"Bawa saja barang yang penting, sertifikat tanahmu dan buku nikah kita, setelah itu tinggalkan saja," ujar Yudha begitu mereka selesai menyantap sepiring nasi goreng buatan Rahma."Bawa buku nikah dan sertifikat tanah, aku tak mengerti sebenarnya ada apa mas?" Rahma tampak berpikir."Hari ini kita pindah dari sini, dek!" "Pindah?" Mata Rahma terbelalak lebar seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya."Iya, kita pindah dari sini." Jawab Yudha tersenyum."Bukankah kita sudah bilang pada Bi Zaenab tak bisa hadir ke acara akad nikah putrinya karena mau pergi, iya kan?" lanjut Yudha mengingatkan."Ta-tapi ... nggak harus pergi dari rumah ini mas, nanti kita akan tinggal dimana?" Cemas Rahma yang bingung dengan keputusan mendadak suaminya.Sungguh, ini lebih membingungkan Rahma dari pada memikirkan harga cabe atau telur yang terus naik di pasar."Tentu saja ke rumahmu, rumah kita." Jawab Yudha santai. "Ah mas, kau membuatku bingung saja. Jangan mengajakku bercanda, lebih baik
"Tu-tuan Darren? Apa kalian saling mengenal? Dan lagi mobil siapa ini, mas?" Tanya Rahma penasaran sambil memiringkan kepalanya.***Yudha menatap Rahma sambil tersenyum tipis. Lelaki itu tak menjawabnya, dan memilih meraih tangan mungil istrinya lalu menariknya masuk ke dalam mobil, tentunya diiringi dengan pandangan penuh tanya dari para tetangganya.Mereka berdua kini duduk saling berdampingan di jok bagian belakang mobil, begitu tubuhnya menyentuh dudukan kursinya, Rahma langsung tertegun, dilihatnya interior bagian dalam mobil ini tampak begitu bagus dan mewah. Dudukannya pun sangat empuk dan nyaman, jauh berbeda sekali dengan angkot ataupun bis kota yang sering dinaikinya. Udara sejuk yang mengalir dari pendingin mobil seakan memeluk tubuhnya, rasa gerah yang dirasakan Rahma kini berganti dengan dingin menenangkan.Mata Rahma mengerjab beberapa kali dengan senyum yang mengembang di wajahnya, di tepuk pelan pipinya seolah ingin meyakinkan dirinya jika apa yang sedang terjadi sek
"Pindah? Masa sih? kok Rahma nggak bilang?" Sahut Nella begitu terkejut."Aku juga baru tahu. Soalnya pas mampir ke rumahnya Babe Jali, Mas Bowo nggak sengaja lihat mereka pamit dan menyerahkan kunci rumah lalu ucapan terima kasih karena sudah diperbolehkan mengontrak disana selama ini.""Takut salah paham, Mas Bowo akhirnya sampe nanya sama Babe Jali, katanya bener Yudha dan Rahma pindah dari sana," jelas Lilis tampak bersemangat."Kok nggak bilang-bilang mau pindah, lagipula memangnya mau pindah kemana mereka? Kayak orang punya duit banyak saja, sok-sok mau pake acara pindah segala," ketus Widya dengan wajah kesal. Entah mengapa terpancing emosi."Entahlah, Rahma juga nggak bilang apa apa sih, kupikir Mbak Nella tahu, kan habis mampir dari rumahnya Rahma tadi pagi," tuding Lilis sambil melirik pada Nella yang mulai gusar."Tidak, Rahma tidak bilang apa -apa padaku, malah aku sekarang bingung. Apa Rahma kerja jadi pembantunya orang kaya? Soalnya mobilnya tadi bagus banget," sahut Ne
Mungkinkah Rahma sudah menjual tanah warisan itu lalu pindah dari kontrakannya karena tak ingin membagi uang hasil penjualannya? Batin Nella bergejolak."Kira kira pindah kemana si Rahma? Apa iya, Rahma sekarang jadi orang kaya?" Cetus Nella asal bicara. Tanpa disadarinya ucapan terdengar oleh Widya yang duduk disebelahnya.***"Ya nggak mungkinlah, uang dari mana Rahma dalam sehari bisa berubah jadi orang kaya," jawab Widya cepat, entah mengapa hati wanita terasa panas dengan pernyataan itu."Yudha itu pengangguran, kerjanya saja di laundry, memang gaji di sana berapa duit sih? motor aja nggak kebeli," Lanjut Widya menolak."Ya, siapa tahu saja, Rahma menang togel atau si Yudha mendadak dapat warisan kan bisa saja!""Halah, ngga mungkin itu, Yudha itu kan diusir oleh keluarganya, kalau memang dapet warisan, kenapa baru sekarang? Orang sudah diusir ya berarti ngga mungkin dapet warisan dong." Sinis Widya sambil memonyongkan bibirnya."Entahlah, hanya saja aku khawatir, meskipun aku ke
Di sudut kiri ruangan, Tampak Nella, Deni dan Widya kembali bicara, kelihatannya mereka akan merudingkan sesuatu, wajah Widya tampak muram dan kesal, lalu tiba tiba menyeret langkah di sertai dengan umpatan kasar dari mulutnya."Enak saja mau pakai mobilku, kalau mau datang ke acara resepsi di hotelnya ya pakai modal dong. Maaf ya, tapi aku tak mau mobilku jadi sempit dan bau karena menampung mereka."Bukan tanpa alasan Widya mengumpat, karena rencananya, pukul dua siang ini rombongan pengantin dan keluarga inti akan segera bertolak ke hotel dan menginap disana untuk persiapan acara resepsi yang akan digelar keesokan harinya.Dari pihak mempelai wanita, hanya beberapa keluarga saja yang memiliki mobil, karena itu beberapa kerabat berniat untuk menumpang saja pada mereka yang memiliki mobil, dan mobil baru milik Widya dan Nella tak luput dari sasaran mereka untuk dijadikan tumpangan."Pokoknya aku tidak mau ada orang yang menumpang di mobil kita nanti, mas, awas saja kalau kau sampai m
Mobil mewah itu terus melaju, hingga akhirnya berbelok ke sebuah hotel berbintang, sebuah hotel tempat dimana resepsi Nia akan digelar keesokan harinya.Tempat dimana sebagian besar kerabat Rahma akan berkumpul keesokan harinya.****Mata Rahma tak berkedip ketika turun dari mobil dan melihat bangunan hotel yang terlihat begitu mewah itu. Entah mengapa Rahma merasa gugup, tangannya kini terasa berkeringat dingin. Ada sedikit rasa cemas kini menggelayut di hati Rahma, ia tak mengerti mengapa Yudha mengajaknya ke sini, bukankah tarif per malam hotel ini mahal? Uang darimana mereka untuk membayarnya? Dan lagi, mengapa harus kesini bukannya langsung pulang ke rumah saja, rumah yang sedari tadi di katakan Yudha sebagai rumah mereka.Pandangan Rahma kini beralih pada Yudha yang sedang berbicara dengan sosok pria yang tadi mengemudikan mobilnya, entah apa yang mereka bicarakan karena suara bising kendaraan lain membuat suara mereka seakan-akan tertelan angin."Mas, sedari tadi kau belum mem
"Sudah selesai mas semedinya?" Ujar Rahma menggoda."Aku hanya buang air kecil saja, tidak sampai semedi? Kenapa? lama ya?"Rahma menggeleng dengan wajah murung."Tidak!""Emm ... mas, apa sebaiknya kita kembali saja?""Ada apa? Apa tadi ada orang yang mengganggumu?"Rahma kembali menggeleng," tidak mas, hanya saja aku merasa tidak pantas berada di tempat ini. Lihatlah! rasanya sandalku terlalu bagus untuk dibawa berjalan ke hotel ini, benar kan?" ujar Rahma menunduk memandang sendal jepit usang yang dipakainya.Yudha tersenyum getir melihat wajah murung istrinya, ia sadar jika selama ini tak mampu membelikan barang barang bagus untuk Rahma, entah mengapa ada rasa marah dalam dirinya. Yudha marah pada dirinya sendiri.Di pandanginya wajah Rahma yang masih menunduk, gamis itu sudah terlalu sering dipakai Rahma hingga membuat warnanya mulai memudar, wajah yang hanya di poles bedak bayi dan sandal jepit yang ah ... Yudha rasanya ingin memaki dirinya."Nanti sore kita akan belanja ya, bel
Mungkinkah benar Rahma bekerja menjadi pembantu di rumah orang kaya, hingga menyebabkannya memilih pindah dari rumah kontrakannya? Entah mengapa pikiran itu tiba tiba melintas di dalam kepala Nella.***Rahma memandang ranjang king size hotel ini dengan tatapan kagum, seumur hidupnya, baru kali ini Rahma menjejakkan kaki di kamar hotel seluas dan sebagus ini. Bahkan jauh lebih luas dan lebar dari rumah kontrakannya.Dulu, ia pernah menginap dua malam di hotel saat menghadiri acara pernikahan seorang teman diluar kota, namun tak seperti kamar ini, kamar yang dulu dipesannya adalah sebuah kamar tanpa ada fasilitas pendingin ruangan ataupun air panas di dalam kamar mandinya.Rahma masih tak percaya jika Yudha bisa mengajaknya menginap di hotel sebagus ini, pertanyaan yang telah menumpuk dan terus menumpuk di dalam kepalanya harus mendapatkan jawabannya sekarang.Diliriknya Yudha yang sudah berbaring di ranjang empuk itu, rasanya pasti terasa sangat nyaman ketika merebahkan diri diatasnya
Tiga bulan kemudian,"Selamat ya Pak Yudha, ibu Rahma positif hamil," ucap dokter wanita itu saat memeriksa Rahma."Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter."Wajah Yudha begitu bahagia saat mendengar kabar bahagia tersebut, tak hanya dirinya, pipi Rahma pun tampak bersemu merah."Saya akan meresepkan beberapa vitamin. Jangan lupa istirahat yang cukup ya, Bu Rahma." Ujar dokter wanita tersebut, setelah pemeriksaan ultrasonografi (USG) tersebut selesai.Beberapa pesan di berikan oleh dokter wanita itu pada mereka, tak lupa juga mengingatkan agar melakukan pemeriksaan rutin setiap bulan. Setelah berbincang sebentar, mereka pun akhirnya pamit dan bergegas pulang ke rumah dengan suasana hati yang riang. Kurang lebih setengah jam kemudian, mobil yang membawa mereka pun akhirnya menepi dan berhenti di rumah besar itu, rumah yang hampir dua tahun ini mereka tinggali.Dengan hati hati, Yudha membantu Rahma keluar dari mobil. Rona bahagia begitu terpancar dari wajahnya. Melihat wajah Yudha y
"Bagaimana kondisi Mbak Nella?" Tanya Yudha beberapa saat setelah mendengar cerita Rahma."Mbak Nella baik baik saja," jawab Rahma lalu beranjak dari meja riasnya dan duduk di tepian ranjang mereka."Syukurlah. Uang yang hilang bisa dicari tapi jika para perampok itu sampai melukainya, entahlah, aku sulit untuk membayangkannya," sahut Yudha lalu meletakkan ponselnya ke atas nakas."Iya, kau benar, mas." "Hmm!" Yudha berdehem kecil."Besok papa mengundang kita untuk datang ke rumahnya.""Oh ya?" Tanya Rahma sembari menatap suaminya dengan pandangan tanya."Ada acara apa di rumah papa, mas?" Kembali Rahma bertanya."Tak ada, katanya sih hanya ingin berkumpul dengan kita saja sebelum berangkat umroh," jawab Yudha Mendengarnya, Rahma mengangguk pelan. "Oh, sekalian bulan madu, ya? Pengantin baru bikin gemes," sambung Rahma terkekeh."Mungkin saja, karena kudengar dari papa, katanya sih tante Miranda berharap segera diberi keturunan sepulang umroh nanti." Yudha kembali mejelaskan. "Ami
Kabar perampokan yang terjadi di rumah Nella, akhirnya sampai juga ke telinga Rahma, meskipun sudah dua hari berselang pasca kejadian tersebut, tetap saja insiden perampokan itu masih menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan para tetangganya.Meski khawatir, Rahma menahan diri untuk tidak segera datang ke rumah kakak perempuannya tersebut. Rahma yakin pasti ada alasan mengapa Nella tidak memberitahu dirinya atas musibah yang menimpa dirinya. Berdiri di hadapannya, seorang wanita yang beberapa jam lalu di mintanya untuk mencari kabar terbaru tentang Nella. Dari laporan yang diterimanya, setidaknya Rahma bisa menghela nafas lega karena para perampok itu sudah di tangkap polisi. Dan salah satunya adalah orang yang mereka kenal baik, seseorang yang masih bertetangga dengan Nella.Ada tiga orang yang beraksi pada malam itu. Menggasak habis uang yang tersimpan di dalam lemari, untung saja pada malam sebelumnya, Nella telah memindahkan kotak yang biasa digunakannya untuk menyimpan perhi
Deru mobil Deni perlahan terdengar menjauh dari rumah. Sesaat, terlihat Widya mematung di sana, seakan tengah mengkhawatirkan suaminya. Tak lama, ia berbalik masuk ke dalam rumah, setelah mengunci pagarnya terlebih dulu.Pandangan matanya terlihat menerawang ke sekeliling ruangan, ia tak menyangka jika tak ada satupun perabotan rumah ini yang berubah letaknya. Semuanya masih sama seperti ia tinggalkan beberapa waktu lalu. Piring, gelas maupun toples yang ada di atas meja pun hampir tak ada yang berubah letaknya, hanya isinya saja yang sudah kosong.Helaan nafasnya terdengar berat, tak lama la melangkah ke arah dapur, bersiap untuk mencuci peralatan makan dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka sebelumnya, terpaksa di berhentikan beberapa hari setelah kasus penipuan berkedok investasi yang menghabiskan semua uang mereka tersebut.Suara seseorang terdengar mengetuk pintu, sontak membuat kepala Widya menoleh, tak butuh waktu
Deni mengulum senyum ketika di lihatnya Widya yang tampak canggung saat mereka duduk berdua saja di dalam mobil. Lelaki itu tak menyangka jika rencana Rahma untuk membuat istrinya kembali ke rumah tanpa paksaan, akan berjalan dengan sempurna.Tadinya ia sempat tak yakin, namun atas dukungan dari Nella, Deni akhirnya memberanikan diri menelpon ayah mertuanya dan meminta bantuan darinya, agar Widya bisa pulang tanpa harus membuatnya memohon dan menjatuhkan harga diri di depan istrinya.Untuk beberapa saat, suasana terasa hening, karena tak ada satupun dari mereka yang mau membuka percakapan lebih dulu, baik Deni maupun Widya, tampak masih berusaha mengatur nafas masing-masing. "Aku dengar kau sering belanja di warungnya si Mirna? Apa benar, mas?"Pertanyaan Widya akhirnya memecah keheningan di antara mereka, membuat Deni memalingkan wajahnya dari Widya sembari menyunggingkan senyum. "Kalau iya, apa ada masalah? Semua orang tahu jika dia cantik dan sendiri," Pancing Deni menggoda istri
"A-aku mau pulang, mas."Ucapan Widya membuat tiga pasang mata yang ada di sana sontak menoleh padanya. "Benarkah?" Ceplos ibu mertuanya sambil melempar pandangan pada Sofyan, suaminya.Mata Deni tak berkedip saat mendengarnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja tadi didengar oleh telinganya, begitu juga dengan Sofyan, ayah mertuanya yang tanpa sadar memandang tajam pada putri sulungnya tersebut.Mungkinkah, istrinya yang keras kepala itu telah berubah? Batin Deni berbisik."Nggak lagi ngelindur kan?" "Kemarin katanya nggak mau pulang, dipaksa- paksa, tetap kekeuh bilangnya males pulang, kok sekarang beda lagi? padahal Deni nggak bilang mau ajak kamu pulang lho, Wid?" Goda ayahnya."Itu ... Ya, terserah dong," ketus Widya yang membuat lelaki paruh baya itu akhirnya terkekeh.Setelah mengatakannya, dengan wajah masam Widya angkat kaki dari sana dan bergegas masuk ke kamarnya. Wanita itu tampak kesal dengan dirinya sendiri karena bisa bisanya terpancing emosi."Sepertinya, a
Deni melangkah ragu saat hendak melangkah masuk ke halaman rumah mertuanya, tampak sebuah sepeda motor matic telah terparkir di sana, menandakan jika rumah mertuanya tersebut tidak dalam keadaan kosong.Pandangan matanya mengawasi sekitar, cukup sepi, hanya suara burung peliharaan yang terdengar berkicau menyambut kedatangannya. Sesaat, Deni melihat sosok mengintip dari balik jendela.Perlahan, tangannya mengetuk pintu. Tak lama, wajah ibu mertuanya terlihat menyembul begitu pintu utama rumah itu terbuka."Nak Deni. Ayo masuk!" Ajaknya ramah.Deni tersenyum, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya dan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tamu setelah lebih dulu di persilahkan oleh sang pemilik rumah."Mau bicara dengan Widya, ya?" Tanya ibu mertuanya."Tidak, aku datang ke sini karena ingin bicara dengan bapak," ucap Deni dengan penuh percaya diri."Oh maaf, ibu kira nak Deni ke sini karena ingin bicara dengan Widya. Kalau begitu tunggu sebentar, ibu panggilkan bapak dulu," pamit wani
Widya berdecak kesal. Sudah hampir satu bulan ini Deni seolah melupakannya. Ah, tidak. Pernah satu kali lelaki itu datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan beberapa barang miliknya yang tertinggal.Sudah berapa kali orang tuanya menyuruhnya agar segera pulang, namun wanita itu terlalu keras kepala. Entah mengapa, Deni belum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, seakan-akan sengaja menunggunya menggugat cerai lebih dulu.Pernah terpikirkan dalam benak Widya untuk berpisah dari Deni, hanya saja hatinya masih ragu karena beberapa kali kerabatnya memberi tahu jika keadaaan Deni saat ini jauh lebih baik. Mobil yang sebelumnya diklaim telah terjual pada Rahma, ternyata masih betah menghuni garasi rumahnya.Apakah selama ini Deni telah berbohong padanya? atau semua ini terjadi karena bantuan dari Rahma?Entahlah, kepalanya pusing memikirkannya, hanya saja Widya kesal jika memang itu benar, mengapa Deni harus berbohong padanya?Suara gerimis malam ini terdengarsyahdu di telinga Widya. B
"Baiklah," sahut Denisa sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah pelaminan, hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara Yudha memanggilnya, membuat Denisa menoleh dan spontan memutuskan sambungan telepon mereka. "Yu-yudha!" Sapa Denisa gugup."Lho kok diputus teleponnya, Mbak?" Tanya Yudha."Ah ini, video call dari temen di rumah sakit. Katanya mau lihat pengantinnya ..." Rona gelisah terlihat samar di wajah Denisa."Oh! Ambil saja yang banyak videonya papa, Mbak. Aku yakin papa juga tidak keberatan kalau video pernikahannya jadi tontonan para dokter di rumah sakit." Wajah Yudha terlihat nyengir kuda."Ah, Iya. Kau benar juga. Papa kan orangnya sedikit narsis," balas Denisa. Tak lama mereka berdua tertawa sambil melihat ke arah Budi di kursi pelaminan."Kau tahu, mbak. Sejak kau pindah ke Surabaya, rasanya ada yang hilang.""Aku akan sering berkunjung ke Jakarta." Denisa menepuk lengan Yudha."Hmm ... Di mana Mas Arga dan Kevin?" Ekor mata Yudha mencari keberadaan kakak ipar da