"Ba-baik pak, anda tunggu disini, saya akan panggil bu manager sebentar," sahutnya gugup, Rahma bahkan bisa melihat tangannya yang gemetar.Dengan sopan, ia melangkah menuju ke arah sebuah pintu yang berada di sudut kiri. Sungguh, Rahma masih belum bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Rahma melirik Yudha yang masih memasang ekspresi wajah datar, Rahma tahu, ekspresi wajah seperti itu selalu dipasang suaminya kala sedang kesal, segera saja tangannya mengelus lembut lengan Yudha seolah ingin menenangkannya."Mas, apa yang kaulakukan? Lebih baik kita pergi saja dari sini, aku tidak ingin cari keributan," ucap Rahma selembut mungkin."Tenang saja sayang, tak akan terjadi apapun, mas kenal dengan pemilik butik ini kok," sahut Yudha berusaha menghilangkan kecemasan di wajah istrinya."Tapi ..." Ujar Rahma tampak ragu."Percaya sama mas," kembali Yudha meyakinkan istrinya."Baiklah," sahut Rahma pasrah lalu berdoa dalam hati semoga kekhawatirannya tidak terjadi.Yudha meraih tangan istr
Ponsel baru Rahma dengan logo apel tergigit itu, berdering ketika ia dan Yudha sedang menikmati sarapan pagi di kamar mereka, entah mengapa Rahma tak tertarik untuk melihat ke layar ponselnya sekedar untuk melihat siapa gerangan yang menelponnya.Rahma memilih mengabaikannya, ia yakin yang menelepon adalah salah seorang dari kakaknya, tak tahu mengapa rasanya malas saja menjawab telepon dari mereka.Melihat sikap istrinya yang terkesan cuek dan mengabaikan ponselnya yang masih berdering. Membuat Yudha mengeryitkan dahi karena tak biasanya istrinya bertingkah menyebalkan seperti ini.Kembali, ponsel keluaran terbaru itu berdering. Namun, tak membuat telinga Rahma merasa terganggu. Rahma masih asyik menikmati sarapannya."Tidak diangkat dulu teleponnya? Siapa tahu penting," Yudha akhirnya bersuara."Tak usah mas, palingan juga Mbak Nella, siapa lagi kalau bukan dia? Toh, selama ini yang aktif menelepon dan bikin ponselku rame dan berdering itu cuma kamu dan Mbak Nella saja. Jadi sudah pa
"Mau ikutan numpang, apalagi? Sudah jangan dibalas lebih baik kita bersiap siap saja sekarang, acaranya kan mulai jam tujuh malam, sekarang sudah pukul tiga sore, lebih baik cepat mandi, setengah jam lagi kita akan berangkat," ujar Widya memberi perintah pada suami dan anaknya."Aku tidak ikut, ma. Nanti malem si Rasty mau kesini, kita mau ngerjain tugas," Tolak Dara, beralasan."Baiklah, tapi awas kalau kau berbohong, jangan sampai aku melihatmu mengajak teman lelaki ke rumah," Ancam Widya, lalu bergegas ke belakang."Mama memang tidak asyik," gumamnya pelan namun masih terdengar oleh Deni, Sang ayah yang duduk disebelahnya."Di turuti sajalah, daripada cari ribut dengan mama-mu, lagipula yang dikatakannya tidak salah, kan?" balas Deni mencoba menasehati putrinya. "Papa seperti tidak pernah muda saja," keluh Dara, lalu beranjak menuju kamarnya. Tak lama terdengar suara Widya yang melengking dari arah dapur."Mas, cepat mandi, setengah jam lagi kita berangkat. Aku tidak mau ya, mobil
"Tak apa, aku suka membelinya untukmu," balas Yudha lalu mengecup punggung tangan istrinya.Mobil yang dikemudikan Demian pun akhirnya tiba di depan lobi hotel, dengan sigap lelaki itu turun dan membuka pintu mobilnya, lalu mempersilakan majikanya keluar dari dalam mobil, tanpa disadarinya jika ada sepasang mata tengah terbelalak lebar sedang mengawasi mereka.***Beberapa menit sebelumnya.Wajah Widya tampak begitu sumringah ketika memandang bangunan hotel tempat dimana resepsi pernikahan Nia gelar. Wanita itu sudah tak sabar ingin melangkah masuk ke dalam, terlihat dari sikapnya yang sedari tadi gelisah saat meminta Deni untuk mempercepat laju mobil mereka.Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Deni selesai memarkirkan mobilnya. Segera saja tangan Widya meraih tas miliknya dan mengambil sebuah cermin lipat, demi untuk memeriksa kembali riasan wajahnya."Mas, undangannya jangan lupa dibawa," ujar Widya sambil melihat pantulan wajahnya di cermin itu."Iya, sudah. Ada padak
Langkah Rahma sedikit tertatih ketika keluar dari mobil karena belum terbiasa berjalan dengan sepatu setinggi tujuh centimeter itu, menyadari cara berjalan istrinya yang tampak kaku, segera saja tangan Yudha memegang lengannya dan menggandengnya mesra.Seorang Door girl segera membuka pintu dan menyambut kedatangan mereka dengan sebuah senyuman. Yang langsung dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Rahma.Dengan langkah anggun, pasangan sultan itu melangkah ke arah tempat resepsi dengan wajah tersenyum. Melihat betapa manisnya cara Yudha menggandeng Rahma membuat decak kagum bercampur iri dari para staf hotel wanita yang kebetulan melihatnya."Aih, manis banget lihatnya. Aku iri!" Ungkap seorang waitress yang tak sengaja melihat mereka."Mas, aku gugup, soalnya nggak pernah datang ke acara seperti ini," Bisik Rahma teramat pelan di telinga Yudha."Maka biasakan mulai dari sekarang ya, sebagai Istriku, kedepannya nanti kau akan sering bahkan sampai bosan untuk datang ke acara seperti in
Ekor mata Widya mendelik tajam saat melihat ekspresi menyebalkan yang diperlihatkan Lilis padanya, apa tadi yang dikatakannya, turun dari mobil mewah? Orang kaya? sungguh menggelikan, benar benar membuatnya ingin tertawa.Sesuatu hal yang mustahil.Mana mungkin Rahma bisa jadi orang kaya dalam semalam? Apa yang bisa diharapkan dengan seorang tukang laundry macam Yudha? Makan saja masih pakai tahu dan tempe saja setiap hari, dan lagi, apa katanya tadi? turun dari mobil mewah? benar benar tak masuk akal.Mau berlagak seperti orang kaya? Sungguh menggelikan.Dengan seksama Widya mengamati penampilan Rahma dari ujung kepala sampai ujung kaki. Entah mengapa malam ini ia mengakui jika penampilan Rahma terlihat sangat berbeda. Gamis satin itu terlihat mahal dan juga tas itu ....Ah, Widya menginginkannya."Oh, itu. Iya ... aku dan Mas Yudha memang diantar pakai mobil itu ke sini," jawab Rahma kalem. Sambil melirik kakak iparnya tersebut."Lalu, apa maksudmu pindah kontrakan tanpa mengabari ka
"Iya ... aku memang bekerja di rumah keluarga kaya, bahkan sangat kaya hingga aku bisa membeli apapun yang kuinginkan," lanjut Rahma dengan seringai tipis di wajahnya. Entah mengapa Rahma merasa sangat senang melihat wajah kakak perempuannya itu kesal. "Kerja jadi pembantu di mana?" Lilis yang sedari tadi menyimak, tiba tiba menyela."Kalau bisa naik mobil mewah sih aku juga mau, jangankan jadi pembantu, jadi tukang ngosek-ngosek WC-nya saja aku mau, ajak aku ya Rahma kerja di rumah majikanmu!" Lilis melanjutkan ucapannya, membuat ekor mata Widya seketika mendelik tajam padanya."Halah Bohong! Nggak mungkin! mana ada pembantu bisa naik mobil mewah, nggak mungkin banget, kamu pasti salah lihat tadi Lis? Mana mungkin itu Rahma, iyakan Rahma?" tolak Widya tak terima."Ya sudah kalau Mbak nggak percaya, aku nggak maksa, kok!," Desis Rahma membalas."Tapi, sebenarnya kau dan Yudha tinggal di mana sekarang? Ah tidak, di mana kalian tidur semalam?" Tanya Nella, sungguh meski ia kadang bersik
"Jadi katakan Rahma, dimana rumah majikanmu itu?" Sinis Widya yang mulai merasa sesak nafas.Rahma menyeringai kecil ketika mendengar pertanyaan Widya. Ia tak tahu bagaimana harus menjawabnya, bukankah Rahma sendiri tidak tahu dimana rumah keluarga Yudha berada?Yudha memang menceritakan silsilah anggota keluarganya, bisnis keluarganya bahkan alasan mengapa Sang kakek memilihnya menjadi satu-satunya orang yang akan meneruskan usahanya, namun, suaminya itu sepertinya lupa memberikan alamat rumah keluarganya. Atau, mungkin ia yang lupa bertanya?Mata Widya kini menyipit tajam seolah siap menguliti dirinya andai tak dapat menjawabnya, ekor mata Rahma kini berputar, dengan kening terlipat, suatu tanda jika ia gelisah memikirkan sebuah jawaban yang pas untuk membungkam mulut kakak iparnya tersebut.Rahma menoleh, mencoba memanggil suaminya namun, sepertinya hal itu tidak mungkin, meski jarak antara Yudha dan dirinya cukup dekat, namun, lelaki berwajah oriental itu sepertinya terhanyut deng