Share

Kuat?

Penulis: ZB
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
"Perempuan bisa tegar sambil  tersenyum padahal hatinya bergetar isakan getir yang disembunyikan. Sandaran pundak membuatnya kuat, dengarkan keluh kesahnya dan berikan kenyamanan agar dukanya tidak semakin melebar."

"Bang, aku takut!" bisik Haziya ketika dia hendak dibawa menuju ruang operasi untuk dikuret. Meski sudah dijelaskan berulang kali oleh dokter yang menanganinya, proses kuret hanya beberapa menit  dan Haziya akan diinfus sehingga tidak akan merasakan sakit. Namun, dia tetap saja diselimuti rasa takut. Ditambah emosional duka menerima kenyataan bahwa harus kehilangan bayi yang dinantinya lahir ke dunia beberapa bulan ke depan. Bahkan sebelum mereka tahu jenis kelamin sang janin. 

"Baca doa terus, Sayang. Abang, Mak dan ayah di luar bakal terus berdoa juga untukmu. Tenang, ya, insya Allah semua lancar dan dimudahkan." 

Shabir mengenggam tangan Haziya, mengelus pundak dengan lembut dan mengecup kepala sebelum mendorong kursi roda memasuki ruangan ICU. Di dalam dokter dan perawat sudah menunggu.�� 

***

"Sudah kubilang suruh ibumu bawa bantal dan tikar biar nggak usah beli lagi. Ini buang-buang duit saja." Omelan Bu Karni mengundang pening. Baru setengah jam yang lalu dia tersadar dari tidur sementara akibat obat bius. 

"Bu, dokter bilang tadi nggak perlu nginap makanya aku nggak suruh mereka bawain bantal. Mereka juga buru-buru langsung ke sini karena panik." Haziya menjelaskan agar tidak ada salah paham, tetapi Bu Karni masih saja mencak-mencak. 

"Sudah tahu anaknya di rumah sakit, jadi mertua sama saja dengan anak, melorotin uang mantunya."

"Astagfirullah, Bu, jangan berkata begitu." Kepala Haziya semakin pusing, ke mana Shabir dan kedua orang tuanya. Tadi ayah dan ibu meminta izin untuk ke kantin, sedangkan Shabir ingin mengurus beberapa hal setelah dipanggil oleh perawat. Haziya berharap salah satu dari mereka balik cepat supaya Bu Karni berhenti mengoceh. 

Drttt! 

Haziya segera mengambil ponsel di atas nakas, mengangkat panggilan yang sudah menyelamatkannya dari gerundel ibu mertua.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Azizah. Iya, ini masih di rumah sakit."

"Kamar berapa, Ziya? Ini aku sama Miska ke sana. Kamu mau dibawain apa? Buah-buahan?" 

"Nggak usah bawa apa-apa, nggak perlu repot. Iya, hati-hati, ya. Kamar Sakinah, nanti telepon saja biar Abang Shabir nunggu kalian di depan pintu."

"Oke, Ziya. Kami berangkat dulu. Wassalamu'alaikum," tutup Azizah di seberang.

"Waalaikumsalam."

Haziya bersyukur memiliki sahabat yang begitu peduli padanya, meski kuliah sudah setahun selesai, tetapi persahabatan mereka masih langgeng hingga sekarang. Kedua temannya belum menikah, mereka sering ke rumah untuk bersilaturahmi. Kadang juga ketiganya berpergian untuk sekadar jalan-jalan atau ke rumah makan, serta liburan. Haziya tidak dikekang oleh Shabir, lelaki itu penuh pengertian memberinya izin karena memaklumi kebosanan Haziya di rumah sendirian. 

Sejak menetap satu desa dengan Bu Karni dia hanya seminggu pernah menemani Shabir berjualan. Setelah dituduh oleh mertuanya suka mengambil uang, dan sampai sekarang Haziya dilarang untuk ke toko. Dia tidak mempermasalahkan, biarlah Shabir mencari nafkah dengan tenang, tanpa harus melihat dan mendengar pertengkaran dirinya dengan ibu. 
  
Shabir masuk ruangan sembari menenteng plastik. Dia berjalan ke samping Haziya, setelah bertanya keadaan istri dia langsung menaruh bawaannya berisi obat-obatan dan secarik kertas resep yang barusan ditebus di apotik untuk dibawa pulang. Besok pagi Haziya sudah diperbolehkan meninggalkan ruangan kalau tidak ada keluhan. 

Haziya bersyukur tidak harus berlama-lama di sini, perkataan Bu Karni sesaat sebelum Shabir masuk begitu menusuk. 

"Nggak usah manja, mau kamu Shabir nggak buka toko besok? Biaya inap di rumah sakit emang gratis, tapi buat beli makanan keluargamu itu merogoh uang anakku."

"Bu, mereka sudah menolak nggak ambil tadi, tapi Shabir yang maksa kasih," bela Haziya tidak terima orang tuanya dikatain yang bukan-bukan.

Haziya memejamkan mata untuk kembali istirahat. Begitu susah untuk terlelap, bayangan janin yang telah tiada kembali mengusik ketenangan. Meski sudah ditahan untuk tidak terisak, deburan ombak di ujung mata telah meronta. Ibu mana yang siap ikhlas berpisah dengan anaknya? Apalagi setelah penantian. Di mana letak keikhlasan melupakan ketika tiap saat dirinya selalu mengingat? 

"Sabar, ikhlaskan, Allah nggak akan memberi kesedihan tanpa kebahagiaan. Insya Allah dia bisa jadi tabungan akhirat untuk kalian berdua nanti." Nasihat Bu Laela sedikit menetramkan gemuruh yang pasang surut. 

***

Hampir dua Minggu Haziya kembali ke rumah ibu untuk proses penyembuhan. Selama di sana, dia begitu dimanjakan oleh orang tua. Rasa rindu yang begitu memuncak kala berjauhan dengan ibu dan ayah kini terobati sudah. Haziya hanya diperbolehkan melakukan kegiatan ringan, dan dilarang mengerjakan tugas rumah. 

Shabir tiga hari sekali menjenguk dan tidur di rumah mertua yang terletak di Asan Nicah itu, karena paginya dia harus buka toko pagi, pulang jam sembilan malam dan segera pulang ke rumah istri. 

"Makin gendut kamu, ya, kerjaannya pasti rebahan mulu."

"Alhamdulillah, Bu, aku mulai pulih kembali."

"Iyalah, nggak ngapa-ngapain di rumah sana makanya minta pulang. Anak manja," sinis Bu Karni seraya memasukkan buah-buahan yang dibeli oleh Bu Laela. 

Haziya tidak ingin meladeni, dia memilih ke ruang TV untuk menonton. Shabir sudah berangkat ke toko. 

"Tagihan listrik tinggi sukanya nonton terus!"

Allahu Akbar, mertuanya cocok duet sama ibu mertua di sinetron ikan terbang yang barusan ditontonnya sekilas sebelum iklan. Padahal Haziya tadi sudah mencuci piring setelah mereka makan, bahkan piring bekas Lathifah bersama kedua anaknya pun dicuci. Seharusnya mereka mengerti dan  berbelas kasihan akan kondisinya belum sepenuhnya stabil. Namun, bukannya ikut membantu Haziya malah menambah beban. 

"Iya, ibu mertuaku sayang. Ini aku matiin televisinya, ya," ujar Haziya gemas dan memilih mengalah saja. Dia masuk ke kamar mandi untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci yang baru dibeli oleh Shabir. Jangan tanya berapa lama ocehan Bu Karni kepadanya ketuka tahu mesin warna putih abu-abu itu dibawa pulang oleh Shabir. 

"Buka jasa laundry saja biar balik modal. Uang jajan dia juga dipotong, cicilan seharga mesin harus balik sebelum bulan depan."

Sabarkan hati Haziya ketika kembali mengingat Bu Karni memerintahkan itu kepada anaknya tadi pagi. Haziya semakin bersedih ketika Shabir mengiyakan, padahal dia tidak memaksa suaminya itu untuk membeli. Kemarin ketika dia diantarkan oleh ayahnya ke sini, mesin cuci sudah ada di kamar mandi. Memang dulu pernah mengusulkan agar Shabir membelinya mesin cuci, tetapi ketika Shabir menyuruhnya bersabar dulu karena keuangan mereka belum begitu stabil, toko juga baru beberapa bulan buka, Haziya tidak lagi menyinggung perihal itu.

Haziya sebenarnya bisa merasakan perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh Shabir kepadanya. Lelaki itu bahkan tidak membela dia ketika tadi pagi dimarahi Bu Karni karena bangun sedikit kesiangan, setelah salat subuh dia tertidur lagi efek gampang lelah melakukan perjalanan hampir sejam dari rumah ibunya,  sehingga makanan belum disajikan di atas meja makan. Seharusnya Shabir bisa mengerti, untuk hari ini saja mereka bisa membeli nasi di warung depan. Ah, sudahlah, suaminya memang jarang membela, kebanyakan hanya mengiyakan dan menuruti kemauan Bu Karni. 

"Jangan tiduran menunggu baju diperas, sana ke halaman belakang sudah mirip hutan saja!" teriak Bu Karni dari ruang televisi sedang menonton sinetron perkumpulan mertua diktator. 

"Latihan memerani tokohnya agar menjiwai para mertua penindas menantu," gerutu Haziya dalam hati seraya beranjak dari ranjang. Selama tidak di rumah ini, sampah tergeletak sembarang, begitu juga rumput liar mengotori perkarangan. Dia sendirian harus membersihkannya tanpa dibantu oleh mertua yang keasyikan sedang tertawa terbahak karena sinetron yang ditontonnya. 

"Kumenangis ... membayangkan ...." Soundtrack lagu dari sinetron tersebut mengiringi langkah Haziya menuju halaman belakang rumah. 

Bab terkait

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Luka

    "Jangan berharap lebih pada manusia. Peluk lukamu dengan doa. Bersihkan jiwamu dari dendam. Ikhlaskan segala keadaan dan serahkan semuanya kepada Pemilik Segala Alam."Bang, Abang mau ke mana? Ini masakan sudah adek siapin, Abang makan saja dulu," cegat Haziya ketika melihat Shabir hendak memegang ganggang pintu."Abang ke rumah ibu, Kakak Lathif katanya masak kuah pliek. Abang makan di sana saja. Jangan lupa kunci pintu," papar Shabir, kemudian menarik ganggang dan keluar menuju halaman depan. Segera mengenderai motor, menyisakan deru yang semakin menjauh dan meninggalkan Haziya berdiri kedinginan di teras seraya menatap kepergian suaminya untuk ke sekian kali.Haziya memang tidak pandai memasak, tetapi dia terus belajar cara masak yang benar. Mencatat resep dari ibu, juga menonton tutorial memasak dari YouTube supaya Shabir bisa makan masakan sehat di rumah. Namun, perjuangannya selalu menyiapkan hi

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Jangan Jatuh Cinta Lagi!

    "Aku pernah terjatuh berkali-kali, dan saat aku bangkit di antara bintang-bintang, secercah harapan menerangi. Meski langit telah gelap, bukankah mimpiku punya kesempatan untuk mewujudkannya?"Dulu saat sebelum menikah, cita-citanya mengajar di sekolah dasar asal Haziya menuntut ilmu. Namun, rencananya tidak sesuai keinginan ketika mantan suami melarangnya bekerja. Kepindahan ke desa mertua, membuat jarak pulang pergi butuh hampir sejam. Shabir khawatir dia tidak bisa membagi waktu. Mengejar ridha suami, Haziya menurut saja.Sekarang, setelah keduanya berpisah. Tidak ada nafkah dari Shabir sejak kepulangannya ke rumah ibu sendiri, membuat Haziya harus memutar otak mencari pekerjaan. Meski kedua orang tua mengatakan masih sanggup membiayai kebutuhannya, tetapi Haziya tidak ingin membebani mereka di usia hampir dua puluh lima ini. Dia ingin membantu meringankan kehidupan mereka."Aduh, hampir tela

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Kenapa Bertemu Lagi?

    Haziya tidak enak berada di satu meja yang sama dengan Zaweel, bagaimanapun dia sudah pernah menikah mesti sekarang statusnya masih gantung karena pengadilan belum memutuskan. Shabir tidak hadir pada sidang perceraian pertama, membuat persidangan tertunda lagi."Kalian mau ke mana sudah rapi?""Bukan urusan Abang, nggak usah minta ikut. Ingat, Abang ke sini buat kerja bukan cari mangsa."Zaweel tertawa seperti orang kerasukan. "Aku kerja buat siapa? Ya, buat istri dan anak-anakku nanti lah. Restui Abang dengan Ziya aja, gimana?""Bang, mau matamu aku colok dengan garpu?""Ampun bang jago!" Zaweel berdiri, meninggalkan mereka dengan gema tawa."Lihat, kan, anak tiktok nyasar.'' Miska menghabiskan nasi di piringnya, sejak semalam dia dibuat pusing oleh kelakuan Zaweel."Silakan masuk para

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Pengacara Baru

    "Bang Shabir, aku ...."Haziya spontan mundur ketika Shabir melangkah maju. Tubuhnya dikunci oleh lengan kekar Shabir, wajah keduanya begitu dekat."Bang, jangan begini, nggak enak dilihat orang. Ini toilet perempuan," tegur Haziya berharap Shabir menjauhkan dirinya, tetapi lelaki itu malah semakin mendekatkan wajah."Jangan sok suci, sudah kunikmati juga. Kenapa dia bisa denganmu, sedangkan aku suamimu nggak bisa, hah?!" emosi Shabir meninju dinding di sebelah kiri wajah Haziya."Bang, kendalikan amarah Abang," pinta Haziya setengah serak menahan tangis, kejadian malam panas itu kembali terbayang. Dia takut Shabir jadi lepas kendali dan menamparnya untuk kedua kali."Kita juga sudah bukan suami istri lagi, Bang. Aku sudah mengajukan--""Tidak akan, aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu bisa senang beb

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Jangan Baper Karena Zaweel

    "Pernah mencintai, tetapi disakiti. Tolong, perasaan jangan mudah terbawa suasana. Hanya karena kata-kata mutiara belaka." Tit!! "Astagfirullah! Kenapa, Bang?" tanya Haziya panik ketika suara klakson bunyi bertubi-tubi, hampir saja ponsel di tangannya terjatuh. "Itu tadi ada kuyang lagi cabutin uban," jawab Zaweel dengan wajah datar menunjuk ke depan. "Kuyang? Apaan itu kuyang? Kucing Persia?" Zaweel terbahak atas kepolosan Haziya. Kekesalannya hilang sudah, sejak dipanggil beberapa kali tidak ada sahutan dari perempuan yang duduk di samping karena terlalu sibuk dengan ponsel. "Ponselnya baru ya, dilihatin mulu?" sindir Zaweel ketika Haziya menyimpan ponsel silver itu dalam tas.

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Lamaran

    "Perempuan baik-baik untuk lelaki baik-baik, begitu juga sebaliknya. Perbaikilah dirimu menjadi lebih baik, agar jodohmu adalah yang terbaik datang untuk melengkapi hidupmu.""Jangan diterima, Bu, dia cuma bercanda," sahut Haziya cepat seraya menutup pintu kamar."Kenapa jangan diterima, orang datang melamar baik-baik kok," ujar ibunya heran dengan larangan Haziya."Pokoknya jangan, dia itu nggak serius," kekeh Haziya tetap pada pendiriannya. Dia bahkan bisa membayangkan wajah jenaka Zaweel setiap kali melontarkan gombalan kepadanya. Lelaki itu hobi menggombal, pandai merayu kepada setiap perempuan, buktinya petugas perempuan di pengisian minyak kemarin sore saja digoda.Haziya sudah cukup sekali saja menelan pahitnya kisah asmara, dan rumah tangga yang gagal. Luka perih tak terlihat lebih menyakitkan, waktu bahkan tidak bisa benar-benar menyembuhkan. Langitnya

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Ratu Baru

    "Rumah yang kuyakini sebagai tempat ternyaman untuk berteduh berubah tatkala badai menerpa. Tak ada lagi kehangatan saat bersandar di pundakmu karena kedatangan ratu baru."Tepat pukul satu siang Haziya keluar dari rumah bimbel. Sebenarnya, dari jam setengah dua belas sudah selesai tugasnya sebagai pengajar, tetapi karena harus menyusun laporan dan shalat Zuhur dulu makanya baru sekarang bisa pulang."Terima kasih, Haziya, sudah membantuku tadi." Anis memberi senyum tulus. "Besok aku bawakan flashdisk punyamu, ya?""Sama-sama, tidak perlu sungkan. Aku senang bisa membantu. Bukannya besok kamu tidak punya jadwal mengajar?"Anis mengangguk, dia menjelaskan untuk mengantarkan FD punya Haziya, karena merasa tidak enak terlalu lama menyimpannya di rumah."Sudah, tidak apa disimpan saja dulu. Lusa, kan insya Allah kita bertemu lagi di sini. Aku punya flashdisk cadangan kok.""Baik, terima kasih ya. Oh ya, kamu langsung

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Fitnahan Istri Baru Mantan Suami

    🍒🍁Tebarkan kebaikan agar kita memetik kemenangan. Jangan menabur benih kebencian agar tidak memanen permusuhan.🍁Haziya meminta izin pulang pada Zaweel. Menurutnya lebih baik mereka sekarang tidak berduaan dulu untuk menghindari fitnah jika ada yang melihat. Apalagi keberadaan Vina, istri baru mantan suaminya yang sudah menuduhnya di pertemuan pertama. Tidak bisa dihindari jika nanti mereka kembali berjumpa, apalagi sampai Vina mendapati Haziya bersama Zaweel bakal berkepanjangan.Haziy

Bab terbaru

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Perpisahan Zaweel dan Haziya

    Miska menyiapkan segala keperluan untuk acara syukuran nanti malam di rumahnya. Sebagai seorang sahabat, dia senang akhirnya Haziya secara resmi berpisah dengan Shabir. Bahkan dia berencana untuk memperkenalkan Haziya dengan temannya yang masih single, nanti jika Haziya sudah terlihat lebih baik dan mulai membuka hati kembali.Namun, sebenarnya dia lebih suka jika Zaweel yang menjadi lelaki hebat untuk Haziya. Meskipun sikap Zaweel terkesan suka humoris, tetapi dia yakin jika Zaweel bisa melindungi sahabatnya dari gangguan mantan suami Haziya, apalagi dari tekanan Bu Karni, dan lain-lain.Miska sedikit tahu tentang perjodohan Zaweel dengan Safia, walaupun belum ada keputusan lebih lanjut. Monika pasti akan merencanakan perjodohan itu berjalan sesuai harapan mereka. Sekar dan Monika sudah bersahabat dan saling mengenal, serta keluarga mereka juga menjalin bisnis. Tentu saja bersatunya Zaweel dan Safia akan semakin meningkatkan hubungan persahabatan mereka.&n

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Keputusan Pengadilan

    Miska akan menginap di rumah Haziya malam ini, karena dia ingin menemani sahabatnya, serta akan ikut ke pengadilan besok. Sedangkan Zaweel sudah berpamitan sejak memasuki waktu ashar, dia shalat berjamaah di masjid terdekat bersama ayah Haziya. "Makasih ya Nak, kamu mau membantu putriku." "Sama-sama, Pak. Insya Allah besok kita pasti bisa menyudahi semua perkara ini." "Aamiin." "Kamu bakal balik ke Jakarta lagi setelah ini?" tanya Ayah Haziya ketika mereka menuju parkiran Masjid. "Iya, Pak, masih ada kerjaan di Jakarta," jawab Zaweel, dia juga enggan cepat balik ke kota karena merasa nyaman di sini. Namun, statusnya masih sebagai pengacara, dia harus profesional dan kembali melanjutkan profesinya. Ditambah perusahaan papanya yang juga membutuhkan dirinya. Meskipun dia tidak lagi bekerja di bidang pembela klien, Monika tidak akan membiarkannya menetap di Aceh. Zaweel harus menjadi penerus sang papa. "Semoga saja

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Menepati Janjinya

    Haziya bersiap untuk ke rumah bimbingan belajar, dia akan mulai mengajar lagi hari ini. Miska menghubunginya ketika dia hendak ke Sigli."Assalamualaikum, kamu baik-baik saja, kan?" Miska terdengar khawatir di seberang. "Kenapa baru aktif nomornya?""Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik-baik saja Miska. Maaf semalam lupa aktifkan ponsel," jawab Haziya jujur."Ada apa? Dia mencoba menghubungi kamu lagi makanya kamu harus matiin HP?"Tebakan Miska tepat sasaran, Haziya membenarkan karena dia tidak akan bisa membohongi sahabatnya yang sudah terlalu pandai membaca dirinya."Lelaki pecundang. Dia pasti mencoba menggelabui kamu lagi, pura-pura menyesal dan minta balikan padahal sudah punya istri baru. Ckck!" gerutu Miska kesal dengan sikap tak berpendirian Shabir."Masih banyak lelaki lain, jangan sampai kamu masuk ke lubang yang sama. Biarkan dia bersama Tante itu, nanti yang ada kamu malah dituduh sama Tante itu merebut sua

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Larangan Ayah Haziya

    Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah."Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam."Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Bu Karni Mengundang Haziya

    Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.Mengapa mereka datang ke sini?Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka."Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya."Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu."Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Tamu Tak Diundang

    Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti."Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Tanpa Gangguan Shabir

    Lidya membelok sepeda motor mereka ke salah satu warung di pinggir jalan ketika langit mendung pekat terlihat, bahkan rintik-rintik hujan mulai bertandang. Jika dipaksakan melanjutkan perjalanan maka mereka akan kebasahan, meskipun membawa mantel, tetap saja perjalanan masih jauh akan berbahaya karena jalanan licin. "Kak mau pesan cane durian?" tanya Lidya setelah duduk di salah satu kursi, mereka duduk bersebelahan sedangkan Hanif duduk di meja seberang. Salah satu kuliner di Kota Bireuen terkenal dengan makanan manis bernama cane durian. Warung kopi berjejeran di simpang. "Teh hangat saja," ujar Haziya menyebutkan nama minuman. "Baik. Abang Hanif mau pesan apa?" "Abang samaan saja dengan kalian, biar Abang yang pesanin, kamu duduk saja," kata Hanif memberi isyarat untuk Lidya tidak bangun dari kursi. "Baik, Bang." Haziya bersyukur selama perjalanan tadi tidak ada gangguan dari Shabir. Dia berdoa dalam hati semo

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Dilarang Pulang Ke Aceh

    Zaweel membawa pulang kue kesukaan mamanya. Dia tahu kalau Monika masih kecewa karena penolakan pertunangan semalam. Bahkan mamanya tidak menyapanya tadi pagi di meja makan."Assalamualaikum, Mama!" salam Zaweel memasuki rumah lalu berjalan mendekati sang mama yang sedang menyiapkan makan malam."Waalaikumsalam," jawab mama tanpa menoleh pada putranya."Ma, ini aku beli kue kesukaan mama." Zaweel menyodorkan sekotak kue terang bulan isi keju dan cokelat manis."Letak di sana saja, meja sudah penuh," titah Monika seraya menunjuk pantry. Biasanya Monika akan tersenyum senang menerima pemberian Zaweel, tetapi karena masih marah dia menyembunyikan kegembiraannya."Mama masih marah ya? Kalau aku beli sekalian gerobaknya mama mau enggak maafin Zaweel?"Dengan wajah polos dan dipasang sendu, Zaweel menatap mamanya lekat.

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Bersama Lidya

    Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya."Mak, enggak usah. Adik gimana?""Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?"Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje

DMCA.com Protection Status