Rahang Hermanto mengeras, menatap Aditama untuk beberapa saat. "Kakek ... sudah tahu mengenai ... kau yang baru mendapatkan warisan, Tama." Mendengar itu, senyum lebar yang menghiasi bibir Aditama mau pun Vania seketika pudar. Kemudian, mereka berdua kompak mengernyitkan dahi. Sementara itu, Stephanie langsung menundukan kepala. Tentu saja ia langsung merasa tidak karu-karu an karena takut Aditama akan marah karena ia memberitahu mengenai hal itu kepada Hermanto, padahal mereka berdua sudah berpesan kepada dirinya untuk tidak mengatakannya kepada siapa-siapa dulu. Termasuk kepada Hermanto. Selama sesaat, Aditama dan Vania terdiam. Vania lalu menatap sang ibu, memberi kode melalui gerakan mata. Menyadari hal itu, Stephanie langsung mendongak, ia sudah paham akan maksud dari kode gerakan mata Vania tersebut. Detik berikutnya, ia memasang wajah tidak berdaya. Dia kemudian berkata. "Maafkan mama, Van ... Tama ... " Stephanie menatap Aditama dan Vania bergantian. "Mam
"Di mana suami bajinganmu itu, Vania?!" ujar Bastian dengan rahang mengeras. Vania langsung gelagapan setelah ditanya sang Paman. "Aditama ada di—"Akan tetapi, belum sempat Vania menyelesaikan kalimatnya, Bastian sudah nyelonong masuk ke dalam unit apartemenya lebih dulu diikuti Susan dan Mario di belakangnya.Selagi mereka berdua mengikuti Bastian masuk ke dalam, Vania harus mendapatkan tatapan sinis dari mereka berdua. Melihat hal itu, Vania memasang wajah tak berdaya seiring napas berat pun berhembus keluar dari mulutnya. Ia tidak bisa mencegah mereka, terpaksa membiarkanya. Vania lalu bertanya-tanya. Ada apa mereka datang ke mari?Jika dilihat dari ekspresi wajah dan gelagatnya terlihat tidak bersahabat, cenderung buruk. Kala memikirkan hal itu, Vania tiba-tiba mengerjap, pandangannya memicing, mulai berasumsi sendiri. Apakah mungkin mereka sudah tahu jika Bella ada di sini? Dan mereka hendak mengajak Bella pulang? Mendadak, Vania merasa cemas. Tapi kecemasan itu
"Sikap kalian kepada Aditama dan Vania itu sudah sangat kelewatan! Kita itu keluarga, Ma, Pa! Tapi, kenapa kalian jahat sekali kepada mereka berdu—" PLAK! Tiba-tiba sebuah tamparan keras Bella dapatkan yang membuatnya seketika terdiam, agak terhuyung pula, lalu secara refleks ia memegangi pipinya yang terasa panas. Detik berikutnya, Bella menoleh dan mendapati sang ibu yang baru saja menamparnya. Ia pun mendengus dingin seraya geleng-geleng kepala, balik menatap sang ibu dengan perasaan kecewa bukan main. Namun tidak dengan Susan yang malah semakin menggeram, ekspresi wajahnya memancarkan aura kemarahan hebat. "Kamu ... benar-benar anak durhaka Bella! Mama dan papa kecewa berat padamu!!!" teriak Susan dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menuding muka Bella. Kemudian, napasnya tampak menderu kencang, dadanya kembang kempis. "Tadinya ... mama merasa kasihan dan mengkhawatirkanmu setelah kamu pergi dari rumah ... tapi ... setelah melihatmu seperti ini ... rasa kasih
Vania ikutan memandangi dirinya sekaligus sang suami di sampingnya—yang kini telah berubah layaknya eksekutif muda—dalam cermin besar. Vania lalu menarik kepala dari lengan Aditama, menatap sang suami dengan senyum tipis di bibirnya. "Kamu yang semangat ya ... aku yakin ... kamu pasti bisa." Kata Vania lagi, bermaksud hendak memberi semangat untuk suaminya. Mendengar itu, Aditama menghadap sang istri, lantas balas tersenyum, "Terima kasih, sayang."Tiba-tiba Vania memasang ekspresi wajah murung, lalu kepalanya tertunduk. Menyadari hal itu, Aditama mengernyitkan dahi seketika. "Ada apa, Van?" tanya Aditama. Vania mendongak, menatap sang suami lagi dengan lekat. "Dengan penampilanmu yang berubah menjadi keren dan tampan seperti ini ... apalagi kamu sudah menjadi seorang Presdir di perusahaan terkenal ... " Vania menghentikan kalimatnya sejenak. Kemudian, ia menghela napas. "Pasti, kamu akan menjadi pusat perhatian di kantor nanti ... terlebih para karyawan wanita ..
Tampak Robi tengah berjalan menghampiri Aditama. Melihat hal itu, Aditama memicingkan pandangan. Kenapa ... Robi ada di sini? Pikirnya. Namun tiba-tiba ia mengerjap kala teringat jika teman kuliah istrinya itu dulu bekerja di perusahaan keluarganya yang tak lain dan tak bukan adalah Gandara corporation. Rahang Aditama lalu mengeras, mendadak memikirkan sesuatu. Sementara itu, tiba di hadapan Aditama, Robi mengamati penampilan pria itu sekilas dan berkata. "Ke ... kenapa kau ada di sini?" tanya Robi. Kemudian, ia tertegun. "Astaga ... kuli bangunan sepertimu sama sekali tidak pantas mengenakan jas seperti ini." Cibirnya. Lalu, terbit senyum mengejek di bibir pria itu. Belum sempat Aditama menimpali, Robi sudah bicara lagi. "Tapi ... bagus deh ... sekarang kau sudah tidak memalukan seperti dulu lagi ... punya otak juga dirimu ... memutuskan mengenakan pakaian seperti ini datang ke kantor Gandara corporation." "Jika kau ke sini dengan mengenakan pakaian lusuh seperti dulu ..
Untuk waktu yang agak lama, Robi tampak tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Aditama. Selagi hal itu terjadi, Aditama terdiam. Sengaja membiarkan pria itu. "Hei ... kau pikir ... kau bisa menyogok Gandara corporation untuk menjadikanmu sebagai Presiden Direktur?!" ujar Robi dengan masih ada sisa tawa di sana. "Kuberitahu kepadamu ... menjadi seorang presiden direktur itu ... harus berpendidikan tinggi ... harus punya pengalaman berbisnis minimal 10 tahun ... bahkan bisa lebih ... selain itu ... jam terbangnya juga sudah harus tinggi ... tidak bisa sembarangan! Apalagi sekelas perusahaan multinasional terbesar seperti Gandara corporation! Standarnya sudah pasti lebih tinggi daripada perusahaan yang lain!" Robi menghentikan penjelasan sejenak, lalu tertawa lagi. Kentara belum puas menertawakan Aditama. Ia berpikir demikian karena mungkin Aditama akan membayar Gandara corporation dengan uang 1 triliun yang dia punya untuk menjadikanya sebagai seorang Preside
"Deal?""Deal!" Aditama dan Robi tengah berjabat tangan dengan erat satu sama lain—tanda dari kedua belah pihak telah setuju untuk melakukan taruhan.Kini, keduanya tengah saling tatap, saling melempar senyum penuh arti. Tiba-tiba mata Robi melebar kala teringat sesuatu. Dia kemudian berkata. "Ah, aku harus segera memberitahukan hal ini kepada Kevin dan teman-temanku yang lainya." Kata Robi setelah keduanya saling melepas tangan masing-masing. Mendengar hal itu, Aditama mengernyitkan dahi. Namun akhirnya ia membiarkan Robi untuk melakukan hal demikian. Di sisi lain, ia menjadi penasaran ingin mengetahui reaksi Kevin dan yang lainya setelah Robi memberitahukan hal itu. Sementara Robi segera merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari salam sana. Selama sesaat, jari-jemarinya tampak berkutat di layar ponsel selagi wajahnya berseri-seri. Akhirnya, setelah melakukan hal tersebut beberapa saat, Robi mengangkat ponsel tepat di depan wajahnya. Seketika layar ponsel
Robi lalu menatap Jauhar seraya menelan ludah susah payah. "Ma .. maaf Pak Jauhar ... Pak Jauhar ... baru saja memanggil Aditama ... dengan panggilan ... Pre ... presdir?" tanya Robi dengan suara dan bibir bergetar seraya menunjuk Aditama. Hendak memastikan ia tidak salah dengar. Mendengar itu, Jauhar dan yang lainya langsung menoleh menatap Robi secara bersamaan. Detik berikutnya, wajah-wajah mengernyit. Mendapatkan tatapan dari orang-orang yang menduduki jabatan tertinggi di Gandara corporation, membuat Robi jadi gemetaran. "Ja ... jadi ... di ... dia ... adalah Presidir Gandara corporation ... Pak?" Lanjutnya dengan terbata, suaranya tercekat, tertinggal di tenggorokan. Lipatan di kening Jauhar dan para dewan direksi menjadi semakin bertambah. Mereka tampak kebingungan. Apa yang terjadi? Jauhar lalu menatap ke arah Aditama yang tengah tersenyum miring. Sementara yang lainya berusaha menduga-duga sebelum kemudian ekspresi wajahnya menjadi buruk. Terlebih se
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di