Bab 51Meminta CeraiPesanan kami datang, vanila latte dingin untukku dan ice americano untuknya. Tidak ada yang memulai pembicaraan selama beberapa menit berlalu. Tante Faby terlihat tidak nyaman dengan duduknya.Lucu sekali. Di situasi seperti ini aku pikir dia yang akan lebih ganas untuk menyerangku terlebih dulu, mengingat bagaimana sikapnya.“Tante nggak mau tanya?”“Eh?”“Pasti banyak yang mau Tante tanyakan padaku, ‘kan?” Walaupun sebenarnya aku yang lebih berhak bertanya kepadanya. “Oh, itu ….”“Kalau gitu, biar aku yang bicara dulu, deh.” Aku berdehem sekali sembari menyandarkan punggung pada kepala kursi, tanganku bersedekap di depan dada. “Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya—aku ini Ferry yang hampir setiap hari dalam kurun waktu satu minggu belakangan mengobrol dengan Tante lewat facebook.” Dia diam.“Gimana rasanya ditipu, Tante? Bukankah seharusnya Tante marah sama aku?” Sengaja aku mengulur waktu dengan meledeknya terlebih dahulu. Tak dapat dimungkiri bahwa aku
Bab 52Usahanya Menghiburku“Kamu salah paham, Dek. Mana mungkin aku melakukan hal kayak gitu?!” Mas Saleh terus saja menyangkal. “Kalau aku salah paham, apa kamu bisa jelasin siapa orang yang foto hot sama Tante Faby? Coba jelasin apa pekerjaan kamu sampai nggak lama kamu udah punya uang buat beli rumah!” “Dek, i-itu jelas bukan aku!” Dia menunjuk-nunjuk ponsel yang ada di tanganku. “Dilihat dari manapun juga, itu sama sekali nggak ada kesamaan! Mungkin cuma mirip aja kali, Dek. Udahlah, kamu kebanyakan nonton sinetron istri yang tersakiti jadi gampang curiga sama suami sendiri!” Mas Saleh melengos. Dia berusaha untuk menghindari tatapanku. Jelas kalau dia sedang berbohong. “Mas, apa kamu berpikir kalau permintaanku buat cerai itu hanya omong kosong?! Aku serius, Mas!”“Hush! Kamu jangan asal bilang begitu! Nggak baik. Kalau tetangga dengar bagaimana?! Bisa jadi gosip tetangga kita, Dek!” “Kita, terutama kamu udah lama jadi bahan gunjingan para tetangga. Itu bukan sesuatu yang b
Bab 53Harga Diri dan Hidup Layak"Maaf karena buat kamu nunggu lama dan nggak balas pesan kamu. Itu karena kami, Pak RT, aku dan si pembeli tanah itu lagi fokus berdiskusi mengenai harga tanah sampai ngurus sertifikatnya juga. Aku nggak sadar kalau sampai larut malam. Hehehe." Terdengar dentingan piring dan sendok hingga tombol gas yang akhirnya dimatikan. Sejak tadi dia berbicara, aku tidak memperhatikannya dan seolah-olah permukaan meja jauh lebih menarik daripada suamiku sendiri. Sampai aku baru sadar dia sudah menyiapkan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi untukku dan satu piring lagi untuknya. "Kamu tahu kalau aku paling jago bikin nasi goreng. Lama banget rasanya baru pegang wajan sama spatula. Hahah.""Mas," panggilku pelan, menginterupsi tawanya dengan mata yang tertuju pada sepiring nasi goreng di hadapanku."Akhirnya kamu menyauti ucapanku, Dek. Dari tadi rasanya aku kayak bicara sama tembok.""Aku hargai kerja keras kamu buat menghiburku," kataku mengabaikan ucapan
Bab 54Bimbang"Tapi, aku nggak bisa hidup susah terus menerus, Dek.""Kamu bilang kalau kamu ngelakuin semua pekerjaan itu buat aku sama Kevin," protesku lagi. "Kamu bilang bahwa semua usahamu hanya untuk kami. Kamu rela melakukan apa saja agar kami bisa bahagia. Dan aku, terus Kevin juga jauh lebih bahagia dan tenang tanpa harus kamu ngasih kami kemewahan."Mas Saleh mulai terlihat bimbang. Aku bisa melihat dari kedua bola matanya yang bergetar. "Aku juga akan terus berusaha menjadi istri dan ibu yang baik. Aku nggak peduli apa kata orang lain asal kamu juga begitu. Kita suami istri, gimanapun susah senang, kamu juga aku rasakan.""Tapi, rasanya sulit, Dek.""Bagian mana yang sulit? Apa kamu merasa sulit buat menerima caci maki dari orang lain?"Dia menganggukkan kepala."Kita bisa melewatinya. Usaha dan doa kita harus lebih gencar lagi agar bisa memiliki kehidupan yang layak, tapi berkah. Intinya harus sabar, Mas. Kita sabar bersama-sama dan lewatin semua rintangan sambil berpegan
Bab 55CemasMas Saleh marah saat kami sudah berada di rumah. Dia marah karena aku otak-atik ponselnya sampai menghilangkan beberapa nomor kontak. Dia tidak berbicara denganku, bahkan sampai kami mau tidur. “Mas ….” Aku menusuk-nusuk lengannya menggunakan jemari telunjuk. Saat ini dia berbaring membelakangiku. Tidak ada tanggapan sama sekali, meski aku tahu kalau dia saat ini masih terjaga. “Aku salah, aku minta maaf karena nggak minta izin dulu sama kamu. Itu karena kamu pasti akan beralasan ini itu dan nggak akan mengizinkaku—“ Masih tidak ada jawaban.“Kamu nggak tidur, ‘kan, Mas?”Aku berdecak kesal. Dia selalu begini kalau sedang marah. Mengabaikanku dan diam seribu bahasa. Karena tidak bisa tidur, aku memilih beranjak dari tempat tidur dan menuju ke ruang tamu. Sekarang sudah lewat jam 10.00 malam, Kevin sudah pasti tengah tertidur pulas, sedangkan Mas Saleh entah sudah tertidur atau belum.Karena seharian aku berada di luar, jadi belum sempat merekap pesanan untuk besok. Sam
Bab 56Sebuah Ikhtiar Akhirnya aku mengobrol lagi dengan Hilda. Dia datang ke rumah sesuai bdengan janjinya. Penampilan perempuan cantik itu terlihat kurang sehat, matanya satu dengan kantong mata yang gelap dan bibirnya pun pucat. "Kamu baik-baik aja, Hil?" "Baik-baik aja, kok, Mbak." Dia tersenyum, tetapi jelas keadaannya sangat bertolak belakang dari ucapannya itu."Kamu begadang, ya, semalam?" Bukan hanya begadang, kurasa dia juga menangis semalaman penuh setelah meneleponku. "Aku udah berusaha buat nggak bergadang, Mbak. Tapi, mataku nggak mau terpejam." Dia tertawa, bahkan suaranya saja terdengar sumbang. "Karena suamimu?"Dia mengangguk dan aku hanya bisa diam dan mencoba untuk tidak membuatnya dalam suasana hati yang semakin buruk. "Ngomong-ngomong, Mbak. Suami Mbak Mela baik-baik aja, 'kan? Maksudku Mbak Mega nggak pernah cerita apa pun soal masalah itu. Bukan bermaksud apa-apa, cuma takutnya aku yang banyak curhat begini bikin Mbak jadi nambah terbebani. Bagaimanapun,
Bab 57Tentang SalehPOV SalehAku tahu bahwa istriku adalah wanita yang bijak, baik hati dan penyayang terhadap keluarganya. Dia adalah takdir indah yang pernah kutemui sepanjang hidupku.Menikahinya adalah sebuah keberuntungan yang tidak bisa aku jabarkan dengan kata-kata. Hanya saja, memiliki sebuah kehidupan di mana bisa dihina siapa saja membuatku merasa bersalah kepadanya dan anak kami."Aku mau kamu kembalikan semua pemberian dari tante Feby," kata dia saat kami tengah ngobrol. Sudah menjadi kebiasaan setelah aku pulang dan menyantap makan malam yang dia buat, kami sering mengobrol banyak atau sekedar nonton TV bersama.Sesekali, memang aku lebih fokus kepada ponselku sendiri karena di jam-jam seperti ini, jika tidak mendapat panggilan dari Tante Feby, aku membalas chat dari beberapa calon klienku. Masih bernegosiasi, tentang masalah harga dan yang lainnya. Tentu saja bahasa yang digunakan juga harus halus dan bisa mengundang perhatian mereka. Gampangnya adalah, aku harus meng
Bab 58PengembalianKeesokan paginya, Mas Joko sudah membawa beberapa barang seperti baju, sepatu, tas, dan jam tangan. Kamu adalah barang pemberian dari Tante Feby. Seperti yang sudah kami bicarakan tadi malam bahwa semua barang pemberian atau hasil dari pekerjaan sampingan Mas Saleh itu harus dikembalikan. Aku juga menagih uang yang jumlahnya puluhan juta sebelumnya pernah diperlihatkan melalui sebuah cek. Aku yakin masih ada uang lain ya disimpan oleh Mas Joko karena hanya dengan cek itu saja dia tidak mungkin meminta untuk membeli rumah baru."Kamu yakin cuma ini aja, Mas?" tanyaku. "Uangnya nggak ada di simpan di tempat lain? Coba kamu ingat-ingat barangkali kelupaan." Sambil menyimpan barang-barang itu ke dalam paper bag, aku menanyainya. "Kamu benar-benar teliti, ya?" Ada protes di ucapannya, tetapi kendati demikian dia tetap mengeluarkan beberapa cek lain. Lalu, sebuah kartu kredit atas nama Tante Feby. Lihat kartun itu aku menghentikan kegiatanku dan menatap tak percaya pa