"Sikap kalian kepada Aditama dan Vania itu sudah sangat kelewatan! Kita itu keluarga, Ma, Pa! Tapi, kenapa kalian jahat sekali kepada mereka berdu—" PLAK! Tiba-tiba sebuah tamparan keras Bella dapatkan yang membuatnya seketika terdiam, agak terhuyung pula, lalu secara refleks ia memegangi pipinya yang terasa panas. Detik berikutnya, Bella menoleh dan mendapati sang ibu yang baru saja menamparnya. Ia pun mendengus dingin seraya geleng-geleng kepala, balik menatap sang ibu dengan perasaan kecewa bukan main. Namun tidak dengan Susan yang malah semakin menggeram, ekspresi wajahnya memancarkan aura kemarahan hebat. "Kamu ... benar-benar anak durhaka Bella! Mama dan papa kecewa berat padamu!!!" teriak Susan dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menuding muka Bella. Kemudian, napasnya tampak menderu kencang, dadanya kembang kempis. "Tadinya ... mama merasa kasihan dan mengkhawatirkanmu setelah kamu pergi dari rumah ... tapi ... setelah melihatmu seperti ini ... rasa kasih
Vania ikutan memandangi dirinya sekaligus sang suami di sampingnya—yang kini telah berubah layaknya eksekutif muda—dalam cermin besar. Vania lalu menarik kepala dari lengan Aditama, menatap sang suami dengan senyum tipis di bibirnya. "Kamu yang semangat ya ... aku yakin ... kamu pasti bisa." Kata Vania lagi, bermaksud hendak memberi semangat untuk suaminya. Mendengar itu, Aditama menghadap sang istri, lantas balas tersenyum, "Terima kasih, sayang."Tiba-tiba Vania memasang ekspresi wajah murung, lalu kepalanya tertunduk. Menyadari hal itu, Aditama mengernyitkan dahi seketika. "Ada apa, Van?" tanya Aditama. Vania mendongak, menatap sang suami lagi dengan lekat. "Dengan penampilanmu yang berubah menjadi keren dan tampan seperti ini ... apalagi kamu sudah menjadi seorang Presdir di perusahaan terkenal ... " Vania menghentikan kalimatnya sejenak. Kemudian, ia menghela napas. "Pasti, kamu akan menjadi pusat perhatian di kantor nanti ... terlebih para karyawan wanita ..
Tampak Robi tengah berjalan menghampiri Aditama. Melihat hal itu, Aditama memicingkan pandangan. Kenapa ... Robi ada di sini? Pikirnya. Namun tiba-tiba ia mengerjap kala teringat jika teman kuliah istrinya itu dulu bekerja di perusahaan keluarganya yang tak lain dan tak bukan adalah Gandara corporation. Rahang Aditama lalu mengeras, mendadak memikirkan sesuatu. Sementara itu, tiba di hadapan Aditama, Robi mengamati penampilan pria itu sekilas dan berkata. "Ke ... kenapa kau ada di sini?" tanya Robi. Kemudian, ia tertegun. "Astaga ... kuli bangunan sepertimu sama sekali tidak pantas mengenakan jas seperti ini." Cibirnya. Lalu, terbit senyum mengejek di bibir pria itu. Belum sempat Aditama menimpali, Robi sudah bicara lagi. "Tapi ... bagus deh ... sekarang kau sudah tidak memalukan seperti dulu lagi ... punya otak juga dirimu ... memutuskan mengenakan pakaian seperti ini datang ke kantor Gandara corporation." "Jika kau ke sini dengan mengenakan pakaian lusuh seperti dulu ..
Untuk waktu yang agak lama, Robi tampak tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Aditama. Selagi hal itu terjadi, Aditama terdiam. Sengaja membiarkan pria itu. "Hei ... kau pikir ... kau bisa menyogok Gandara corporation untuk menjadikanmu sebagai Presiden Direktur?!" ujar Robi dengan masih ada sisa tawa di sana. "Kuberitahu kepadamu ... menjadi seorang presiden direktur itu ... harus berpendidikan tinggi ... harus punya pengalaman berbisnis minimal 10 tahun ... bahkan bisa lebih ... selain itu ... jam terbangnya juga sudah harus tinggi ... tidak bisa sembarangan! Apalagi sekelas perusahaan multinasional terbesar seperti Gandara corporation! Standarnya sudah pasti lebih tinggi daripada perusahaan yang lain!" Robi menghentikan penjelasan sejenak, lalu tertawa lagi. Kentara belum puas menertawakan Aditama. Ia berpikir demikian karena mungkin Aditama akan membayar Gandara corporation dengan uang 1 triliun yang dia punya untuk menjadikanya sebagai seorang Preside
"Deal?""Deal!" Aditama dan Robi tengah berjabat tangan dengan erat satu sama lain—tanda dari kedua belah pihak telah setuju untuk melakukan taruhan.Kini, keduanya tengah saling tatap, saling melempar senyum penuh arti. Tiba-tiba mata Robi melebar kala teringat sesuatu. Dia kemudian berkata. "Ah, aku harus segera memberitahukan hal ini kepada Kevin dan teman-temanku yang lainya." Kata Robi setelah keduanya saling melepas tangan masing-masing. Mendengar hal itu, Aditama mengernyitkan dahi. Namun akhirnya ia membiarkan Robi untuk melakukan hal demikian. Di sisi lain, ia menjadi penasaran ingin mengetahui reaksi Kevin dan yang lainya setelah Robi memberitahukan hal itu. Sementara Robi segera merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari salam sana. Selama sesaat, jari-jemarinya tampak berkutat di layar ponsel selagi wajahnya berseri-seri. Akhirnya, setelah melakukan hal tersebut beberapa saat, Robi mengangkat ponsel tepat di depan wajahnya. Seketika layar ponsel
Robi lalu menatap Jauhar seraya menelan ludah susah payah. "Ma .. maaf Pak Jauhar ... Pak Jauhar ... baru saja memanggil Aditama ... dengan panggilan ... Pre ... presdir?" tanya Robi dengan suara dan bibir bergetar seraya menunjuk Aditama. Hendak memastikan ia tidak salah dengar. Mendengar itu, Jauhar dan yang lainya langsung menoleh menatap Robi secara bersamaan. Detik berikutnya, wajah-wajah mengernyit. Mendapatkan tatapan dari orang-orang yang menduduki jabatan tertinggi di Gandara corporation, membuat Robi jadi gemetaran. "Ja ... jadi ... di ... dia ... adalah Presidir Gandara corporation ... Pak?" Lanjutnya dengan terbata, suaranya tercekat, tertinggal di tenggorokan. Lipatan di kening Jauhar dan para dewan direksi menjadi semakin bertambah. Mereka tampak kebingungan. Apa yang terjadi? Jauhar lalu menatap ke arah Aditama yang tengah tersenyum miring. Sementara yang lainya berusaha menduga-duga sebelum kemudian ekspresi wajahnya menjadi buruk. Terlebih se
Hari berlalu begitu cepat, semenjak Aditama menjadi Presiden Direktur, aktivitas sehari-harinya pun langsung berubah total, berbeda dengan lima tahun yang lalu. Tak jarang ia pulang malam, kadang pulang bersama Vania, kadang bisa pulang sendiri-sendiri, kadang ada yang pulang lebih awal dan belakangan. Tak menentu. Kini, pasangan suami istri itu menjadi sama-sama sibuk. Akan tetapi, mereka berdua masih memiliki banyak waktu untuk bersama. Keputusan Aditama mengambil alih tugas sang Ayah tentu telah menyita energi dan fokusnya. Satu-satnya hiburan yang membuat hatinya sejuk adalah melihat perkembangan Ayahnya yang kian semakin membaik dari hari ke hari. Setiap pagi, Laksana Gandara dan Sophia akan melepas Aditama pergi ke kantor jika ia sedang menginap di rumah kedua orang tuanya. Perasaan kecewa dan marah dalam diri Aditama terhadap Ayahnya, secara perlahan menyusut seiring berjalanya waktu, terlebih saat ia mengetahui bahwa ternyata sang Ayah memang benar-benar men
"Iya, Pa. Sekarang, Aditama sudah tidak takut lagi kepada kita! Sudah besar kepala dia!" Sambung Susan seraya melipat tangan di depan dada. Ekspresi wajahnya memancarkan aura kemarahan. Bastian terdiam dengan pandangan menerawang. "Ya Aditama sudah tidak takut lagi dengan kita ... maka ... Papa akan kasih dia paham." Balas Bastian penuh penekanan pada kalimatnya setelah terdiam sebentar. "Papa akan pastikan jika dia akan menyesal karena telah memilih melawan kita!" Muncul kilat tajam di kedua matanya. Ucapan Bastian langsung diangguki oleh Susan dan Mario. Selama sesaat, rahang Mario mengeras selagi berkacak pinggang. Kemudian, ia mendongak menatap sang Ayah dan berkata. "Kita beritahu Kakek saja soal masalah ini, Pa. Supaya Aditama mendapat amukan dari kakek!" ujar Mario, memberi saran yang langsung dibenarkan oleh Susan. Mendengar itu, Bastian menoleh menatap Mario. Dia kemudian berkata. "Iya. Setelah ini kita ke rumah Kakek ... kita beritahu masalah ini kepada Kakek!" Ja