"Iya ... aku memang bekerja di rumah keluarga kaya, bahkan sangat kaya hingga aku bisa membeli apapun yang kuinginkan," lanjut Rahma dengan seringai tipis di wajahnya. Entah mengapa Rahma merasa sangat senang melihat wajah kakak perempuannya itu kesal. "Kerja jadi pembantu di mana?" Lilis yang sedari tadi menyimak, tiba tiba menyela."Kalau bisa naik mobil mewah sih aku juga mau, jangankan jadi pembantu, jadi tukang ngosek-ngosek WC-nya saja aku mau, ajak aku ya Rahma kerja di rumah majikanmu!" Lilis melanjutkan ucapannya, membuat ekor mata Widya seketika mendelik tajam padanya."Halah Bohong! Nggak mungkin! mana ada pembantu bisa naik mobil mewah, nggak mungkin banget, kamu pasti salah lihat tadi Lis? Mana mungkin itu Rahma, iyakan Rahma?" tolak Widya tak terima."Ya sudah kalau Mbak nggak percaya, aku nggak maksa, kok!," Desis Rahma membalas."Tapi, sebenarnya kau dan Yudha tinggal di mana sekarang? Ah tidak, di mana kalian tidur semalam?" Tanya Nella, sungguh meski ia kadang bersik
"Jadi katakan Rahma, dimana rumah majikanmu itu?" Sinis Widya yang mulai merasa sesak nafas.Rahma menyeringai kecil ketika mendengar pertanyaan Widya. Ia tak tahu bagaimana harus menjawabnya, bukankah Rahma sendiri tidak tahu dimana rumah keluarga Yudha berada?Yudha memang menceritakan silsilah anggota keluarganya, bisnis keluarganya bahkan alasan mengapa Sang kakek memilihnya menjadi satu-satunya orang yang akan meneruskan usahanya, namun, suaminya itu sepertinya lupa memberikan alamat rumah keluarganya. Atau, mungkin ia yang lupa bertanya?Mata Widya kini menyipit tajam seolah siap menguliti dirinya andai tak dapat menjawabnya, ekor mata Rahma kini berputar, dengan kening terlipat, suatu tanda jika ia gelisah memikirkan sebuah jawaban yang pas untuk membungkam mulut kakak iparnya tersebut.Rahma menoleh, mencoba memanggil suaminya namun, sepertinya hal itu tidak mungkin, meski jarak antara Yudha dan dirinya cukup dekat, namun, lelaki berwajah oriental itu sepertinya terhanyut deng
"Maaf apakah anda Pak Darren? Direktur marketing di PT. Gemilang Widjaja?" tanya Bagas pada Yudha yang saat ini sedang berdiri di hadapannya.mendengar ucapan Bagas, sontak Yudha menggeleng."Tidak, itu tidak benar, kau mungkin salah orang," jawab Yudha santai. Ia tidak berbohong, jabatan sebagai direktur marketing di perusahaan milik kakeknya tersebut sudah ia tinggalkan dua tahun lalu semenjak di-usir dari rumah karena keputusannya menjadi mualaf. Yudha masih tersenyum, memberikan ucapan selamat untuk mereka, melihat reaksi yang diperlihatkan Yudha, membuat Bagas berpikir jika mungkin benar ia salah mengenali orang."Oh, saya minta maaf, karena sudah salah mengenali orang, tapi sungguh, wajah anda begitu mirip dengannya," ungkap Bagas dengan raut wajah kecewa."Tak masalah, tak perlu dipikirkan," sahut Yudha kalem."Maaf, apakah sebelumnya kita pernah bertemu, entah mengapa rasanya wajah anda begitu familiar bagi saya," tanya-nya kemudian."Entahlah, mungkin saja kita pernah bertemu
Widya cemberut ketika dilihatnya Sang suami tampak melamun di lobby hotel. Sejak awal kedatangan mereka ke hotel, ia dan Deni tak tampil bersama, karena Deni lebih memilih berbincang dengan seorang teman yang baru dikenalnya daripada harus masuk ke aula.Sebenernya bukan hanya itu alasannya, Deni sengaja tidak masuk ke aula karena malas bertemu dengan kerabat yang lain. Gara gara mengikuti keinginan istrinya untuk tidak memberi tumpangan, membuat lelaki itu merasa malu untuk bisa bertemu muka dengan mereka.Ah, mungkin seharusnya sejak awal ia memang bersikap tegas pada istrinya, tapi, ancaman Widya ditambah rasa cinta yang menggebu membuatnya akhirnya hanya bisa tertunduk lemah di bawah kungkungan tangan istrinya.Bucin.Suami takut istri.Suami lemah.Entah apa lagi julukan yang cocok untuk disematkan padanya, ia sudah tak tahu lagi. Meskipun menyadarinya semua kesalahannya namun tetap saja Deni tidak mampu berbuat apapun untuk bisa mengubah tabiat buruk istrinya."Mas, lihat apa? Sa
"Apa kau benar-benar jadi pembantu di rumah orang kaya, Rahma?"Mendengar pertanyaan itu entah mengapa, tawa Rahma hampir pecah. Yudha yang sedari tadi melirik istrinya hanya bisa tersenyum kecil."Apa ada sesuatu yang menarik?" Bisik Yudha ke telinga Rahma.Rahma mengangguk kecil.Yudha menggeleng lalu mengusap kepala istrinya dengan lembut, lalu kembali berbisik." Lakukan saja jika ingin membalas perlakuan mereka, aku tidak akan melarang. Tapi jangan sampai kelewatan, kau mengerti apa maksudnya kan?""Iya, aku hanya ingin membuat mereka merasakan sakit kepala saja, mas. Boleh kan?""Halo Rahma!" Suara Nella terdengar menyadarkan Rahma jika sedari tadi ia belum menjawab pertanyaan dari kakak perempuannya itu."Ah iya, mbak. Tadi nanya apa?""Apa kau benar-benar jadi pembantu di rumah orang kaya?" Nella mengulang kembali pertanyaannya."Oh itu, kalau aku jawab jujur apa mbak akan percaya?""Maksudnya?""Aku tidak pernah sekalipun bilang jadi pembantu, mbak. Itu Mbak Widya yang menyimpu
Tubuh Rahma mendadak gugup ditambah kakinya pun terasa tak bertenaga, sebuah reaksi yang sebenarnya wajar saja dirasakan oleh seseorang yang hendak bertemu keluarga suaminya untuk yang pertama kalinya. Namun, tak tahu mengapa, semakin ia mencoba berusaha untuk tenang, tubuhnya semakin terasa gugup.Rumah ini sangat besar dan luas, mungkin lebih dari dua ribuan meter persegi luasnya, sebuah rumah yang terdiri dari tiga lantai. Halaman yang dipenuhi dengan pepohonan rindang, menyejukkan mata yang memandangnya. Membuat siapapun betah untuk menghuni tempat ini.Di sisi kanan rumah, tampak sebuah lapangan tenis pribadi. Beberapa pohon besar seakan ingin ikut melengkapi. Tak jauh dari sana tampak pula garasi besar yang memajang koleksi mobil-mobil mewah sang pemilik rumah. Beberapa orang terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, saat mereka melihat wajah yang tampak tak asing dan begitu familiar, mereka segera menghentikan pekerjaannya dan bergegas seakan ingin ikut menyambut kedatanga
"Kalau kamarnya kakek di mana?" Tanya Rahma, ia sendiri tak mengerti mengapa bisa menanyakan kamar milik orang tua itu, mungkin efek dari rasa takut dan gugup yang sejak tadi dirasakannya, membuat bibir Rahma spontan menanyakan hal itu."Oh, kalau kamar tuan besar di lantai bawah, tadinya ada di lantai dua, lalu pindah ke lantai bawah karena lebih dekat dengan ruang kerja," terang Suryani."Kolam renang ada di sisi kanan halaman rumah, di roof top ada landasan helikopter. Ah, Mak kepanjangan ngomong ya, nanti kalau sudah tinggal di sini beberapa hari juga hafal kok," jelas Suryani dengan senyum hangat di wajah tuanya."Ah tidak Mak. Aku senang mendengarnya."Mereka terus berjalan menuju kamar pribadi yang dulu pernah ditempati oleh Yudha, sambil berbincang Suryani juga mengenalkan Rahma dengan para pelayan yang kebetulan mereka temui.Rasanya Rahma tak mampu mengedipkan matanya, semua barang dalam rumah itu tidak ada satupun yang murah, lemari ukir yang terbuat dari kayu terbaik, lampu
Yudha duduk di tepian ranjang memandang Rahma yang sudah tertidur dengan senyum di wajahnya. Ada rasa bersalah dalam hatinya karena cukup lama membiarkan istrinya sendirian di kamar mereka.Perbincangannya dengan Surya, sang kakek tadi setidaknya membuatnya lega, beliau sudah benar-benar menerima keputusannya tentang menjadi mualaf dan juga menerima Rahma sebagai istrinya serta latar belakang keluarganya.Awalnya Yudha sempat sedikit khawatir karena ia sangat mengenal betul watak sang kakek. Namun, semuanya berubah, Surya bukanlah ancaman lagi baginya karena satu keinginan Surya agar dirinya meneruskan estafet kepemimpinan di Widjaja group sudah di kabulkannya.Di tariknya perlahan selimut Rahma yang sempat bergeser hingga ke atas dada, lalu memutuskan duduk dan berdiam sejenak di sofa tunggal yang ada di ujung ranjang ini. Entah mengapa ia tiba-tiba ingin tertawa dengan apa yang menimpa nya selama ini.***"Apa yang baru saja kau katakan? Mengubah keyakinanmu? Apa maksudnya HAH?!"Waj