Gabriella menurunkan ponsel dari telinga dengan memasang ekspresi wajah tak berdaya, lalu memberikan ponsel kepada Aditama setengah tidak fokus. Ia telah selesai bicara dengan manager toko resmi Tiffany & Co dan mendapatkan jawaban yang begitu mencengangkan.Manager toko membenarkan jika Aditama membeli kalung di sana. Mendadak, kepalanya terasa berat bukan main karena dipenuhi oleh berbagai macam dugaan dan pertanyaan. Alhasil, ia pun membeku di tempat. Melihat Gabriella bersikap demikian, orang-orang pun menduga jika kebenaran telah terungkap. Segala pertanyaan pun langsung terlontar keluar dari mulut-mulut semua orang, mendesak Gabriella untuk segera memberitahu apa yang tadi dia dan manager toko bicarakan di telepon.Hal tersebut membuat wanita itu tersadar pada akhirnya, lalu menatap semua orang bergantian dengan memasang ekspresi wajah linglung. Terdiam sejenak sebelum kemudian mengangguk pelan. Melihat hal itu, semua orang terkejut bukan main. Mendadak, seisi ruanga
Semua mata kompak tertuju pada Vania, wajah-wajah tampak begitu penasaran, menunggu jawaban dari wanita itu. Selama sesaat, Vania terdiam, tengah mencari kata-kata yang pas untuk ia sampaikan kepada Kevin. Setelah merasa siap, Vania pun mendongak, menatap pria itu untuk beberapa saat. Dia kemudian berkata. "Maafkan aku, Vin. Aku tidak bisa menerima bunga pemberian darimu dan itu artinya ... aku tidak bisa menerimamu!" Sontak, mata Kevin melebar. Begitu pula dengan semua orang. Apa?! Vania ... menolak Kevin?!Alhasil, semua orang seketika tercengang. Sedangkan Kevin tiba-tiba membeku di tempat—tengah mencerna jawaban Vania. Setelah tersadar, ia buru-buru menggeleng. Tidak-tidak! Tidak mungkin! Vania tidak mungkin menolak dirinya! Kevin langsung menyangkal jawaban Vania. Ia lalu mensugesti dirinya sendiri jika mungkin saja salah dengar. "Tidak mungkin kamu menolaku, Van. Ka ... kamu ... paa ... passti bercanda, 'kan, Van?" ucap Kevin terbata, hendak mem
Kevin mendengus dingin, menatap Vania dengan mata berkilat tajam, serta dengan napas yang memburu tak beraturan. "Kamu ... benar-benar telah mempermalukanku, Vania!!!" Kevin berteriak tak kalap, suaranya menggelegar. Ekspresi wajahnya buruk, otot-ototnya menegang—menyembul keluar—memancarkan aura kemarahan hebat. Kening Vania berkerut. "Aku ... telah mempermalukanmu ... Vin?" Vania balik bertanya, menunjuk dirinya dengan jari telunjuknya, hendak memastikan ia tidak salah dengar seraya tersenyum kecut.Kemudian, ia menggeleng selagi melipat tangan di depan dada. "Aku merasa tidak mempermalukanmu sama sekali, Vin. Itu adalah kesalahanmu sendiri yang tidak dipikir matang-matang dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tanggaku terlebih dahulu." "Justru rencanamu itu membuatmu malu sendiri pada akhirnya, Vain!" Lanjut Vania. Suaranya tidak kalah meninggi dan wajahnya juga mengeras. Kentara jelas jika wanita itu juga sedang sama marahnya. Para pendukung Kevi
Vania tetap berusaha untuk tidak gentar membalas perkataan Kevin. Meskipun dadanya sesak, hatinya terasa sakit bukan main dikarenakan mendengar tuduhan Kevin barusan. Ia sudah mengantisipasi jika kejadianya akan jadi seperti ini jika ia menolak Kevin. Mendengar hal itu, wajah Kevin seketika mengeras. Giginya bergemeretak. Ucapan Vania terdengar begitu menjengkelkan di telinganya."Kalau iya kenapa?!" bentak Kevin sambil melotot ke arah Vania. Ia lalu maju satu langkah. Berdiri tepat di hadapan Vania seraya berkacak pinggang. Tengah mengintimidasi wanita itu. Sikap lembut yang beberapa saat lalu dia tunjukan, serta perkataan penuh cinta dan terdengar romantis, kini mendadak terhempas begitu saja—tergantikan dengan sikapnya yang berubah kasar. Kevin lanjut berkata. "Kamu tau, Van? Semua wanita ... pada datang kepadaku dan mengemis cinta padaku!" Kemudian, matanya memicing. "Sedangkan dirimu? Kamu ... adalah wanita terbodoh yang pernah kukenal karena kamu berani
Aditama mendelik ke arah Kevin—seolah bola matanya mau keluar dari tempatnya. "Jaga bicaramu, bajingan!" bentak Aditama dengan gigi gemeretak seraya mencengkram kerah baju Kevin dengan begitu kuat. "Sedari tadi ... aku cuma diam saja karena masih memantau. Tapi, setelah kau memfitnah dan mengatai istriku? Jangan harap ... aku akan tetap diam!" Lanjut Aditama, dengan emosi penuh menggebu. Kini, posisi Kevin tergeletak mengenaskan di lantai dengan hidung berdarah dan wajah dipenuhi beberapa luka. Aditama baru saja menghajar pria itu habis-habis dan dengan brutal. Kevin menggeram marah mendapati hal itu. Sialan. Rasa sakit yang tengah ia rasakan membuatnya tidak bisa apa-apa. Apalagi saat ini dirinya dalam kendali Aditama sepenuhnya.Namun ia berjanji akan menghabisi Aditama setelah ini. Sementara itu, para pendukung Kevin langsung memperingati Aditama. "Aditama! Jangan keterlaluan kau kepada Kevin!""Berani sekali kau memukul Kevin sampai hidungnya berdarah!" "Ka ...
"Bersujud lah kau di kakiku ... jilat sepatuku ... meminta maaf ... serta memohon-mohon kepadaku," Kevin menghentikan kalimatnya sejenak. Sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman penuh arti. Kemudian, ia menggeleng. "Maka ... aku tidak akan menyuruh para bodyguardku untuk meringkusmu." Mendengar ucapan Kevin, darah dalam diri Aditama semakin memanas. Ia pun mendengus dingin, menatap pria itu tajam, dengan kedua tangan terkepal kuat. Namun tiba-tiba Aditama tersadar, kemudian terbit senyum kecut di bibirnya. Jangan harap, ia akan melakukan permintaan dari pengecut itu!Kevin tersenyum licik seraya melipat tangan di depan dada. "Bagimana, Aditama?" Ia mengangkat sebelah alisnya. Para pendukung Aditama dan Vania mencoba memperingati Aditama untuk memikirkan kembali keputusanya melawan para bodyguad itu. Akan tetapi, Aditama tetap bersikeras. Alhasil, mereka pun hanya bisa pasrah dan membiarkan Aditama pada akhirnya. Suaminya Vania itu lalu kembali menatap Kev
Aditama menghentikan serangan sejenak, melemaskan tinju, lalu terbit senyum tipis menghiasi bibirnya. Melihat hal itu, ekspresi wajah Kevin menjadi buruk. Begitu pula dengan para pendukungnya. Sementara itu, keempat bodyguard tersisa menjadi semakin marah. Akan tetapi, mereka masih sangat yakin jika akan tetap bisa menang. Mereka menganggap Aditama hanya beruntung saja bisa menjatuhkan salah satu diantara mereka. Tanpa berlama-lama lagi, keempat bodyguard itu kembali merangsek maju dan menyerang Aditama secara bersamaan—kali ini lebih brutal dari yang sebelumnya. Mendapati hal itu, Aditama segera bersiap. Keempat bodyguard itu sudah tidak peduli lagi, mereka mengerahkan seluruh kemampuan kali ini untuk dapat meringkus Aditama secepat mungkin. Jual beli pukulan dan tendangan dalam jarak dekat pun terjadi lagi. BUGH!BUGH! BUGH! Sesekali mereka saling mengelak, menangkis dan menghindar. PLAK! PLAK! PLAK! Atas, bawah, depan, belakang, kanan, kiri yang dilakuk
Setelah pertarungan selesai, Vania bergegas menghampiri Aditama. Tiba di hadapan sang suami, ia langsung memeluknya dengan sangat erat yang langsung dibalas oleh Aditama. Dalam dekapan sang suami, Vania menghembus-hembuskan napas lega. Akhirnya, suaminya benar-benar bisa menang melawan para bodyguardnya Kevin. Suaminya tidak kenapa-kenapa. Tidak terluka sama sekali. Walau ia bersikap tenang dan santai tadi, begitu yakin jika sang suami akan menang, tapi tetap saja ia merasakan senam jantung. Bukan apa-apa, walau sang suami adalah pewaris kaya raya, tapi ia menghadapi para bodyguard profesional seorang diri. Bisa saja, dia terluka! Tapi kini Vania benar-benar telah lega. Semua orang pun berdecak kagum dengan kehebatan Aditama yang bisa mengalahkan bodyguardnya Kevin seorang diri. Di mata mereka, Aditama adalah pria tangguh, seorang suami yang bisa melindungi istrinya dari mara bahaya. Lalu, terdengar lontaran pujian dari mulut-mulut mereka kepada Aditama. Mendapati hal it
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di