Keesokan paginya, selagi menunggu Vania selesai berdandan, Aditama menghubungi seseorang bernama Ricard. Ricard adalah anaknya Panji yang akan ia perintahkan untuk berpura-pura menjadi kenalannya yang telah meminjamkan unit apartemen dan uang kepadanya. Kebetulan sekali, ia bekerja di Gandara corporation yang pasti akan membuat Vania menjadi lebih percaya diri setelah mengetahuinya.Hari ini, Aditama akan mempertemukan Vania dengan Ricard seperti janjinya tadi malam.Selain karena hendak membahas masalah kerja sama, Vania juga akan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ricard atas kebaikannya. "Kau sudah paham dengan tugasmu, 'kan Chard?" tanya Aditama, hendak memastikan sebelum mereka bertemu. "Saya sudah paham, Tuan Muda dan saya akan melakukannya dengan sebaik mungkin!" ucap Ricard di sebrang sana penuh keyakinan.Mendengar hal itu, Aditama pun mangguk-mangguk. "Bagus." ujar Aditama dengan rahang mengeras. Dia kemudian menambahkan. "Yasudah ... kalau begitu sampai bertemu na
"Ngomong-ngomong ... kenapa uang yang kau pinjam cepat sekali dikembalikan, Tam?" tanya Ricard, mengganti topik pembicaraan. Mendengar hal tersebut, Aditama dan Vania saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frequensi sebelum kemudian kembali menatap Ricard. "Kebetulan kami baru saja mendapatkan uang yang datangnya dari arah tak disangka-sangka, Chard dan jumlahnya ... lumayan besar ... jadi bisa langsung untuk melunasi semua hutang-hutangku kepadamu." Jawab Aditama pada akhirnya setelah terdiam sebentar yang langsung dibenarkan oleh Vania setelahnya. Ricard mengerutkan kening mendengar hal itu. "Kau ... tak berjudi, 'kan, Tam?" tanyanya dengan penuh selidik. Sontak, Aditama dan Vania melebarkan matanya. Mencerna perkataan Ricard dalam sepersekian detik. Kemudian, Aditama mendengus dingin. Tahu jika Ricard sedang mengajaknya bergurau. Sedangkan Vania terpelongo. "Sialan! Ya tidak mungkin lah aku berjudi!" ucap Aditama sambil berdecak. Dia kemudian menambahkan
Akan tetapi, Vania tidak tersinggung mendengar jawaban dingin dari sang Kakek. Ia sadar jika kedatangannya itu tak diharapkan sama sekali dan dianggap hanya akan menyebabkan kondisi kesehatan sang Kakek tambah semakin buruk.Namun, ia benar-benar tak bisa mengacuhkan sang Kakek begitu saja. Ia harus memastikan kondisinya secara langsung.Di sisi lain, ia berharap dengan sang suami membayarkan biaya operasi dan rumah sakit, sang Kakek akan luluh dan bisa menerima Aditama.Setelah bertemu dengan Ricard, Aditama dan Vania memutuskan pergi ke rumah sakit Siola untuk menjenguk Hermanto. Sekarang Hermanto telah selesai dioperasi. 2 atau 3 hari lagi sudah diizinkan pulang dan akan dilanjut dengan rawat jalan setelahnya.Hermanto lalu menatap Vania dan Aditama bergantian untuk beberapa saat. Dia kemudian berkata. "Mau apa kalian berdua ke sini?!" tanya Hermanto dengan nada dingin dan ekspresi wajah datar. Mendengar hal itu, Vania yang tengah menundukan kepala seketika mendongak. "Menjeng
Apa jangan-jangan ... Evan ada kaitannya dengan menghilangnya ... Vania saat ini? Seketika Aditama merasa tidak karu-karuan kala teringat dengan ancaman Evan yang katanya akan membuat hidupnya menderita!Aditama pun menautkan alis, kemudian rahangnya mengeras. Apakah hal ini ... termasuk salah satu upaya ia untuk melakukan hal demikian kepadanya? Akan tetapi, Aditama buru-buru bersikap tenang. Seakan tidak terpengaruh oleh pertanyaan Evan barusan. "Ada apa kau menghubungiku?!" tanya Aditama dengan nada dingin setelah terdiam sebentar. "Kau masih ingat ... dengan ancamanku beberapa hari yang lalu 'kan, Tam?" Evan balik bertanya lagi. Mendengar hal itu, rahang Aditama mengeras. "Kau tak akan bisa melakukan hal itu padaku!" seru Aditama sambil berdecih. "Heh! sadar kau Aditama! bangun kau! jangan sering bermimpi kau! Kenapa juga aku tak bisa melakukan hal itu padamu?!" Dia kemudian menambahkan. "Kau berhasil membuat kami dipecat itu karena kau sedang beruntung saja waktu itu, Tam
Selagi Panji tengah mengetik balasan, Aditama kembali menempelkan ponsel di telinga. Hendak melanjutkan bicara dengan Evan. Tiba-tiba Aditama mengerjap kala teringat sesuatu. Bukan kah ... Evan tinggal bersama istri dan anaknya di apartemen yang sama dengan apartemen yang ia dan Vania tinggali?Detik berikutnya, terbit senyum tipis yang langsung menghiasi bibir pria itu. Ia bisa menggunakan istri dan anaknya untuk mengancam Evan balik!Aditama pun berdehem, lalu berkata, "Kau tinggal di apartemen ini ... bersama istri dan anakmu, 'bukan?" "Cih ... apa yang akan kau lakukan kepada istri dan anakku?!" balas Evan dengan nada sinis dan terkesan meremehkan. Dia kemudian menambahkan. "Apa kau mau menculik istri dan anakku juga? Sana ... lakukan saja kalau bisa!" Aditama tersenyum miring. "Baik. Jika itu yang kau inginkan ... maka ... akan kulakukan!" sambar Aditama tegas penuh keyakinan. Ucapan Aditama tak elak mengundang tawa keras dari Evan. Ia tidak percaya Aditama dapat melakuka
Dalam perjalanan menuju Groove House, Aditama tampak sedang berbicara dengan Evan di telefon di jok belakang.Sementara dua tukang pukul senior duduk di jok depan, salah satunya menyetir. "Kenapa kau menghubungiku? Apa kau mau memohon-mohon kepadaku ... untuk melepaskan istrimu?" Evan menyapa Aditama dengan nada terdengar menjengkelkan begitu panggilan terhubung. Dia kemudian menambahkan. "Jangan mimpi aku mau melakukan hal itu, Tam! Kan aku sudah bilang padamu tadi ... kalau Vania sudah kami jual kepada Tuan Theo. Jika kau ingin mendapatkan istrimu kembali ... maka ... temui saja Tuan Theo."Mendengar hal itu, pegangan pada ponsel Aditama semakin mengetat. Akan tetapi, ia buru-buru menguasai diri. Istri dan anaknya Evan telah bersamanya. Jadi, ia bisa menggunakan hal tersebut untuk mengancam Evan! "Memang itu yang akan aku lakukan!" Jawab Aditama dengan nada dingin setelah terdiam sebentar. "Oh iya ... aku mau memberitahumu ... kalau anak dan istrimu sudah bersamaku saat in
Chris mengedar pandangan ke sekeliling lebih dulu sebelum kemudian membusungkan dada, menatap Evan tajam, lalu melanjutkan kalimatnya. "Tuan Theo tidak akan mau melepaskan istrinya kuli bangunan gembel itu ... lagi pula ... kau lihat sendiri 'kan tadi ... betapa senangnya Tuan Theo ketika mendapatkan Vania?!" Mendengar hal itu, Evan memasang wajah tak berdaya. Selagi Evan terdiam, Chris kembali bicara. "Sudah lah, Van. Kau tenang saja." ucap Chris, mencoba menenangkan mantan bawahannya tersebut. Kemudian, ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi kembali sambil menghembuskan napas pelan. "Yang benar saja kau! Rencana kita telah berhasil ... kita juga telah mendapatkan uang yang begitu banyak karena hal itu ... tapi ... apa yang akan kau lakukan?!" "Lagi pula, Tuan Theo pasti akan membantu kita kalau kuli gembel itu nekat melakukan sesuatu kepada istri dan anakmu, Van!" kata Chris lagi. Evan terdiam, mencerna perkataan Chris dalam sepersekian detik sebelum kemudian mengangguk
Seketika muka Theo memerah karena marah, kedua tangannya terkepal kuat, ekspresi wajahnya langsung memancarkan aura kemarahan hebat. Siapa yang berani melakukan hal demikian pada ketiga anak buahnya? "Kurang ajar! tidak tahu kah dia sedang mencari masalah dengan siapa?!" seru Theo dengan penuh emosi menggebu. Suaranya meninggi dan wajahnya mengeras.Tiba-tiba ia mengerjap kala teringat dengan wanita itu yang berada di dalam mobil selagi ia tengah berada di ruang VIP. Ia lalu menatap bodyguardnya dengan tajam. "Segera cek wanita itu ... masih ada di dalam mobil atau tidak!" titahnya tegas. Sang bodyguard mengangguk cepat dan bergegas melakukan perintah dari sang Tuan.Selagi bodyguardnya tengah mengecek mobil, Theo berkacak pinggang dengan rahang mengeras. Ia harus segera mengecek CCTV untuk mengetahui siapa yang telah menghabisi anak buahnya. Begitu ia telah mengetahui siapa yang telah melakukan hal demikian, maka, akan ia cari sampai ketemu setelahnya dan tentu saja ia akan m
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di