. Katanya dia sependapat dengan omong kosong lelaki pilihannya. "Sebelum kamu kasih bukti ke kami kenapa selama ini kamu nggak kasih kabar, saya juga nggak akan biarin kamu bawa Airin lagi. Dia udah jadi janda sekarang!" "Siapa yang bilang?" tantang Mas Abri. Kulihat dia merogoh sakunya mengeluarkan dompet. "Sebagai ucapan terima kasih saya ke Ibuk karena sudah menjaga anak dan istri saya, saya kasih imbalan untuk itu. Terima lah, Buk. Nggak banyak. Cuma dua ratus juta." Sontak saja kami semua tercengang mendengar pengakuannya barusan. Jangankan aku, Ibu saja langsung ternganga apalagi melihat sebuah kartu kredit yang diberikan Mas Abri. "What! Dua ratus juta?" pekik Amy yang sejak tadi hanya menyimak. "Buset, Mas Abri. Kerja apa di rantau sana? Kok udah punya banyak duit aja?" "Alhamdulillah, kerjanya lancar. Makanya saya jarang kasih kabar," jawab lelakiku itu dengan nada tenang. "Ini beneran isinya segitu? Nggak bohong, kan kamu?" ujar Ibu sembari menarik kartu dengan chip emas ditangan Mas Abri. Lihatlah bola mata Ibuku itu, sudah hampir mau keluar. Benar-benar secinta itu dirinya dengan yang namanya uang. Sampai-sampai dia lupa kalau dia sangat mengutuk Mas Abri sebab tak memberikan kabar. "Benar, Buk. Ibuk bisa cek secara manual, atau bisa juga lewat m-bankingnya." Tak butuh waktu lama, akhirnya ibu pun angkat suara. "Bubar-bubar! Ngapain kalian semua ke rumah saya. Sana keluar. Menantu saya sudah pulang. Anak saya juga bukan perempuan tanpa status lagi! Suaminya sudah kembali. Punya banyak uang lagi! Jadi, saya nggak takut lagi sama lisan-lisan kotor kalian yang terus mengatai anak saya! Pergi sana!" usirnya tak segan-segan. Aku jadi bergidik lucu sendiri. Benar-benar Ibuku yang aneh. Moodnya gampang sekali berubah. Tapi paling mujarab mengubah suasana hatinya, tentulah karena uang. Detik itu pula semua tamu-tamu yang kebanyakan para tetangga ini langsung menghamburan keluar. Ada yang kesal, ada yang masih tercengang, ada pula yang ikut terlihat senang. Terserahlah apa yang terjadi. Pokoknya hari ini aku bebas. Entah itu bebas dari hinaan, bebas dari omelam Ibu, dan juga bebas dari prasangka burukku tentang suamiku. "Mas, ayo ke kamar. Bersihin tubuh kamu. Aku kangen banget, Mas. Pengen pelukk," bisikku, manja. Sungguh, aku memang benar-benar merindukannya. "Kita langsung pulang saja. Aku sudah menyiapkan rumah untukmu dan anak kamu. Baiknya langsung ditempati," jawabnya sekenanya. "Anak kamu? Kayak bukan anak sendiri aja," sindirku, sinis. Dari banyak hal yang dia katakan, kalimat konyol ini yang membuatku sedikit merasa aneh. Apa maksudnya cuma bilang anak kamu, bukannya seharusnya 'anak kita'.Para tetanggaku, ibuku, bahkan Amy, tak berkutik lagi saat Mas Abri mengatakan akan memboyongku dan putriku pindah ke rumah baru. Kami sudah melihat rumah yang didirikan Mas Abri pagi tadi di lokasi yang lumayan jauh dari rumah ibu. Beda kecamatan. Sangat luas, sangat besar pula. Seperti apa janjinya tiga tahun lalu, seperti itulah kenyataan yang kuterima. Bukan hanya rumah saja yang membuatku semakin tercengang, keberadaan dua mobil mewah di garasi, juga satu unit motor bertuliskan namaku, ikut ambil peran dalam memberikan sebuah keterkejutan yang seolah tak sudah-sudah. Sungguh! Kekayaan Mas Abri sudah terbilang sangat cukup. Padahal hanya tiga tahun dia pergi, tapi sudah bisa memberikanku kemewahan yang tak pernah kubayangkan ini. Setelah pamit pada ibu, juga Amy tentunya, aku dan Aila pun resmi keluar dari rumah ibu. Aku tidak akan lagi jadi beban untuknya, dan yang paling terpenting, aku tidak akan lagi mendengar omelannya. Sepertinya makananku akan berganti mulai besok pagi.
"Wau!" Aku berdecak kagum memlihat segarnya tubuh suamiku. Aku bahkan sampai meneguk ludah, baru sadar kalau aku ternyata punya suami berbadan kekar layaknya bintara. "Airin, astaga!" pekik Mas Abri, tak sudah-sudah dia gelagapan sendiri. Sialnya, cepat sekali suamiku itu bergerak menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. Padahal rambutnya masih setengah bersabun. Gemas aku jadinya! "Ya elah. Kayak sama siapa aja kamu, Mas. Mana pake acara malu-malu lagi," ucapku, sambil menaik turunkan kedua alisku. Berusaha menggodanya. "Keluar dulu sana. Kamu kenapa sih masuk kamar mandi segala? Aneh banget!" ketusnya dengan wajah sebal. "Mas yang aneh, tau! Enak aja orang dibilang aneh." "Ya ampun, Airin. Tolong keluar dulu. Aku belum selesai mandi!" Dia terlihat memelas. Aku mengangkat bahu. "Ya udah sih, mandi aja. Anggap aja aku nggak ada Mas. Atau nggak, aku mandiin mau? Sekalian ...." "Jangan aneh-aneh kamu!" potongnya yang segera berjalan lebih dekat padaku. "Cepat keluar sana. Ja
Mas Abri langsung kaget mendapati aksiku tadi. Sejenak dia terdiam dengan bola mata yang membulat. Setelah itu dia langsung bangkit dari kursinya dan menatapku penuh dengan rasa tidak percaya. "A-apa yang kamu lakukan?" Dia jadi mendadak gugup. Aku mengangkat bahuku, santai. "Ya cium suami akulah. Apa lagi emang?" Dia mengerjap-erjap, tampak jadi sulit bicara. Perlahan dia mengusap pipinya bekas kecupanku tadi. "Jangan seperti ini, Airin. Nggak baik. Kamu nggak lihat ada anak kamu?" "Anak kamu, anak kamu, anak kamu!" omelku, tak suka dengan ucapannya yang ini. "Kamu ya, Mas. Ngomongin Aila itu udah kayak bukan anak kamu. Memangnya bisa ya aku buat Aila sendirian tanpa kamu? Heran deh!"Dia menghela napas, mungkin menyesal. "Maaf. Maksudnya ... itu ... apa, iya, anak kita." "Tuh kan! Ihhh, kamu makin aneh aja deh, Mas. Kenapa sih? Kenapa kamu kayaknya nggak terima gitu? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan kamu udah nggak anggap kami ini ada? Iya? Malu ngakuin kami
Tak mau kalah, aku lantas mengekori Mas Abri, masih penasaran sejauh apa dia bertahan. Dan, ada apa sih dengan pria itu? Kenapa mendadak sikapnya berubah? Seperti aku ini tidak halal dia sentuh. Padahal sudah jelas-jelas selama tiga tahun kami tidak berhubungan. Apa tidak ada terlintas dibenaknya tentang itu? Apa mungkin dia juga tidak menginginkannya? Ah, mustahil. Penelitian saja pernah bilang, kalau laki-laki paling kuat menahan diri cuma satu sampai dua pekan. Masa suamiku yang laki-laki tulen ini bisa tahan sampai tiga tahun? Itu gila namanya. Apa mungkin dia sudah jajan diluar? Karena asumsi itu, aku jadi meringis sendiri. Ngeri-ngeri sedap membayangkan hal itu. Tapi, bukankah semua itu tidak menutup kemungkinan? Karena memang pada dasarnya, manusia itu makhluk biologis. Mana bisa tahan kalau sudah begini. Dari ambang pintu kamar, kulihat Mas Abri sudah mulai menata sofa untuk dia tiduri. Lihatlah dia. Sangat gencar sekali menjauhiku. Bahkan sampai rela tidur di sofa segala
Karena kepikiran ke arah sana, aku jadi mendadak sakit kepala. Tiba-tiba aku jadi was-was jika memang benar apa yang ada didalam benakku adalah fakta. Logikanya pula, kenapa suamiku punya kartu nama orang penting begini? Lama aku diam dengan isi kepala yang mendadak berisik, Mas Abri pun kembali muncul setelah usai menjawab teleponnya. Dari caranya berjalan, terlihat sekali dia segan-segan buat menatapku. Aku jadi merasa aneh dibuatnya. Kalau kulihat lagi diriku, memangnya apa yang salah? Aku hanya memakai baju dinas dengan lengan kensi. Memang agak membayang sampai warna kulitku terekspos walau tanpa meyibak bajuku. Tapi, bukannya harusnya dia suka? Kenapa malah menjauh? "Aku mau tidur dulu. Sudah malam. Kamu tidurlah juga," katanya sembari melengos dari depanku. Aku berbalik, lalu bertanya, "Kamu nyewa pengacara, Mas? Buat apa?" Kulihat dia kaget, seperti reaksinya yang langsung berbalik menatapku. Dengan gerakan cepat pula dia menyita kartu nama ditanganku, setelah menyadarin
Larut dalam isi kepala yang tak sudah-sudah, aku pun mulai diantar oleh lelap yang menyusup masuk menyerang pertahanan. Mungkin sebentar lagi aku akan terlelap, dan siap menghilang sebentar dari muka bumi ini. Namun, kelopak mata yang tadinya sudah sangat berat, mendadak terbuka lagi manakala suara ponsel mengudara begitu saja. Aku terkesiap, cepat-cepat membuka mata dan memeriksa sumber suara. Aku berusaha bergerak ditengah tangan Mas Abri berada di bahuku, takut kalau dia terusik. Jika begini saja aku bisa menyentuhnya dengan bebas. Kalau dia terbangun, takut dia nanti cosplay jadi orang kesurupan. Anehnya, saat aku sudah banyak gerak bahkan sudah mengambil ponselnya yang ada di nakas di sebelahnya, laki-laki ini tetap saja tertidur tanpa terusik sama sekali. Padahal suara ponselnya cukup berisik. Tapi tak juga bisa membuatnya terusik atau minimal merasa terganggu. Kenapa bisa begitu? Padahal Mas Abri itu paling anti suara berisik bahkan senyenyak apa pun dia terlelap. Kejadian w
Apa katanya tadi? Aku tahu itu memang hanya mengigau, tapi kenapa terdengar asing? Seperti ada suatu permasalahan yang membuat Mas Abri sampai membahas tentang sidang.Tapi, sidang apa? Apa yang coba dia selesaikan dipersidangan? Atau jangan-jangan masih tentang asumsiku yang kemarin? Kalau dia memang pulang untuk berniat berpisah denganku?"Mas Abri!" panggilku kuat, sengaja. Sontak saja dia terkesiap, lantas buru-buru bangun. Dia mengerjap-erjap cepat, menoleh sana-sini. Setelahnya, dia langsung meringis seperti ada rasa sesal di sana. "Eh, kalian. Ada apa?" tanyanya."Pa, ayo berangkat sekolah," jawab Aila, mewakiliku. "Lho, memangnya sudah pukul berapa ini?""Jam delapan! Udah siang kali, Mas!" semburku, setengah sebal. "Ayo, bangun. Kok masih diam aja sih? Aila udah mau telat itu!" Aku mengomelinya sembari menurunkan semua bantal dari atas kasur serta selimut yang melilit tubuh padat Mas Abri. Dia jadi tergeser sedikit karena aku menarik paksa. "Sabar dong," ucapnya, lembut
Setelah lama menahan kesakitan ini, aku lantas memaksa diri untuk kembali tegar. Aku ingat tentang banyaknya kata pepatah. 'Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya'. Mungkin inilah yang sedang terjadi padaku. Aku menunggu orang yang sudah bukan lagi ada dimasaku. Aku mendambakan orang yang bukan lagi mendamba diriku. Aku hanya terpaku pada hayalan yang mana jelas-jelas aku bukanlah harapannya. Walau sakit, kupaksa menelan kepahitan ini. Tenggorokanku rasanya sakit. Bahkan untuk menangis sekuat tenaga pun aku tak kuasa lagi. Ini sudah terlalu menyakitkan sampai aku tidak sanggup lagi melepaskan napas yang biasa. Dengan sekuat tenaga, aku pun kembali bangun. Kurapikan koper miliknya, lantas menarik koper milikku yang ada diatas lemari. Buat apa lagi aku bertahan di rumah ini kalau kenyataannya suamiku berniat membuangku? Lebih baik aku sadar diri, dan pergi dengan sendirinya dari pada harus diusir. Bibirku terus bergetar menahan tangis sembari merapikan barang-barang
Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud
POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,
"Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku
Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia
Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha
"Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka
Keningku semakin berkerut, tak suka dengan pernyataannya. Lagi-lagi aku mundur tatkala dia mendekat."Lepaskan tanganmu itu, Brengsek!"Suara teguran itu membuatku mendelik yang refleks menoleh ke sumber suara. Bola mataku membulat ketika menyadari yang baru saja berujar tak lain adalah dia. Laki-laki yang sudah merebut hak suamiku!Pria bajingan yang tak tahu malu itu!Dia berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Yang pasti saat ini aku hanya menatapnya dengan kobaran api amarah yang benar-benar besar padanya."Di mana penjaganya? Kenapa nggak ada orang di rumah ini, Airin?" tanyanya sembari melepaskan jasnya lalu menutupi tubuhku yang hanya berbalut dres rumahan.Gegas kutepis perlakukannya yang seolah menggambarkan suami yang siaga dan tak suka melihatku begini. Padahal nyatanya dia lebih bejad dan lebih membuatku tak ada harganya lagi!"Jangan pura-pura di depanku lagi! Sudah kukatakan itu padamu!" tekanku memperingatinya.Dia mendesah berat, lalu mengu
Sepasang suami istri itu langsung tukar pandang begitu mendengar habis kata-kataku. Mungkin mereka kurang percaya aku mengatakan hal ini. Biarkanlah begitu. Yang terpenting saat ini, aku bisa membantu orang-orang yang kesulitan karena pria itu sama sepertiku."Kalau memang begitu, di mana dia, Buk? Apa kami bisa bertemu dengannya?" tanyanya kemudian."Dia ... dia nggak ada di sini. Baru saja dia pergi entah ke mana. Aku harap dia lagi nggak ngerencaniin melarikan diri dari semua ini. Sudah cukup semua akal bulusnya!" Aku jadi emosi sendiri menjabarkan apa yang terjadi."Benarkah begitu, Buk?"Aku mengangguk. Kulihat dia mengusap dadanya, seakan hilang harapan. Kudapati lagi keduanya saling menguatkan diri yang membuat hati kecilku kembali bersimpati. Tak tega melihatnya begitu. Jika aku sakit begini, lantas apa kabar dengan mereka?Tanpa punya kesalahan, mereka harus kehilangan anak tercinta. Siapa yang tidak akan hancur jika sudah berada di posisi suami istri ini? Apalagi dengan fak
"Nggak ada yang seperti itu, Airin. Tolong–"Lagi-lagi dering ponselnya menginterupsi. Dia menatap layar handphone-nya yang menyala lantas melanjutkan, "Aku nggak punya waktu lagi. Maafkan aku." Aku sempat bingung apa maksudnya, tapi ketika dia berjalan menjauh ke ambang pintu kamar, aku langsung mendelik. Gegas kedua kakiku melangkah cepat menyusulnya, berharap bisa menggagalkan aksinya yang menutupi pintu. "Libra! Buka pintunya! Buka pintunya!" pekikku. Aku tak sempat menghentikan aksinya yang sigap mengunci pintu kamar. Tak ada kudengar lagi suaranya. Itu artinya dia benar-benar pergi. Walau pun begitu, aku tetap berusaha berontak, memukul kayu pipih itu sambil terus memutar-mutar handle pintu. Tetap saja nihil! Pria bajingan itu telah mengunciku dari luar sana. Sebenarnya apa yang hendak dia lakukan? Apa lagi rencana busuk yang coba dia berikan padaku?Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mendadak linglung. Kepalaku seperti diam tak berkutik. Sampai aku sebal sendiri. Alih-a