Share

Bukti Cinta

Penulis: ZB
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
"Hujan yang pernah bertandang mulai reda. Bunga-bunga cinta yang kamu semi, mulai mekar.  Kuharap kasih sayangmu jangan pernah memudar."

Haziya tidak bisa lagi menahan ombak dalam dada, sejak tadi gemuruh  sudah bertalu-talu. Perut bawahnya diolesi gel oleh perawat, dilanjutkan penempelan alat transduser USG oleh dokter hingga matanya basah ketika melihat layar di pojok dinding atas. Meski masih belum tampak jelas, bahkan hanya ada bulatan kecil, dia sendiri tidak tahu apa itu jika dokter tidak segera menjelaskan. 

"Lingkaran kecil seperti biji kacang ini namanya embrio, Bu. Memang masih sangat kecil karena kandungan Ibu baru memasuki empat Minggu. Sebelumnya, selamat Ibu sedang hamil." Haziya membalas ucapan dokter dengan seulas senyum, dia masih begitu haru melihat pemandangan di depan, Shabir yang menggantikannya dengan kata-kata.

"Terima kasih, Pak. Ini anak pertama kami setelah penantian. Alhamdulillah." 

Haziya semakin terisak dalam diam, menahan suara karena mengingat di ruangan ini bukan hanya ada dia dan suaminya saja. Melihat wajah Shabir juga merona penuh kebahagiaan seperti dirinya, Haziya semakin diselimuti rasa sukacita. Bukan hanya dia saja yang senang dengan kabar ini, tetapi Shabir pun sama. Mereka akan menjadi orang tua sebentar lagi.

Haziya turun dari ranjang dibantu oleh Shabir yang memegang tangannya, lalu keduanya dipersilakan duduk di kursi. Dokter sekali lagi mengucapkan selamat kepada mereka. Kemudian menyodorkan buku kehamilan.

"Jaga kesehatan Ibu, jangan angkat yang berat-berat dulu. Jangan begadang, jangan suka bersedih juga karena bakal ngaruh ke janin. Bapak bantu Ibu selalu bahagia ya, biar anak kalian juga bahagia."

"Iya, Dokter." Shabir semakin mengeratkan genggamannya pada Haziya. Sebenarnya sejak masuk ke ruang pemeriksaan ini dia sudah begitu gemetaran. Usianya memang sudah dua puluh sembilan, sudah terbilang dewasa dan singgap untuk menjadi seorang ayah. Namun, tak bisa disembunyikan rasa campur aduk yang dirundungnya. 

"Makanan pedas jangan dimakan dulu karena bisa menyebabkan mencret bagi ibunya, nanti takutnya karena sering mencret dia sering ke toilet dan hidrasi. Kopi juga jangan banyak mengonsumsinya. Makan makanan yang bergizi. Ada yang mau ditanyakan lagi?" 

Haziya melirik Shabir, keduanya menggeleng. Dokter mengambil hasil USG dan buku kehamilan lalu menyerahkannya pada Shabir.

"Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, semoga Ibu dan anak sehat selalu."

"Aamiin."

"Mari, Pak, Bu, saya antar keluar, nanti Ibu tunggu namanya dipanggil ya untuk mengambil obat," papar 
Perawat menuntun keduanya ke ruangan sebelah.

"Terima kasih." 

Shabir bangkit dari kursi penunggu ketika nama Haziya disebutkan oleh perawat dalam loker apotik. Dia menebus sekantong obat seharga empat ratus ribu.

"Ini vitaminnya diminum dua kali sehari ya, Pak."

"Baik, terima kasih." 

Haziya ikut bangkit dan menghampiri Shabir ketika suaminya berbalik berjalan ke arahnya.

"Berapaan, Bang?" tanyanya setengah berbisik.

"Empat ratus ribu," jawab Shabir. "Ini 'kan demi anakku, jadi nggak apa-apa ayahnya keluarin duit segitu kok, kamu tenang saja. Doain Abang moga mudah rezeki."

Shabir segera menggandeng tangan Haziya, wajah istrinya tampak menyesal karena meminta datang ke rumah sakit untuk USG tanpa menggunakan BPJS sehingga Shabir harus merogek dompetnya sebanyak itu. 

"Lagian kalau kita datang USG gratis 'kan waktu Abang dan kamu juga terbuang banyak untuk antri, kamu juga nanti capek. Ini juga pertama, kamu nggak perlu merasa bersalah gitu." Shabir mengatakan kalimat indah yang didengar oleh telinga Haziya ketika perempuan berjilbab cokelat muda itu mengucapkan maaf berulang kali.

"Makasih ya, Bang." 

Shabir mengangguk, kemudian dia membantu Haziya memakaikan helm.

***

"Darimana kalian, jam segini baru pulang?" 

Bu Karni berkacak pinggang menyambut kepulangan Shabir dan Haziya. Bukannya menjawab salam dari mereka, wanita berkacamata itu malah melontarkan pertanyaan dengan wajah sangar. 

"Keluyuran aja terus, mentang-mentang lagi hamil maunya dimanjain," cecar Lathifah mendadak muncul dari arah dapur, sebelah tangannya menenteng plastik berisi buah-buahan yang dia ambil dari kulkas. 

Siang tadi ibunya Haziya sengaja menyuruh adik Haziya  mengantarkan beberapa jenis buah untuk dikonsumsi, karena baik untuk janin yang sedang dikandung oleh Haziya. Bahkan Haziya baru memakan satu buah apel, meski begitu dia tidak melarang kakak iparnya itu untuk membawa pulang semua buah-buahan miliknya. Badan Haziya agak lelah terkena angin malam, dia tidak ingin berdebat dengan Lathifah, percuma buang-buang tenaga saja. Bu Karni pasti akan semakin berang, menganggapnya pelit tidak mau berbagi.

"Kami pulang dari rumah sakit, Bu, tadi USG--"

"Berapa biaya USG?" Bu Karni memotong ucapan Shabir. "Suka sekali menghamburkan uang, kenapa nggak cek  yang gratis saja? Belum lahir anak saja sudah boros begini."

"Bu, jangan ngomong begitu," tegur Shabir, tetapi dihiraukan oleh ibunya.

"Kamu cuma tiduran di rumah, kerja nggak. Percuma kuliah tapi nggak jadi guru. Sekarang, kerjaannya cuma melorotin anakku saja," cibir Bu Karni tidak memberi kesempatan bagi Haziya untuk mengatakan sepatah kata pun. 

"Lihat dua anakku, mereka baik-baik saja, nggak pernah USG juga."

"Sudah, Bu. Ini aku bawain nasi goreng kesukaan Ibu." Shabir membawa ibunya ke meja makan.

Haziya merasakan pusing luar biasa mendengar omelan mertuanya, bahkan dia memaksakan untuk tetap menyunggingkan seulas senyum sebelum semuanya benar-benar gelap. Mata Haziya terpejam akibat kelelahan dan beban pikiran, akhirnya dia tumbang. Bersyukur, Shabir berhasil mendekap tubuh lemah Haziya yang tidak sadarkan diri. 

“Alah, pura-pura pingsan lagi, aku nggak akan tertipu dengan aktingmu.” 

Shabir segera menggendong Haziya ke kamar, Bu Karni semakin naik pitam. 

“Bu, Ibu tunggu di luar saja, ya?” Pintu terkunci dari dalam, Shabir tidak ingin ibunya memarahi Haziya bahkan di saat istrinya sedang pingsan, tetapi ibunya tidak berbelas kasihan. 

"Buka pintunya, suruh istrimu setrika baju menumpuk. Jangan malasan, sudah pinter akting saja, sekalian ikut syuting sinetron Curhatan Istri di Indosiar." Bu Karni mengetuk pintu disertai ocehan. 

Shabir menyelimuti Haziya dari kaki hingga badan. Setelah menunggu tidak ada lagi suara gedoran pintu, dia langsung keluar. Ibu dan kakaknya masih di dapur dengan wajah cemberut.

"Lihat istrimu kulkas kosong begini padahal kemarin aku lihat masih ada dimsum. Pasti dia sengaja menghabiskan karena tahu aku ke sini. Dasar pelit."

"Buah-buahan belum cukup, Kak?"

"Bu, lihat, kan, dia jadi pelit juga, ikuta istrinya," adu Lhatifah.

"Mulai besok uang kedai biar ibu yang bawa pulang, kamu jadi boros. Ibu nggak suka."

"Tapi, Bu--"

"Tidak ada tapi-tapi, kamu nggak mau jadi anak durhaka, 'kan? Ibu nggak mau modal ibu nggak jadi balik karena kamu boros. Kalau kamu nggak mau uang toko di tangan ibu, tutup saja tokomu biar ibu suruh suami Kakakmu yang jualan."

Shabir tidak bisa lagi membantah. Keputusan ibu sudah bulat, hanya bisa menghela napas pasrah. 

"Ya sudah, mulai besok uang toko sama Ibu. Ayo, biar Shabir yang anter Ibu pulang."

Bab terkait

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Kehilangan

    "Darinya aku belajar mencintai dalam Isak tangis, perlahan mengikhlaskan meski aku tak tahu bagaimana cara bersabar ketika langit kembali roboh menghancurkan asa dan karsa."Dersik membelai wajah Haziya, saat tapaknya menginjak lantai pertama masjid berbahan granit itu setelah menaiki tangga, dia langsung merasakan kesejukan dan ketenangan. Angin berdesir dari celah jendela kaca, semakin masuk ke dalam masjid yang mempunyai dua lantai ini hawa menetramkan begitu terasa.Masjid berkubah biru yang dinamakan Masjid At Taqarrub tidak pernah sepi, letaknya di kawasan pertokoan ramai disinggahi oleh para jamaah yang ingin salat dan tampak anak-anak juga berada di sebelah kanan masjid. Mereka sedang mengaji rutin setiap sore. Selain terdapat Pendidikan Anak Usia Dini, di masjid yang dulunya terkenal nama Masjid Phep juga memiliki fasilitas perpustakaan, ruang Bilal, ruang Imam dan juga ruang rapat, serta kantor sekret

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Kuat?

    "Perempuan bisa tegar sambil tersenyum padahal hatinya bergetar isakan getir yang disembunyikan. Sandaran pundak membuatnya kuat, dengarkan keluh kesahnya dan berikan kenyamanan agar dukanya tidak semakin melebar.""Bang, aku takut!" bisik Haziya ketika dia hendak dibawa menuju ruang operasi untuk dikuret. Meski sudah dijelaskan berulang kali oleh dokter yang menanganinya, proses kuret hanya beberapa menit dan Haziya akan diinfus sehingga tidak akan merasakan sakit. Namun, dia tetap saja diselimuti rasa takut. Ditambah emosional duka menerima kenyataan bahwa harus kehilangan bayi yang dinantinya lahir ke dunia beberapa bulan ke depan. Bahkan sebelum mereka tahu jenis kelamin sang janin."Baca doa terus, Sayang. Abang, Mak dan ayah di luar bakal terus berdoa juga untukmu. Tenang, ya, insya Allah semua lancar dan dimudahkan."Shabir mengenggam tangan Haziya, mengelus pun

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Luka

    "Jangan berharap lebih pada manusia. Peluk lukamu dengan doa. Bersihkan jiwamu dari dendam. Ikhlaskan segala keadaan dan serahkan semuanya kepada Pemilik Segala Alam."Bang, Abang mau ke mana? Ini masakan sudah adek siapin, Abang makan saja dulu," cegat Haziya ketika melihat Shabir hendak memegang ganggang pintu."Abang ke rumah ibu, Kakak Lathif katanya masak kuah pliek. Abang makan di sana saja. Jangan lupa kunci pintu," papar Shabir, kemudian menarik ganggang dan keluar menuju halaman depan. Segera mengenderai motor, menyisakan deru yang semakin menjauh dan meninggalkan Haziya berdiri kedinginan di teras seraya menatap kepergian suaminya untuk ke sekian kali.Haziya memang tidak pandai memasak, tetapi dia terus belajar cara masak yang benar. Mencatat resep dari ibu, juga menonton tutorial memasak dari YouTube supaya Shabir bisa makan masakan sehat di rumah. Namun, perjuangannya selalu menyiapkan hi

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Jangan Jatuh Cinta Lagi!

    "Aku pernah terjatuh berkali-kali, dan saat aku bangkit di antara bintang-bintang, secercah harapan menerangi. Meski langit telah gelap, bukankah mimpiku punya kesempatan untuk mewujudkannya?"Dulu saat sebelum menikah, cita-citanya mengajar di sekolah dasar asal Haziya menuntut ilmu. Namun, rencananya tidak sesuai keinginan ketika mantan suami melarangnya bekerja. Kepindahan ke desa mertua, membuat jarak pulang pergi butuh hampir sejam. Shabir khawatir dia tidak bisa membagi waktu. Mengejar ridha suami, Haziya menurut saja.Sekarang, setelah keduanya berpisah. Tidak ada nafkah dari Shabir sejak kepulangannya ke rumah ibu sendiri, membuat Haziya harus memutar otak mencari pekerjaan. Meski kedua orang tua mengatakan masih sanggup membiayai kebutuhannya, tetapi Haziya tidak ingin membebani mereka di usia hampir dua puluh lima ini. Dia ingin membantu meringankan kehidupan mereka."Aduh, hampir tela

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Kenapa Bertemu Lagi?

    Haziya tidak enak berada di satu meja yang sama dengan Zaweel, bagaimanapun dia sudah pernah menikah mesti sekarang statusnya masih gantung karena pengadilan belum memutuskan. Shabir tidak hadir pada sidang perceraian pertama, membuat persidangan tertunda lagi."Kalian mau ke mana sudah rapi?""Bukan urusan Abang, nggak usah minta ikut. Ingat, Abang ke sini buat kerja bukan cari mangsa."Zaweel tertawa seperti orang kerasukan. "Aku kerja buat siapa? Ya, buat istri dan anak-anakku nanti lah. Restui Abang dengan Ziya aja, gimana?""Bang, mau matamu aku colok dengan garpu?""Ampun bang jago!" Zaweel berdiri, meninggalkan mereka dengan gema tawa."Lihat, kan, anak tiktok nyasar.'' Miska menghabiskan nasi di piringnya, sejak semalam dia dibuat pusing oleh kelakuan Zaweel."Silakan masuk para

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Pengacara Baru

    "Bang Shabir, aku ...."Haziya spontan mundur ketika Shabir melangkah maju. Tubuhnya dikunci oleh lengan kekar Shabir, wajah keduanya begitu dekat."Bang, jangan begini, nggak enak dilihat orang. Ini toilet perempuan," tegur Haziya berharap Shabir menjauhkan dirinya, tetapi lelaki itu malah semakin mendekatkan wajah."Jangan sok suci, sudah kunikmati juga. Kenapa dia bisa denganmu, sedangkan aku suamimu nggak bisa, hah?!" emosi Shabir meninju dinding di sebelah kiri wajah Haziya."Bang, kendalikan amarah Abang," pinta Haziya setengah serak menahan tangis, kejadian malam panas itu kembali terbayang. Dia takut Shabir jadi lepas kendali dan menamparnya untuk kedua kali."Kita juga sudah bukan suami istri lagi, Bang. Aku sudah mengajukan--""Tidak akan, aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu bisa senang beb

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Jangan Baper Karena Zaweel

    "Pernah mencintai, tetapi disakiti. Tolong, perasaan jangan mudah terbawa suasana. Hanya karena kata-kata mutiara belaka." Tit!! "Astagfirullah! Kenapa, Bang?" tanya Haziya panik ketika suara klakson bunyi bertubi-tubi, hampir saja ponsel di tangannya terjatuh. "Itu tadi ada kuyang lagi cabutin uban," jawab Zaweel dengan wajah datar menunjuk ke depan. "Kuyang? Apaan itu kuyang? Kucing Persia?" Zaweel terbahak atas kepolosan Haziya. Kekesalannya hilang sudah, sejak dipanggil beberapa kali tidak ada sahutan dari perempuan yang duduk di samping karena terlalu sibuk dengan ponsel. "Ponselnya baru ya, dilihatin mulu?" sindir Zaweel ketika Haziya menyimpan ponsel silver itu dalam tas.

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Lamaran

    "Perempuan baik-baik untuk lelaki baik-baik, begitu juga sebaliknya. Perbaikilah dirimu menjadi lebih baik, agar jodohmu adalah yang terbaik datang untuk melengkapi hidupmu.""Jangan diterima, Bu, dia cuma bercanda," sahut Haziya cepat seraya menutup pintu kamar."Kenapa jangan diterima, orang datang melamar baik-baik kok," ujar ibunya heran dengan larangan Haziya."Pokoknya jangan, dia itu nggak serius," kekeh Haziya tetap pada pendiriannya. Dia bahkan bisa membayangkan wajah jenaka Zaweel setiap kali melontarkan gombalan kepadanya. Lelaki itu hobi menggombal, pandai merayu kepada setiap perempuan, buktinya petugas perempuan di pengisian minyak kemarin sore saja digoda.Haziya sudah cukup sekali saja menelan pahitnya kisah asmara, dan rumah tangga yang gagal. Luka perih tak terlihat lebih menyakitkan, waktu bahkan tidak bisa benar-benar menyembuhkan. Langitnya

Bab terbaru

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Perpisahan Zaweel dan Haziya

    Miska menyiapkan segala keperluan untuk acara syukuran nanti malam di rumahnya. Sebagai seorang sahabat, dia senang akhirnya Haziya secara resmi berpisah dengan Shabir. Bahkan dia berencana untuk memperkenalkan Haziya dengan temannya yang masih single, nanti jika Haziya sudah terlihat lebih baik dan mulai membuka hati kembali.Namun, sebenarnya dia lebih suka jika Zaweel yang menjadi lelaki hebat untuk Haziya. Meskipun sikap Zaweel terkesan suka humoris, tetapi dia yakin jika Zaweel bisa melindungi sahabatnya dari gangguan mantan suami Haziya, apalagi dari tekanan Bu Karni, dan lain-lain.Miska sedikit tahu tentang perjodohan Zaweel dengan Safia, walaupun belum ada keputusan lebih lanjut. Monika pasti akan merencanakan perjodohan itu berjalan sesuai harapan mereka. Sekar dan Monika sudah bersahabat dan saling mengenal, serta keluarga mereka juga menjalin bisnis. Tentu saja bersatunya Zaweel dan Safia akan semakin meningkatkan hubungan persahabatan mereka.&n

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Keputusan Pengadilan

    Miska akan menginap di rumah Haziya malam ini, karena dia ingin menemani sahabatnya, serta akan ikut ke pengadilan besok. Sedangkan Zaweel sudah berpamitan sejak memasuki waktu ashar, dia shalat berjamaah di masjid terdekat bersama ayah Haziya. "Makasih ya Nak, kamu mau membantu putriku." "Sama-sama, Pak. Insya Allah besok kita pasti bisa menyudahi semua perkara ini." "Aamiin." "Kamu bakal balik ke Jakarta lagi setelah ini?" tanya Ayah Haziya ketika mereka menuju parkiran Masjid. "Iya, Pak, masih ada kerjaan di Jakarta," jawab Zaweel, dia juga enggan cepat balik ke kota karena merasa nyaman di sini. Namun, statusnya masih sebagai pengacara, dia harus profesional dan kembali melanjutkan profesinya. Ditambah perusahaan papanya yang juga membutuhkan dirinya. Meskipun dia tidak lagi bekerja di bidang pembela klien, Monika tidak akan membiarkannya menetap di Aceh. Zaweel harus menjadi penerus sang papa. "Semoga saja

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Menepati Janjinya

    Haziya bersiap untuk ke rumah bimbingan belajar, dia akan mulai mengajar lagi hari ini. Miska menghubunginya ketika dia hendak ke Sigli."Assalamualaikum, kamu baik-baik saja, kan?" Miska terdengar khawatir di seberang. "Kenapa baru aktif nomornya?""Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik-baik saja Miska. Maaf semalam lupa aktifkan ponsel," jawab Haziya jujur."Ada apa? Dia mencoba menghubungi kamu lagi makanya kamu harus matiin HP?"Tebakan Miska tepat sasaran, Haziya membenarkan karena dia tidak akan bisa membohongi sahabatnya yang sudah terlalu pandai membaca dirinya."Lelaki pecundang. Dia pasti mencoba menggelabui kamu lagi, pura-pura menyesal dan minta balikan padahal sudah punya istri baru. Ckck!" gerutu Miska kesal dengan sikap tak berpendirian Shabir."Masih banyak lelaki lain, jangan sampai kamu masuk ke lubang yang sama. Biarkan dia bersama Tante itu, nanti yang ada kamu malah dituduh sama Tante itu merebut sua

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Larangan Ayah Haziya

    Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah."Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam."Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Bu Karni Mengundang Haziya

    Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.Mengapa mereka datang ke sini?Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka."Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya."Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu."Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Tamu Tak Diundang

    Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti."Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Tanpa Gangguan Shabir

    Lidya membelok sepeda motor mereka ke salah satu warung di pinggir jalan ketika langit mendung pekat terlihat, bahkan rintik-rintik hujan mulai bertandang. Jika dipaksakan melanjutkan perjalanan maka mereka akan kebasahan, meskipun membawa mantel, tetap saja perjalanan masih jauh akan berbahaya karena jalanan licin. "Kak mau pesan cane durian?" tanya Lidya setelah duduk di salah satu kursi, mereka duduk bersebelahan sedangkan Hanif duduk di meja seberang. Salah satu kuliner di Kota Bireuen terkenal dengan makanan manis bernama cane durian. Warung kopi berjejeran di simpang. "Teh hangat saja," ujar Haziya menyebutkan nama minuman. "Baik. Abang Hanif mau pesan apa?" "Abang samaan saja dengan kalian, biar Abang yang pesanin, kamu duduk saja," kata Hanif memberi isyarat untuk Lidya tidak bangun dari kursi. "Baik, Bang." Haziya bersyukur selama perjalanan tadi tidak ada gangguan dari Shabir. Dia berdoa dalam hati semo

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Dilarang Pulang Ke Aceh

    Zaweel membawa pulang kue kesukaan mamanya. Dia tahu kalau Monika masih kecewa karena penolakan pertunangan semalam. Bahkan mamanya tidak menyapanya tadi pagi di meja makan."Assalamualaikum, Mama!" salam Zaweel memasuki rumah lalu berjalan mendekati sang mama yang sedang menyiapkan makan malam."Waalaikumsalam," jawab mama tanpa menoleh pada putranya."Ma, ini aku beli kue kesukaan mama." Zaweel menyodorkan sekotak kue terang bulan isi keju dan cokelat manis."Letak di sana saja, meja sudah penuh," titah Monika seraya menunjuk pantry. Biasanya Monika akan tersenyum senang menerima pemberian Zaweel, tetapi karena masih marah dia menyembunyikan kegembiraannya."Mama masih marah ya? Kalau aku beli sekalian gerobaknya mama mau enggak maafin Zaweel?"Dengan wajah polos dan dipasang sendu, Zaweel menatap mamanya lekat.

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Bersama Lidya

    Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya."Mak, enggak usah. Adik gimana?""Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?"Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje

DMCA.com Protection Status