Share

Kado Terindah

Penulis: ZB
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
"Aku menantimu dalam gemuruh, layaknya ombak memeluk karang, sesabar embun hangati pagi dan setia senja pada jingga."

Haziya penuh haru memegangi tespack, matanya berubah samudera lautan, air mata membasahi pipi dan kerudung yang dia pakai. Dia begitu tidak sabaran usai pulang dari apotik membeli alat tes kehamilan, langsung masuk kamar mandi setelah meletakkan tas sembarangan di atas kasur.

"Alhamdulillah, Ya Allah, penantianku selama ini." Lututnya lemas, tubuhnya gemetaran saking bahagianya mendapatkan jawaban dari doa-doanya hampir setahun ini. Allah telah mengijabah rintihan di persetiga malam. 

Haziya tidak henti-hentinya tersenyum melihat dua garis merah. Suaminya juga pasti begitu senang mendengar berita bahagia ini.

Krek! 

Pintu terdorong dari luar. Haziya tersentak dari duduknya, lantas berdiri ketika sosok sang suami muncul. 

"Bang, aku ...."

"Kenapa kamu belum memasak? Ruang depan kotor begitu, apa kamu tidur dari pagi? Ini sudah jam 1 siang." Shabir mencerca Haziya dengan pertanyaan, wajahnya terlihat tegang. 

Haziya bisa menangkap kemarahan di mata suami, lelaki itu bahkan tidak bisa melihat wajah lembap Haziya saking dibutakan oleh emosi. Haziya segera memasukkan tespack dalam saku baju kemudian berjalan mendekati Shabir. 

"Bang, jangan marah-marah dong. Ayo, duduk dulu!" Haziya menggenggam tangan Shabir lalu membawa suaminya ke atas ranjang. 

"Adek ambil minum dulu, sebentar." Haziya menghapus air matanya cepat sebelum berbalik keluar dari kamar. Dia tidak ingin terbawa perasaan setelah dimarahi oleh Shabir di saat suasana hatinya sedang ditumbuhi bunga-bunga bermekaran. 

Tak lama Haziya masuk kembali ke kamar sambil membawa sekantong makanan yang dia beli tadi setelah dari apotik. Dia sudah memperkirakan waktu tidak cukup untuk memasak karena suaminya akan pulang ketika waktu Zuhur. Dari pagi mencuci baju dan mencuci piring kotor, setelahnya dia beristirahat sejenak karena merasa lelah dan juga kram di perut bawah kiri. Ketika terbangun sudah pukul dua belas saja, tertidur dua jam lamanya. 

Haziya berniat menyapu dan memasak. Namun, perutnya terasa begitu nyeri. Siklus haid sudah lewat beberapa hari, perasaannya begitu penuh harap ketika bermimpi dalam tidurnya tadi. Ditambah lagi ketika menghidu kamar tidur yang sudah dirapikan sejak bangun tidur, tetapi penciumannya terasa berbeda. Meski sudah disemprotkan wewangian khas yang sudah rutin dipakai, tetap saja dia menghidu tidak enak. Haziya ingin menuntaskan rasa penasaran karena itu dia pergi membeli tespack. Sudah mencoba menghubungi suami untuk memberitahu, tetapi nomornya tidak aktif. 

"Ini minum, Bang." 

Wajah Shabir sudah tidak lagi semerah tadi, dia menerima gelas dari tangan Haziya kemudian langsung meneguk air. 

"Abang lapar? Ini makan nasi padang, tadi adek beli di warung." Haziya menyodorkan plastik berisi makanan, tetapi Shabir tak juga mengambilnya. 

"Kamu suka sekali menghabiskan uang, bukannya aku sudah membeli beras dan sayuran. Kata Ibu tadi telur juga masih ada. Ikan tongkol juga ada di kulkas."

Haziya mendengar saksama ucapan suaminya, dia sudah tidak terkejut lagi dengan kedatangan mertua meski rumah terkunci, ibu dari suaminya punya kunci cadangan. Begitulah kenyataanya, tidak hanya toko bangunan--tempat Shabir mencari nafkah yang diawasi mertua, tetapi rumah yang mereka tinggali juga tidak luput dari mata Bu Karni. Sejak pindah ke sini lima bulan lalu, kehidupan Haziya berubah drastis. Sehari-hari tertekan oleh peraturan Bu Karni yang tinggal tak jauh dari lorong rumah mereka. 

"Makan dulu, Bang. Ini aku belikan dari uang jajanku kok. Aku tidak beli untukku." Haziya dengan sabar membuka bungkusan nasi serta kuah dan daging rendang khas padang. 

Perut Haziya berdendang, bahkan Shabir mendengarnya ketika baru saja memakan sesuap nasi. 

"Kamu juga lapar?" Haziya ingin menggeleng, tetapi nada perutnya semakin kencang. Spontan dia terkekeh seraya meraba perut datarnya, perlahan-lahan sebentar lagi akan mulai membuncit.

"Anak kita laper. Bentar ya, Nak." Tangan Shabir menegang mengenggam sendok ketika mendengar ucapan istrinya. 

"Apa kamu bilang barusan?" Haziya mendongak, dia semakin melebarkan senyum. Menatap suami yang melempar pandangan bingung semakin membuatnya tergelitik untuk tertawa. 

"Bang, aku hamil." Haziya langsung memeluk Shabir, tawanya sudah mereda berganti isakan tangis sukacita. "Aku hamil anak kita, Bang." 

Shabir terlalu terkejut mendengar berita tersebut, bahkan tangannya kaku tidak membalas pelukan Haziya. 

"Ini, lihatlah, dua garis merah!" seru Haziya setelah melepaskan pelukan, segera mengambil tespack dari saku, dan menampakkannya pada Shabir. 

"Abang tidak senang?" Shabir menggeleng, dia tidak tahu harus berekspresi bagaimana. 

"Kamu beneran hamil?" Haziya mengangguk cepat berkali-kali, dia bisa lega sekarang karena tidak akan lagi menerima cibiran dari mertua, kakak ipar, saudaranya, dan tetangga sekitar serta dari orang-orang yang mengenalnya. 

"Kamu suka sekali makan snack, kamu sendiri nggak mau hamil gimana bisa hamil? Shabir cari saja wanita lain yang masih subur. Istrimu kurus begitu, dia nggak bisa kasih keturunan." 

Haziya mengucap syukur, mulai hari ini dan seterusnya Bu Karni tidak akan menghinanya lagi. Dia bisa tenang karena Shabir tidak perlu berpoligami. 

"Tadi aku ke apotik, perut kram makanya belum sempat menyapu. Maaf ya," aku Haziya. Shabir mengenggam tangan Haziya, dia juga meminta maaf karena telah membentaknya tadi. 

"Alah, baru juga hamil muda malah sudah abai pekerjaan rumah." Bu Karni berdiri di ambang pintu, mulut pedasnya menyapa mereka berdua. Haziya menghela napas sebelum berbalik. Dia tidak tahu harus meladeni seperti apa mertuanya yang suka sekali masuk rumah tanpa permisi, bahkan berani melenggang ke dalam kamar mereka.

"Tetap saja kalau hamil, kamu masih harus jadi istri berguna," cibir Bu Karni sinis. 

"Bu, dia baru hamil muda, biarkan dia rehat sebentar agar kandunganya baik-baik saja." Haziya mengulum senyum mendengar pembelaan dari Shabir. 

Bu Karni meringis. "Manjain terus, dia bakal beralasan bayi, kandungan. Padahal malas." 

Haziya berdiri, tidak ingin meladeni debatan dengan sang mertua. "Bang, aku ke dapur dulu, ya."

"Kamu makan saja dulu, aku nggak mau anak kita kelaparan." Shabir menyuruh Haziya untuk kembali duduk. "Bu, Ibu sudah makan?" 

Bu Karni tidak menjawab, mukanya memerah, membuang wajahnya lalu keluar dari kamar. Haziya tahu mertuanya sedang marah karena Shabir membantah perkataan Sang Ibu. 

"Bang, anterin Ibu pulang," titah Haziya lembut, bagaimanapun dia tidak ingin jadi pembangkang, meski mertuanya kurang bersahabat dengannya, tetapi dia tetap harus menghormati Bu Karni. 

"Baik, kamu makan ya, nggak usah masak. Abang nanti beli nasi saja di warung depan." 

Shabir merogoh kunci motor di atas nakas, berpamitan dengan Haziya lalu menyusul ibunya. 

"Nak, maafin nenekmu, ya." Haziya mengelus perutnya sebelum memakan nasi padang yang begitu memanjakan lidah. 

"Kamu harus kuat ya, Nak. Baik-baik di sana, mama sangat ingin melihatmu lahir dengan sehat." 

Haziya menghabiskan makan siangnya, lalu melangkah ke kamar mandi untuk berwudu. Dia harus menyapu agar rumahnya bersih ketika Shabir pulang. 

'Dek, Abang langsung ke toko, ya. Sudah makan di rumah Ibu dan salat juga. Kamu rehat saja, jangan banyak bergerak dulu. Jangan banyak pikiran juga demi anak kita.' 

Haziya menyeka air matanya sesudah membaca pesan dari Shabir. Meski sesekali dia harus bersabar ketika suami ikut terpengaruh oleh hasutan mertua, tetapi dia sekarang terharu karena Shabir masih memikirkan kondisi dirinya juga bayi dalam kandungan. 

"Sayang, kita semua menyayangimu." 

Bab terkait

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Bukti Cinta

    "Hujan yang pernah bertandang mulai reda. Bunga-bunga cinta yang kamu semi, mulai mekar. Kuharap kasih sayangmu jangan pernah memudar."Haziya tidak bisa lagi menahan ombak dalam dada, sejak tadi gemuruh sudah bertalu-talu. Perut bawahnya diolesi gel oleh perawat, dilanjutkan penempelan alat transduser USG oleh dokter hingga matanya basah ketika melihat layar di pojok dinding atas. Meski masih belum tampak jelas, bahkan hanya ada bulatan kecil, dia sendiri tidak tahu apa itu jika dokter tidak segera menjelaskan."Lingkaran kecil seperti biji kacang ini namanya embrio, Bu. Memang masih sangat kecil karena kandungan Ibu baru memasuki empat Minggu. Sebelumnya, selamat Ibu sedang hamil." Haziya membalas ucapan dokter dengan seulas senyum, dia masih begitu haru melihat pemandangan di depan, Shabir yang menggantikannya dengan kata-kata."Terima kasih, Pak. Ini anak pertama kami setelah penantian

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Kehilangan

    "Darinya aku belajar mencintai dalam Isak tangis, perlahan mengikhlaskan meski aku tak tahu bagaimana cara bersabar ketika langit kembali roboh menghancurkan asa dan karsa."Dersik membelai wajah Haziya, saat tapaknya menginjak lantai pertama masjid berbahan granit itu setelah menaiki tangga, dia langsung merasakan kesejukan dan ketenangan. Angin berdesir dari celah jendela kaca, semakin masuk ke dalam masjid yang mempunyai dua lantai ini hawa menetramkan begitu terasa.Masjid berkubah biru yang dinamakan Masjid At Taqarrub tidak pernah sepi, letaknya di kawasan pertokoan ramai disinggahi oleh para jamaah yang ingin salat dan tampak anak-anak juga berada di sebelah kanan masjid. Mereka sedang mengaji rutin setiap sore. Selain terdapat Pendidikan Anak Usia Dini, di masjid yang dulunya terkenal nama Masjid Phep juga memiliki fasilitas perpustakaan, ruang Bilal, ruang Imam dan juga ruang rapat, serta kantor sekret

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Kuat?

    "Perempuan bisa tegar sambil tersenyum padahal hatinya bergetar isakan getir yang disembunyikan. Sandaran pundak membuatnya kuat, dengarkan keluh kesahnya dan berikan kenyamanan agar dukanya tidak semakin melebar.""Bang, aku takut!" bisik Haziya ketika dia hendak dibawa menuju ruang operasi untuk dikuret. Meski sudah dijelaskan berulang kali oleh dokter yang menanganinya, proses kuret hanya beberapa menit dan Haziya akan diinfus sehingga tidak akan merasakan sakit. Namun, dia tetap saja diselimuti rasa takut. Ditambah emosional duka menerima kenyataan bahwa harus kehilangan bayi yang dinantinya lahir ke dunia beberapa bulan ke depan. Bahkan sebelum mereka tahu jenis kelamin sang janin."Baca doa terus, Sayang. Abang, Mak dan ayah di luar bakal terus berdoa juga untukmu. Tenang, ya, insya Allah semua lancar dan dimudahkan."Shabir mengenggam tangan Haziya, mengelus pun

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Luka

    "Jangan berharap lebih pada manusia. Peluk lukamu dengan doa. Bersihkan jiwamu dari dendam. Ikhlaskan segala keadaan dan serahkan semuanya kepada Pemilik Segala Alam."Bang, Abang mau ke mana? Ini masakan sudah adek siapin, Abang makan saja dulu," cegat Haziya ketika melihat Shabir hendak memegang ganggang pintu."Abang ke rumah ibu, Kakak Lathif katanya masak kuah pliek. Abang makan di sana saja. Jangan lupa kunci pintu," papar Shabir, kemudian menarik ganggang dan keluar menuju halaman depan. Segera mengenderai motor, menyisakan deru yang semakin menjauh dan meninggalkan Haziya berdiri kedinginan di teras seraya menatap kepergian suaminya untuk ke sekian kali.Haziya memang tidak pandai memasak, tetapi dia terus belajar cara masak yang benar. Mencatat resep dari ibu, juga menonton tutorial memasak dari YouTube supaya Shabir bisa makan masakan sehat di rumah. Namun, perjuangannya selalu menyiapkan hi

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Jangan Jatuh Cinta Lagi!

    "Aku pernah terjatuh berkali-kali, dan saat aku bangkit di antara bintang-bintang, secercah harapan menerangi. Meski langit telah gelap, bukankah mimpiku punya kesempatan untuk mewujudkannya?"Dulu saat sebelum menikah, cita-citanya mengajar di sekolah dasar asal Haziya menuntut ilmu. Namun, rencananya tidak sesuai keinginan ketika mantan suami melarangnya bekerja. Kepindahan ke desa mertua, membuat jarak pulang pergi butuh hampir sejam. Shabir khawatir dia tidak bisa membagi waktu. Mengejar ridha suami, Haziya menurut saja.Sekarang, setelah keduanya berpisah. Tidak ada nafkah dari Shabir sejak kepulangannya ke rumah ibu sendiri, membuat Haziya harus memutar otak mencari pekerjaan. Meski kedua orang tua mengatakan masih sanggup membiayai kebutuhannya, tetapi Haziya tidak ingin membebani mereka di usia hampir dua puluh lima ini. Dia ingin membantu meringankan kehidupan mereka."Aduh, hampir tela

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Kenapa Bertemu Lagi?

    Haziya tidak enak berada di satu meja yang sama dengan Zaweel, bagaimanapun dia sudah pernah menikah mesti sekarang statusnya masih gantung karena pengadilan belum memutuskan. Shabir tidak hadir pada sidang perceraian pertama, membuat persidangan tertunda lagi."Kalian mau ke mana sudah rapi?""Bukan urusan Abang, nggak usah minta ikut. Ingat, Abang ke sini buat kerja bukan cari mangsa."Zaweel tertawa seperti orang kerasukan. "Aku kerja buat siapa? Ya, buat istri dan anak-anakku nanti lah. Restui Abang dengan Ziya aja, gimana?""Bang, mau matamu aku colok dengan garpu?""Ampun bang jago!" Zaweel berdiri, meninggalkan mereka dengan gema tawa."Lihat, kan, anak tiktok nyasar.'' Miska menghabiskan nasi di piringnya, sejak semalam dia dibuat pusing oleh kelakuan Zaweel."Silakan masuk para

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Pengacara Baru

    "Bang Shabir, aku ...."Haziya spontan mundur ketika Shabir melangkah maju. Tubuhnya dikunci oleh lengan kekar Shabir, wajah keduanya begitu dekat."Bang, jangan begini, nggak enak dilihat orang. Ini toilet perempuan," tegur Haziya berharap Shabir menjauhkan dirinya, tetapi lelaki itu malah semakin mendekatkan wajah."Jangan sok suci, sudah kunikmati juga. Kenapa dia bisa denganmu, sedangkan aku suamimu nggak bisa, hah?!" emosi Shabir meninju dinding di sebelah kiri wajah Haziya."Bang, kendalikan amarah Abang," pinta Haziya setengah serak menahan tangis, kejadian malam panas itu kembali terbayang. Dia takut Shabir jadi lepas kendali dan menamparnya untuk kedua kali."Kita juga sudah bukan suami istri lagi, Bang. Aku sudah mengajukan--""Tidak akan, aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu bisa senang beb

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Jangan Baper Karena Zaweel

    "Pernah mencintai, tetapi disakiti. Tolong, perasaan jangan mudah terbawa suasana. Hanya karena kata-kata mutiara belaka." Tit!! "Astagfirullah! Kenapa, Bang?" tanya Haziya panik ketika suara klakson bunyi bertubi-tubi, hampir saja ponsel di tangannya terjatuh. "Itu tadi ada kuyang lagi cabutin uban," jawab Zaweel dengan wajah datar menunjuk ke depan. "Kuyang? Apaan itu kuyang? Kucing Persia?" Zaweel terbahak atas kepolosan Haziya. Kekesalannya hilang sudah, sejak dipanggil beberapa kali tidak ada sahutan dari perempuan yang duduk di samping karena terlalu sibuk dengan ponsel. "Ponselnya baru ya, dilihatin mulu?" sindir Zaweel ketika Haziya menyimpan ponsel silver itu dalam tas.

Bab terbaru

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Perpisahan Zaweel dan Haziya

    Miska menyiapkan segala keperluan untuk acara syukuran nanti malam di rumahnya. Sebagai seorang sahabat, dia senang akhirnya Haziya secara resmi berpisah dengan Shabir. Bahkan dia berencana untuk memperkenalkan Haziya dengan temannya yang masih single, nanti jika Haziya sudah terlihat lebih baik dan mulai membuka hati kembali.Namun, sebenarnya dia lebih suka jika Zaweel yang menjadi lelaki hebat untuk Haziya. Meskipun sikap Zaweel terkesan suka humoris, tetapi dia yakin jika Zaweel bisa melindungi sahabatnya dari gangguan mantan suami Haziya, apalagi dari tekanan Bu Karni, dan lain-lain.Miska sedikit tahu tentang perjodohan Zaweel dengan Safia, walaupun belum ada keputusan lebih lanjut. Monika pasti akan merencanakan perjodohan itu berjalan sesuai harapan mereka. Sekar dan Monika sudah bersahabat dan saling mengenal, serta keluarga mereka juga menjalin bisnis. Tentu saja bersatunya Zaweel dan Safia akan semakin meningkatkan hubungan persahabatan mereka.&n

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Keputusan Pengadilan

    Miska akan menginap di rumah Haziya malam ini, karena dia ingin menemani sahabatnya, serta akan ikut ke pengadilan besok. Sedangkan Zaweel sudah berpamitan sejak memasuki waktu ashar, dia shalat berjamaah di masjid terdekat bersama ayah Haziya. "Makasih ya Nak, kamu mau membantu putriku." "Sama-sama, Pak. Insya Allah besok kita pasti bisa menyudahi semua perkara ini." "Aamiin." "Kamu bakal balik ke Jakarta lagi setelah ini?" tanya Ayah Haziya ketika mereka menuju parkiran Masjid. "Iya, Pak, masih ada kerjaan di Jakarta," jawab Zaweel, dia juga enggan cepat balik ke kota karena merasa nyaman di sini. Namun, statusnya masih sebagai pengacara, dia harus profesional dan kembali melanjutkan profesinya. Ditambah perusahaan papanya yang juga membutuhkan dirinya. Meskipun dia tidak lagi bekerja di bidang pembela klien, Monika tidak akan membiarkannya menetap di Aceh. Zaweel harus menjadi penerus sang papa. "Semoga saja

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Menepati Janjinya

    Haziya bersiap untuk ke rumah bimbingan belajar, dia akan mulai mengajar lagi hari ini. Miska menghubunginya ketika dia hendak ke Sigli."Assalamualaikum, kamu baik-baik saja, kan?" Miska terdengar khawatir di seberang. "Kenapa baru aktif nomornya?""Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik-baik saja Miska. Maaf semalam lupa aktifkan ponsel," jawab Haziya jujur."Ada apa? Dia mencoba menghubungi kamu lagi makanya kamu harus matiin HP?"Tebakan Miska tepat sasaran, Haziya membenarkan karena dia tidak akan bisa membohongi sahabatnya yang sudah terlalu pandai membaca dirinya."Lelaki pecundang. Dia pasti mencoba menggelabui kamu lagi, pura-pura menyesal dan minta balikan padahal sudah punya istri baru. Ckck!" gerutu Miska kesal dengan sikap tak berpendirian Shabir."Masih banyak lelaki lain, jangan sampai kamu masuk ke lubang yang sama. Biarkan dia bersama Tante itu, nanti yang ada kamu malah dituduh sama Tante itu merebut sua

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Larangan Ayah Haziya

    Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah."Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam."Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Bu Karni Mengundang Haziya

    Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.Mengapa mereka datang ke sini?Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka."Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya."Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu."Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Tamu Tak Diundang

    Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti."Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Tanpa Gangguan Shabir

    Lidya membelok sepeda motor mereka ke salah satu warung di pinggir jalan ketika langit mendung pekat terlihat, bahkan rintik-rintik hujan mulai bertandang. Jika dipaksakan melanjutkan perjalanan maka mereka akan kebasahan, meskipun membawa mantel, tetap saja perjalanan masih jauh akan berbahaya karena jalanan licin. "Kak mau pesan cane durian?" tanya Lidya setelah duduk di salah satu kursi, mereka duduk bersebelahan sedangkan Hanif duduk di meja seberang. Salah satu kuliner di Kota Bireuen terkenal dengan makanan manis bernama cane durian. Warung kopi berjejeran di simpang. "Teh hangat saja," ujar Haziya menyebutkan nama minuman. "Baik. Abang Hanif mau pesan apa?" "Abang samaan saja dengan kalian, biar Abang yang pesanin, kamu duduk saja," kata Hanif memberi isyarat untuk Lidya tidak bangun dari kursi. "Baik, Bang." Haziya bersyukur selama perjalanan tadi tidak ada gangguan dari Shabir. Dia berdoa dalam hati semo

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Dilarang Pulang Ke Aceh

    Zaweel membawa pulang kue kesukaan mamanya. Dia tahu kalau Monika masih kecewa karena penolakan pertunangan semalam. Bahkan mamanya tidak menyapanya tadi pagi di meja makan."Assalamualaikum, Mama!" salam Zaweel memasuki rumah lalu berjalan mendekati sang mama yang sedang menyiapkan makan malam."Waalaikumsalam," jawab mama tanpa menoleh pada putranya."Ma, ini aku beli kue kesukaan mama." Zaweel menyodorkan sekotak kue terang bulan isi keju dan cokelat manis."Letak di sana saja, meja sudah penuh," titah Monika seraya menunjuk pantry. Biasanya Monika akan tersenyum senang menerima pemberian Zaweel, tetapi karena masih marah dia menyembunyikan kegembiraannya."Mama masih marah ya? Kalau aku beli sekalian gerobaknya mama mau enggak maafin Zaweel?"Dengan wajah polos dan dipasang sendu, Zaweel menatap mamanya lekat.

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Bersama Lidya

    Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya."Mak, enggak usah. Adik gimana?""Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?"Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje

DMCA.com Protection Status