Mobil mewah itu terus melaju, hingga akhirnya berbelok ke sebuah hotel berbintang, sebuah hotel tempat dimana resepsi Nia akan digelar keesokan harinya.Tempat dimana sebagian besar kerabat Rahma akan berkumpul keesokan harinya.****Mata Rahma tak berkedip ketika turun dari mobil dan melihat bangunan hotel yang terlihat begitu mewah itu. Entah mengapa Rahma merasa gugup, tangannya kini terasa berkeringat dingin. Ada sedikit rasa cemas kini menggelayut di hati Rahma, ia tak mengerti mengapa Yudha mengajaknya ke sini, bukankah tarif per malam hotel ini mahal? Uang darimana mereka untuk membayarnya? Dan lagi, mengapa harus kesini bukannya langsung pulang ke rumah saja, rumah yang sedari tadi di katakan Yudha sebagai rumah mereka.Pandangan Rahma kini beralih pada Yudha yang sedang berbicara dengan sosok pria yang tadi mengemudikan mobilnya, entah apa yang mereka bicarakan karena suara bising kendaraan lain membuat suara mereka seakan-akan tertelan angin."Mas, sedari tadi kau belum mem
"Sudah selesai mas semedinya?" Ujar Rahma menggoda."Aku hanya buang air kecil saja, tidak sampai semedi? Kenapa? lama ya?"Rahma menggeleng dengan wajah murung."Tidak!""Emm ... mas, apa sebaiknya kita kembali saja?""Ada apa? Apa tadi ada orang yang mengganggumu?"Rahma kembali menggeleng," tidak mas, hanya saja aku merasa tidak pantas berada di tempat ini. Lihatlah! rasanya sandalku terlalu bagus untuk dibawa berjalan ke hotel ini, benar kan?" ujar Rahma menunduk memandang sendal jepit usang yang dipakainya.Yudha tersenyum getir melihat wajah murung istrinya, ia sadar jika selama ini tak mampu membelikan barang barang bagus untuk Rahma, entah mengapa ada rasa marah dalam dirinya. Yudha marah pada dirinya sendiri.Di pandanginya wajah Rahma yang masih menunduk, gamis itu sudah terlalu sering dipakai Rahma hingga membuat warnanya mulai memudar, wajah yang hanya di poles bedak bayi dan sandal jepit yang ah ... Yudha rasanya ingin memaki dirinya."Nanti sore kita akan belanja ya, bel
Mungkinkah benar Rahma bekerja menjadi pembantu di rumah orang kaya, hingga menyebabkannya memilih pindah dari rumah kontrakannya? Entah mengapa pikiran itu tiba tiba melintas di dalam kepala Nella.***Rahma memandang ranjang king size hotel ini dengan tatapan kagum, seumur hidupnya, baru kali ini Rahma menjejakkan kaki di kamar hotel seluas dan sebagus ini. Bahkan jauh lebih luas dan lebar dari rumah kontrakannya.Dulu, ia pernah menginap dua malam di hotel saat menghadiri acara pernikahan seorang teman diluar kota, namun tak seperti kamar ini, kamar yang dulu dipesannya adalah sebuah kamar tanpa ada fasilitas pendingin ruangan ataupun air panas di dalam kamar mandinya.Rahma masih tak percaya jika Yudha bisa mengajaknya menginap di hotel sebagus ini, pertanyaan yang telah menumpuk dan terus menumpuk di dalam kepalanya harus mendapatkan jawabannya sekarang.Diliriknya Yudha yang sudah berbaring di ranjang empuk itu, rasanya pasti terasa sangat nyaman ketika merebahkan diri diatasnya
Tapi Rahma, kemana dia pergi?Entah mengapa tiba-tiba wajah Deni mengeras, berita kepindahan Rahma kini menyulut emosinya.Apa gara gara pertengkaran mereka soal tanah warisan kemarin, hingga membuat Rahma pergi tanpa pamit? dan sudah tak menganggapnya lagi sebagai saudara? Pikiran buruk kini menguasai kepalanya.Haruskah dia mencari keberadaan Rahma?Ah, tapi untuk apa? Bukankah Rahma sendiri yang memutuskan pergi tanpa pamit padanya? Awas saja nanti jika dia datang mengemis bantuan atau berniat meminjam uang, sudah tentu tak akan diberikannya."Mas, dari tadi aku memanggilmu, ngapain sih bengong saja disitu?" Teriak Widya yang mengejutkan Deni."Ya, ada apa sih?" Balas Deni lalu menghampiri istrinya.***Mobil yang dikemudikan Demian kini berhenti di depan sebuah mall. Mata Rahma mengerjab sesaat melihat dimana ia berada saat ini, diliriknya sang suami yang masih asyik melihat layar ponselnya, membuat Rahma hanya bisa diam.Demian segera keluar dari kursi kemudi itu dan setengah berl
"Mas, kita belanja di tempat lain saja ya," bisik Rahma sepelan mungkin ketika Yudha menggandengnya masuk ke dalam sebuah butik terkenal.Yudha memandang Rahma dengan senyum tertahan, rasanya gemas sekali melihat wajah istrinya yang tampak bingung seperti itu, membuat tangannya gatal untuk mencubit pelan hidung Rahma.Dilihatnya ekor mata Rahma yang mengitari sekeliling, Yudha masih melihat kekhawatiran di wajah istrinya meski ia sudah menjelaskan bahwa tak perlu gelisah dan mengkhawatirkan apapun.Seharusnya ia memberitahu Rahma lebih dulu sebelum mereka pergi belanja, tapi, melihat rasa lelah di wajah Rahma, Yudha takut akan mengejutkannya dan membutuhkan waktu lebih panjang untuk menjelaskannya."Kenapa harus belanja ditempat lain?" Balas Yudha sambil melirik Rahma yang gelisah."Semua barang disini tampak mahal mas, aku ngeri," Keluh Rahma cemas."Kenapa kau takut aku tidak membayarnya?" Rahma segera mengangguk."Iya, semua barang disini harga pasti mahal, aku bahkan tidak berani
"Mbak, lihat suami saya nggak?" Tanya Rahma pada lucy. Yang langsung disambar dengan gelengan kepala oleh Lucy."Tidak, mungkin suami ibu sedang memilih pakaian, Jika diperbolehkan, saya bisa menunjukkan barang barang diskon di toko kami, siapa tahu ibu berkenan," Kembali, nada suara Lucy yang terdengar mengejek. Lama Rahma terpaku. Jejeran tas mewah itu, kembali membuatnya menelan ludah, apalagi saat melihat tas bermerek terkenal itu seakan melambai ingin mendekat padanya.Ah, Rahma mendes4h, tas itu tampak sangat bagus, wajar sekali jika ia menginginkannya."Mahal sekali," bisik Rahma yang samar terdengar oleh Lucy."Iya tentu saja, bu," balas Lucy mencibir."Ngga punya uang sok belanja di sini, mau murah ya beli di pasar," sungut Lucy bergumam sendiri sambil melempar tatapan mengejek pada Rahma.Rahma mengigit bibirnya ketika membayangkan harga semua barang di tempat ini, jika sebuah gaun dan tas saja harganya sampai puluhan juta, Rahma tak dapat membayangkan berapa banyak uang yan
"Ba-baik pak, anda tunggu disini, saya akan panggil bu manager sebentar," sahutnya gugup, Rahma bahkan bisa melihat tangannya yang gemetar.Dengan sopan, ia melangkah menuju ke arah sebuah pintu yang berada di sudut kiri. Sungguh, Rahma masih belum bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Rahma melirik Yudha yang masih memasang ekspresi wajah datar, Rahma tahu, ekspresi wajah seperti itu selalu dipasang suaminya kala sedang kesal, segera saja tangannya mengelus lembut lengan Yudha seolah ingin menenangkannya."Mas, apa yang kaulakukan? Lebih baik kita pergi saja dari sini, aku tidak ingin cari keributan," ucap Rahma selembut mungkin."Tenang saja sayang, tak akan terjadi apapun, mas kenal dengan pemilik butik ini kok," sahut Yudha berusaha menghilangkan kecemasan di wajah istrinya."Tapi ..." Ujar Rahma tampak ragu."Percaya sama mas," kembali Yudha meyakinkan istrinya."Baiklah," sahut Rahma pasrah lalu berdoa dalam hati semoga kekhawatirannya tidak terjadi.Yudha meraih tangan istr
Ponsel baru Rahma dengan logo apel tergigit itu, berdering ketika ia dan Yudha sedang menikmati sarapan pagi di kamar mereka, entah mengapa Rahma tak tertarik untuk melihat ke layar ponselnya sekedar untuk melihat siapa gerangan yang menelponnya.Rahma memilih mengabaikannya, ia yakin yang menelepon adalah salah seorang dari kakaknya, tak tahu mengapa rasanya malas saja menjawab telepon dari mereka.Melihat sikap istrinya yang terkesan cuek dan mengabaikan ponselnya yang masih berdering. Membuat Yudha mengeryitkan dahi karena tak biasanya istrinya bertingkah menyebalkan seperti ini.Kembali, ponsel keluaran terbaru itu berdering. Namun, tak membuat telinga Rahma merasa terganggu. Rahma masih asyik menikmati sarapannya."Tidak diangkat dulu teleponnya? Siapa tahu penting," Yudha akhirnya bersuara."Tak usah mas, palingan juga Mbak Nella, siapa lagi kalau bukan dia? Toh, selama ini yang aktif menelepon dan bikin ponselku rame dan berdering itu cuma kamu dan Mbak Nella saja. Jadi sudah pa