Yudha duduk di tepian ranjang memandang Rahma yang sudah tertidur dengan senyum di wajahnya. Ada rasa bersalah dalam hatinya karena cukup lama membiarkan istrinya sendirian di kamar mereka.Perbincangannya dengan Surya, sang kakek tadi setidaknya membuatnya lega, beliau sudah benar-benar menerima keputusannya tentang menjadi mualaf dan juga menerima Rahma sebagai istrinya serta latar belakang keluarganya.Awalnya Yudha sempat sedikit khawatir karena ia sangat mengenal betul watak sang kakek. Namun, semuanya berubah, Surya bukanlah ancaman lagi baginya karena satu keinginan Surya agar dirinya meneruskan estafet kepemimpinan di Widjaja group sudah di kabulkannya.Di tariknya perlahan selimut Rahma yang sempat bergeser hingga ke atas dada, lalu memutuskan duduk dan berdiam sejenak di sofa tunggal yang ada di ujung ranjang ini. Entah mengapa ia tiba-tiba ingin tertawa dengan apa yang menimpa nya selama ini.***"Apa yang baru saja kau katakan? Mengubah keyakinanmu? Apa maksudnya HAH?!"Waj
Kembali Ia mencoba menghubungi satu satunya temannya, berharap mungkin saja diantara mereka ada yang berubah pikiran dan bersedia membantunya. Sayang, harapannya mungkin terlalu tinggi. Hingga akhirnya tersisa satu orang teman lama yang akhirnya bersedia meminjamkan satu pintu kontrakannya untuk dijadikan tempatnya berteduh sementara. Sungguh, betapa gembiranya hati Yudha saat itu.Setelah memastikan telah memiliki tempat berteduh, mencari pekerjaan adalah hal yang dilakukan Yudha selanjutnya. Satu persatu surat lamaran pekerjaan ia kirim ke beberapa perusahaan, berharap ada yang mau mempekerjakannya. Sayang semua usahanya tidak berhasil, lamarannya selalu ditolak, tak ada satupun perusahaan ataupun kantor yang mau menerimanya sebagai karyawan, membuat mentalnya sempat terpuruk.Hingga Yudha pun akhirnya mengetahui bahwa semua perusahaan tersebut menolak lamaran kerjanya tak lain karena campur tangan dari Surya, sang kakek, untuk membuatnya kembali pulang ke rumah dan juga kembali pad
"Mas, kau membuatku hampir saja mati," rutuk Rahma sambil memukuli lengan Yudha."Lho, apa kesalahanku?" Goda Yudha kalem."Kenapa kau diam saja saat kakek menanyaiku tadi, setidaknya kau kan bisa bantu Jawab," protes Rahma."Lho tapi akhirnya bisa kau jawab kan," Yudha terkekeh."Ah, kau memang menyebalkan, mas!"Mereka berdua kini duduk di bibir kolam renang yang ada di samping rumah sambil menikmati segelas minuman dingin dan beberapa cemilan yang diantar pelayan untuk mereka.Suasana meja makan yang terasa horor tadi tak pelak masih membuat Rahma kesal. Meskipun akhirnya ia mengatakan semua kejujuran di hadapan Kakek tua itu, entah mengapa rasanya masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.Rahma menghela nafas panjang, di ingatnya percakapannya dengan Surya tadi. Semua jawaban jujur yang diberikannya, untung saja Surya tidak marah, namun bagi Rahma tetap saja rasanya reaksi Surya cukup aneh bagi Rahma."Aku memiliki dua orang saudara. Mas Deni dan Mbak Nella. Mereka masing-masin
Ah tidak, Rahma belum ingin memikirkannya dulu, yang akan terjadi nanti, biar saja nanti dipikirkannya. Yang penting saat ini ia harus melepas rasa sakit ini dari kepalanya.Dan Rahma merasa, tidur sejenak akan membuatnya sanggup untuk kembali melihat kenyataan.*** Nella tertegun ketika melihat hasil pencariannya tentang keluarga Widjaja di mesin pencari Google. Lewat ponselnya, Nella mencari tahu tentang kebenaran keluarga konglomerat itu yang sedikit diketahuinya dari Rahma.Lewat percakapan singkatnya dengan adik bungsunya itu di telepon semalam, Rahma memberitahu jika keluarga Yudha bukanlah keluarga orang sembarangan. Rasanya Nella ingin memukul kepala Rahma mengapa baru sekarang memberitahu kenyataan ini padanya.Ah, bagaimana semua ini bisa terjadi, andai ia tahu seberapa kaya dan berpengaruhnya keluarga Widjaja, sudah tentu Nella tak akan pernah menentang pernikahan Yudha dan Rahma. Ia pasti akan bersikap baik pada mereka, dan sekarang apa yang harus dilakukannya?Tak ada ja
Pernikahannya dengan Jasmine, ibunya Yudha, memang terjadi atas dasar perjodohan Surya dengan keluarga Jasmine. Setahun setelah menikah, Jasmine pun hamil.Kini Yudha sudah kembali, Budi yakin kabar tersebut akan memantik amarah Hera. cepat atau lambat, wanita itu pasti akan membuat ulah dan Budi tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk baik pada Yudha atau pun pada Rahma menantunya.***"Halah, mana mungkin si Yudha itu konglomerat! Modelan tukang laundry begitu dikira konglomerat," protes Widya ketika Deni memberitahu kemungkinan bahwa bisa saja keluarga Yudha adalah seorang konglomerat."Ini benar Widya, aku bahkan sudah memastikannya sendiri tadi bersama Nella.""Memastikannya? Bagaimana cara kalian memastikannya? Apa kau sudah bertemu dengan mereka?" Tanya Widya tak percaya."Tidak, bukan seperti itu," jawab Deni sambil menggeleng."lalu?" kening Widya berkerut, tak mengerti."Ah, kau ini, belanja saja yang kau bisa," Sungut Deni kesal."Cobalah ketik nama Widjaja di mesin penc
"Kurasa sebaiknya aku harus bergegas menemui Rahma, persetan dengan Widya, aku butuh bantuan dana agar toko tidak bangkrut," gumam Deni lalu menyesap kopinya.***Sudah tiga hari Rahma tinggal di rumah besar ini. Selama itu pula ia dilayani bak seorang ratu. Berbagai fasilitas mewah juga kini ditawarkan padanya, membuat Rahma seakan tak percaya jika hidupnya sudah berubah sekarang.Lemari pakaiannya penuh dengan baju rancangan dari berbagai merek rumah mode terkenal. Begitu juga dengan koleksi tas dan sepatunya. Tak perlu Rahma sebut merk, barang barang itu sudah pasti mahal dan berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah.Pernah Rahma protes ketika Yudha memperlihatkan sebuah tas Herm*s edisi terbatas padanya, tas yang terbuat dari kulit buaya asli itu dibanderol dengan harga milyaran rupiah, membuat Rahma mengelus dada jika memikirkan berapa banyak angka nol untuk membeli sebuah tas berwarna putih itu."Apa ini tidak terlalu mahal, mas? Aku bahkan takut menyentuhnya. Jika kotor kema
Tubuh Rahma mulai sedikit gugup, bayangannya akan mertua zolim dengan telunjuk sakti kini berputar putar dikepalanya. Ah, ini pasti efek cerita novel drama rumah tangga yang sering di bacanya itu. Semoga saja hal itu tidak terjadi padanya. Karena jika sampai Hera berani melakukan sesuatu hal yang buruk padanya, Rahma tak akan segan-segan mengadukan perbuatannya pada Yudha dan kakeknya."Mbak Rahma, hati hati lah, jangan terlalu banyak bicara, jika tersinggung dengan ucapannya nyonya Hera, lebih baik diam saja karena mas Yudha dan tuan Surya tidak berada di rumah sekarang," cemas Suryani.***Kening Rahma seketika berkerut mendengarnya. Apa tadi yang dikatakan Suryani, diam saja dan jangan terlalu banyak bicara? Mengapa harus seperti itu?"Kenapa Mak? Jika memang ucapannya salah, aku harus mengoreksinya, bukan? Tanya Rahma penasaran."Pokoknya diam saja, mbak. Karena nyonya Hera itu orangnya gampang meledak- ledak," ulang Suryani."Seburuk itukah sifatnya, Mak?" Tanya Rahma."Iya, Mba
"Jadi namamu Rahma?" Ketus Hera dengan wajah yang sinis."Iya, nama saya Rahma, Rahma Saraswati Maryam, maaf karena ini adalah pertemuan kita yang pertama, jadi aku tidak tahu harus memanggilmu apa? Mama, ibu atau ...?," tutur Rahma jujur."Terserah apa saja, tidak ada pengaruhnya untukku.""Baiklah, jika tidak keberatan, aku akan memanggilmu ibu," Sahut Rahma.Senyum sinis terlihat di wajah Hera, ekor matanya memandang Rahma dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu tiba tiba berhenti di jari tangan Rahma yang kebetulan berada di depan dada, jari manis yang berhias cincin berlian satu setengah karat pemberian Yudha beberapa hari lalu."Cincin yang bagus.""Oh, ini hanya cincin kecil pemberian dari Mas Yudha beberapa hari lalu, tak sebanding dengan perhiasan yang ibu pakai," jawab Rahma merendah."Aku tak suka berbasa-basi, katakan apa sebenarnya tujuan kalian kembali ke rumah ini, bukankah sebelumnya Yudha sudah di usir?" Tanya Hera tanpa tedeng aling-aling Pertanyaan itu cukup memb